Pemilihan gubernur jangan kembali ke  belakang. Penolakan terhadap usul pemerintah agar pemilihan gubernur  dikembalikan ke DPRD kian terdengar di DPR (Kompas, 13/12).
Setelah  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat dan  Fraksi Kebangkitan Bangsa juga turut menolak usul pemerintah yang ingin  mengembalikan pemilihan gubernur kepada DPRD. Namun, di era Kabinet  Indonesia Bersatu Jilid II saat ini, ada ide untuk mengembalikan  pemilihan gubernur kepada DPRD.
Hal ini tentunya mengundang protes  berbagai kalangan. Niat mengembalikan pemilihan gubernur kepada DPRD  menandakan inkonsistensi yang tidak teguh pada prinsip dan sistem yang  telah ditetapkan. Jika sikap ini dilanjutkan, tidak baik bagi  perkembangan demokrasi dan sistem politik kita ke depan. Disadari atau  tidak, dikembalikannya pemilihan gubernur kepada DPRD—yang didukung  Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud  MD—merupakan bentuk kemunduran dari demokrasi di negeri ini. Saat ini  Indonesia disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia  setelah AS dan India. Apabila kedaulatan rakyat daerah melalui pemilihan  gubernur secara langsung dikembalikan kepada DPRD, maka ada satu poin  demokrasi yang terkurangi.
Argumen pihak yang pro terhadap  pengembalian pemilihan gubernur kepada DPRD, pemilihan langsung  mengakibatkan pemborosan biaya politik, timbulnya konflik horizontal di  masyarakat, terciptanya peluang bagi pihak-pihak yang tidak kapabel  untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun,  dikembalikannya pemilihan gubernur kepada DPRD tidak akan menyelesaikan  masalah, justru nilai demokrasi di daerah menjadi mundur dan luntur.
Pertama,  apabila mahalnya biaya pemilu dan timbulnya motif untuk melakukan  korupsi menjadi argumen dasar, apakah dengan dipilihnya gubernur oleh  DPRD mampu menghemat biaya pemilu? Penulis berpikir sebaliknya, dengan  pemilihan gubernur diserahkan kepada DPRD, peluang permainan politik  uang dan transaksi politik tetap terbuka lebar. Hal ini dibuktikan  ketika rezim Orde Baru berkuasa, politik uang berlangsung di tataran  DPRD.
Untuk menghemat biaya politik pemilihan langsung dapat  dilakukan melalui pemilihan secara serentak, baik pemilihan presiden  maupun gubernur, wali kota, dan bupati. Selain itu, dengan memangkas  jumlah kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dari tujuh menjadi  lima orang, menghapus panitia pemungutan suara (PPS), menghapus honor  kelompok kerja dan belanja administrasi, pengoptimalan pemilih per  tempat pemungutan suara.
Kedua, konflik horizontal di masyarakat  saat pertama kali pemilihan kepala daerah dilangsungkan memang terjadi.  Namun, kini skala maupun kualitas konflik tersebut kian menurun.  Masyarakat kian sadar dan memahami keuntungan maupun kerugian dari  berkonflik pasca-pilkada. Secara tak langsung ini menandakan kesadaran  politik masyarakat mulai timbul.
Saat ini permasalahan pemilihan  kepala daerah secara langsung perlahan mulai terpetakan dan jelas.  Demokrasi dan kemapanan politik membutuhkan proses dan tidak bisa  instan. AS sebagai negara demokrasi terbesar di dunia saja telah  membangun sistem demokrasinya selama 300 tahun. Indonesia sejak  reformasi 1998 baru melaksanakan demokrasi selama 12 tahun dan pemilihan  kepala daerah baru berlangsung lima tahun.
Komplikasi sistem politik
Ketika  pemilihan gubernur dikembalikan lagi kepada DPRD, akan timbul  komplikasi sistem politik. Pertama, hilangnya partisipasi politik  masyarakat dalam pemilihan gubernur. Kedua, kekhawatiran akan  berkurangnya perhatian elite daerah terhadap aspirasi masyarakatnya.  Ketiga, timbulnya peluang politik dagang sapi, maupun bentuk-bentuk  transaksi politik lainnya. Keempat, dikhawatirkan gubernur tak lagi  merasa bertanggung jawab penuh kepada rakyatnya karena keterikatan  dengan partai-partai di DPRD jauh lebih kuat sehingga semakin enggan  untuk turun ke akar rumput untuk melihat rakyatnya. Keenam,  dikhawatirkan gubernur hanya akan berasal dari partai pemenang pemilu.
Dengan  demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pilihan  rasional yang dijamin pula oleh konstitusi. Kalau ada wacana  mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD maka hal itu adalah  inkonstitusional dan bakal memasung hak-hak demokrasi rakyat.
Sekali  lagi jangan coba-coba pemerintah tiba-tiba mengambil langsung  kedaulatan rakyat yang sudah dimiliki rakyat selama ini. Lakukan dengan  cara-cara yang telah diatur oleh undang-undang, paling tidak melalui  referendum. Artinya, ditanyakan kembali kepada rakyat, setuju atau tidak  setuju, kalau rakyat setuju gubernur dipilih oleh DPRD, berarti itulah  legitimasi rakyat yang harus dilindungi. Semoga bangsa kita tidak lupa  lagi.
Pangi Syarwi Mahasiswa Master Political Science UI dan Peneliti Indonesian Progressive Institute
                          
Opini Kompas 21 Desember 2010
20 Desember 2010
Kemunduran Demokrasi
Thank You!