Julian Assange, sang pendiri situs WikiLeaks, mampu menghirup udara bebas. Hal ini dapat terjadi karena pengacaranya memberikan uang jaminan sebesar 240.000 poundsterling (Rp3,3 miliar) kepada otoritas hukum di Inggris. Namun, kebebasan Assange bersifat sementara dan semu belaka.
Assange harus memakai gelang monitor elektrik dan dikenai jam malam. Artinya ialah Assange tetap dalam pengawasan yang sangat ketat. Ke mana pun Assange pergi pasti gampang dideteksi. Bahkan, muncul rumor bahwa Amerika Serikat (AS) menyiapkan dakwaan mata-mata kepada dirinya. Pihak yang paling dirugikan oleh aktivitas pembocoran rahasia yang dilakukan Assange tentu saja adalah AS. Perang di Irak dan Afghanistan serta korupsi korporasi yang melibatkan pejabat dan pengusaha dari negara adidaya itu berhasil dibongkar Assange. Semua itu menjadikan para elite politik AS marah. Tapi, Assange berdalih bahwa masyarakat demokratis memerlukan media yang kuat. Media membantu dalam menjaga pemerintah untuk berperilaku jujur. WikiLeaks, tegas Assange, adalah bagian dari media itu.
Argumentasi Assange benar meskipun harus dilihat secara lebih kritis. Mengapa? Apa yang dibocorkan Assange adalah informasi. Makna informasi bukan sekadar fakta atau data. Informasi, sebagaimana diuraikan oleh M Burgin (The Essence of Information: Paradoxes, Contradictions, and Solutions, 2005), pada abad ke-15 memiliki makna etimologis informare (bahasa Latin) yang berarti “memberikan bentuk”, “membentuk”, dan “memformulasikan”. Selama zaman Renaissance, kata “menginformasikan” memiliki padanan dengan pengertian “menginstruksikan”. Dari pemahaman ini, informasi dapat dimaknai sebagai pengetahuan karena yang dibentuk dalam proses itu adalah apa yang diketahui untuk kemudian dijadikan instruksi. Secara sosiologis, terdapat jalinan yang sangat erat antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah pengetahuan.
Siapa yang mengetahui akan bisa menguasai. Sebaliknya, siapa yang tidak bisa mengetahui secara otomatis akan dikuasai. Dalam peperangan, misalnya, pihak yang mengetahui mempunyai kemungkinan besar untuk memenangkan pertarungan. Sedangkan dalam dunia bisnis, pihak yang mengetahui memiliki peluang luas untuk mengontrol pasar dan mengeksploitasi sumber daya (manusia maupun alam). Pada titik inilah Assange berada dalam konflik keras antara mengungkap dan menyembunyikan pengetahuan.
Ambivalensi
Dalam situasi tegangan antara menutup dan membuka informasi itulah, sosok Assange dan proyek WikiLeaks-nya memiliki ambivalensi. Kebaikan dan keburukan muncul sekaligus dalam aksinya membocorkan ribuan rahasia. Bagi para pendukung dan pemuja Assange, pembocoran rahasia merupakan tindakan penuh kepahlawanan. Assange dihadiahi berbagai sanjungan. Assange dianggap sebagai figur yang berani menelanjangi berbagai manipulasi yang dijalankan pihak yang berkuasa.
Peperangan dan perdagangan yang selalu dipropagandakan untuk kebaikan umat manusia tidak lebih adalah aksi destruktif yang justru merontokkan kemanusiaan itu sendiri. Tidak demikian halnya dengan pihak yang menentang Assange. Warga negara Australia ini dipandang sebagai figur yang menebarkan kerugian dan kehancuran saja. Sebabnya adalah—meminjam konsep dari Erving Goffman (1922-1982)—masyarakat rahasia yang sejauh ini bisa tampil sempurna dan amat meyakinkan dalam memainkan drama peperangan dan bisnis di hadapan massa tidak lebih adalah para pemain yang menciptakan konspirasi tingkat tinggi.
Sebagai sebuah contoh, negara-negara Arab yang selama ini digambarkan bertikai dengan Israel (Yahudi) ternyata bersatu padu mendukung AS dalam menekan Iran. Semua persekongkolan itulah yang dibongkar Assange. “Masyarakat rahasia” yang melibatkan berbagai elite negara itu pun dibuat kelabakan oleh Assange. Tidak heran jika Assange selalu diintai dan akan dibunuh. Jadi, apakah yang ijalankan Assange dan proyek pembocoran rahasia itu baik atau buruk? Tentu saja, tergantung siapa yang mendapatkan keuntungan dari aksiaksi pembocoran rahasia itu. Baik dan buruk dalam pembongkaran informasi ini seringkali tidak lagi memperhatikan moralitas. Dianggap baik jika bisa memberikan kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar.
