Hari ini, 21 Desember 2010, tepat 21 tahun kepergian Soedjatmoko, intelektual terbesar di Indonesia. Meski pendidikan formalnya tidak pernah dia selesaikan, pemikirannya diakui dunia.
Meski telah merampungkan usianya 21 tahun yang lalu, pemikiran Koko—panggilan akrab Soedjatmoko—masih relevan hingga saat ini.
Pemikiran Koko lahir dari rahim dan khazanah Indonesia. Pemikiran dan perenungannya lahir dari keadaan negerinya dan kemudian pada keadaan dunia. Berbagai bidang tak lewat dari sentuhan dan perhatiannya, agama, sosial, ekonomi, budaya, sejarah dan ilmu pengetahuan lainnya.
Intelektualitasnya lahir bukan dari rahim pendidikan formal. Ia membuktikan bahwasannya pendidikan tidak selalu dibatasi dengan sekat-sekat dan tembok-tembok besar yang angkuh dan terpisah dari masyarakat. Dalam kumpulan tulisan yang diterbitkan LP3ES yang berjudul Etika Pembebasan ia mengatakan bahwa kita harus meruntuhkan tembok yang memisahkan sekolah dari masyarakat, pengajaran harus menjadi bagian dari partisipasi dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat. Pesan ini masih relevan dengan keadaan pendidikan di tanah air kita kini.
Kritik Soedjatmoko ini masih relevan dengan pendidikan negeri ini yang masih karut marut. Oleh karena itu, belajar dari Soedjatmoko adalah belajar tentang Indonesia pada masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang. Pemikiran Soedjatmoko tidak lepas dari latar belakang sosialnya.
Selain menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia, ia sempat terlibat dalam kegiatan internasional seperti menjadi delegasi PBB, serta mendapatkan gelar doctor honoris causa bidang hukum dari Cedar Crest College Pennsylvania, dan pada 1970 doktor untuk bidang humaniora dari Universitas Yale, Connecticut, AS.
Rektor Universitas PBB(1980-1987) ini terkenal dengan perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Sehingga pada tahun 1978, ia mendapat hadiah (Rp 8 juta) dari Yayasan Ramon Magsaysay. Pendapat-pendapatnya dinilai sebagai sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk menanggulangi salah satu tantangan besar masa kini, yakni bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar 40 persen rakyat Asia Tenggara dan Selatan, yang merupakan lapisan paling miskin.
Pemikiran Koko di bidang ekonomi dan pembangunan pada waktu itu patut dijadikan renungan untuk melihat Indonesia saat ini. Ia mengatakan bahwa pada hakikatnya ciri pokok usaha pembangunan bukan proyek-proyek bantuan luar negeri, dan bukan investasi modal asing.
Hakikat pembangunan ialah gerak majunya suatu sistem sosial menghadapi tantangan-tantangan baru. Dan hal itu hanya mungkin jikalau ada perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat itu sendiri.
Maka kita tidak perlu heran jika pemerintahan kita saat ini proneoliberalisme dan pasar. Sebab dari sisi aturan undang-undang sudah berpihak pada investor-nvestor. Seperti pada UU Penanaman Modal tahun 2007, UU Minerba, UU Ketenagalistrikan, UU Badan Hukum Pendidikan dan lain-lain.
Lebih lanjut Koko berpesan bahwa yang kita perlukan ialah suatu pola pembangunan yang employment oriented, yang mengutamakan keadilan sosial dan memperkuat kesanggupan untuk berdiri di atas kaki sendir.
Berdiri di atas kaki sendiri tidak mungkin dilakukan jika kita masih menggantungkan diri kepada negara lain maupun investor asing terus-menerus. Jika demikian halnya, maka ekonomi nasional kita sudah bergeser dari nilai-nilai ekonomi kerakyatan menuju ekonomi kapitalis.
Merenungi dan mengilhami kembali pesan-pesan Soedjatmoko akan membuat kita berpikir ulang, bahwa kita perlu menata kembali keadaan negeri ini di semua bidang. Di bidang pendidikan, di bidang ekonomi dan pembangunan, politik dan lain sebagainya.
Opini Solo Pos 21 Desember 2010
20 Desember 2010
Pemikiran Soedjatmoko untuk Indonesia kini
Thank You!