Dinilai buruk jika justru merontokkan kekuatan dan kekuasaan yang berada dalam genggaman. Bagi rezim berkuasa,seperti pemerintah dan berbagai korporasi AS, apa yang dilakukan Assange sangatlah buruk dan biadab.Sebaliknya, bagi pihak yang selama ini dibohongi dan dicekoki manipulasi, perbuatan Assange terpuji dan beradab. Tapi, bagaimana jika informasi rahasia itu dimanfaatkan para teroris? Tidakkah juga berbahaya? Itulah wajah ganda dari pembocoran rahasia. Dengan begitu, tepat apa yang dikemukakan Mario Vargas Llosa, sang pemenang Hadiah Nobel di bidang kesusastraan tahun 2010.
Sastrawan dari Peru itu menyatakan, pembocoran rahasia yang dilakukan WikiLeaks memang mendorong keterbukaan, tapi jika transparansi itu berlebihan juga membahayakan. “Opini saya tentang WikiLeaks kontradiktoris,” kata Llosa. Pada satu sisi, transparansi itu sangat luar biasa karena semuanya dibawa ke dalam terang cahaya. Hal inilah yang melindungi kita dari intrik, penipuan, dan kebohongan. Pada sisi lainnya, jika semuanya dibawa ke dalam terang cahaya, seluruh kerahasiaan dan privasi menghilang. Negara tidak berfungsi lagi karena negara dalam posisi yang rentan. Esensi demokrasi berada dalam bahaya (“WikiLeaks ‘Dangerous’ and ‘Wonderful’, The Swedish Wire, 6 Desember 2010).
Sosok Janus
Hal yang bisa ditegaskan dalam problem pembocoran rahasia tersebut adalah Assange (dan Wiki Leaks) serupa dengan sosok Janus. Dalam mitologi Roma, seperti diuraikan situs Wikipedia, Janus merupakan Dewa Gerbang, pintu, jalan menuju pintu, awal, akhir, dan waktu. Nama Janus dikaitkan dengan bulan Januari, yang mengawali tahun baru. Janus seringkali digambarkan mempunyai dua kepala, menghadap dalam arah yang berlawanan. Kepalanya yang menghadap ke belakang menatap tahun yang lama. Kepalanya yang menghadap ke depan menatap tahun yang baru. Janus adalah dewa yang menyimbolkan keberadaan masa lalu dan masa depan dalam keserentakan. Sebagai sosok Janus, Assange (dan WikiLeaks) memiliki dua jenis kepala yang saling bertentangan.
Kepala yang satu menghadap ke belakang hendak menyatakan bahwa negara tidak boleh sewenang- wenang dalam menerapkan rezim kerahasiaan. Masa silam yang penuh kebohongan dan manipulasi itu hendaknya ditinggalkan oleh birokrasi negara maupun korporasi swasta. Memang benar bahwa negara mempunyai otoritas untuk menerapkan kerahasiaan. Tapi, kewenangan itu hendaknya digunakan sebaik mungkin dan bukan untuk menghadirkan persekongkolan kejahatan. Kepala yang satu lagi menghadap ke depan yang secara antusias menyatakan bahwa bukan hanya negara dan korporasi yang bisa mengawasi warga. Pihak warga pun memiliki kemampuan untuk mengawasi setiap penipuan serta konspirasi negara dan korporasi.
Max Weber (1864-1920) pernah menyatakan negara adalah kekuasaan yang memiliki otoritas memonopoli kekerasan terhadap warganya dalam wilayah tertentu. Jika dikaitkan dengan informasi, perspektif Weberian itu merujuk pada pernyataan bahwa negara adalah lembaga yang boleh memonopoli kebenaran informasi dalam cakupan geografis tertentu. Tapi, pada era informasi yang semakin terbuka, monopoli kebenaran itu tidak mungkin bisa digenggam lagi. Internet mampu menjangkau dan mengatasi batas-batas negara. Kehadiran Assange (dan WikiLeaks) adalah perlawanan terhadap keangkuhan negara dan korporasi yang secara kontinu mengelabui warga dengan teknik-teknik manipulasi dan penyesatan informasi.
Informasi,sebagaimana diuraikan Zoubin Ghahramani (Information Theory, Encyclopedia of Cognitive Science, 2000), adalah pengurangan ketidakpastian. Pada teori informasi dikemukakan bahwa kuantitas paling fundamental dalam lingkup ini adalah entropy (tingkat ketidakberaturan dalam sebuah sistem).Informasi berfungsi sebagai reduksi terhadap entropy itu. Jika penjelasan ini dikaitkan dengan Assange (dan WikiLeaks), terlihat bahwa mayoritas warga selama ini disuguhi aneka entropy yang justru diciptakan negara dan korporasi. Entropy itu hadir sebagai tatanan mapan yang secara ironis penuh tipuan.
Wajah ganda dari penyingkapan suatu tipuan adalah merugikan si penipu dan menguntungkan si tertipu.Ketika tipuan berhasil dibongkar, haruskah para penipu marah? Jadi, jangan memain-mainkan kerahasiaan. Suatu ketika pasti bocor juga kebusukannya.(*)
Opini Okezone 21 Desember 2010
20 Desember 2010
Wajah Ganda Pembocoran Rahasia
Thank You!