Sejarah identitas kota mungkin telah terlupakan di negeri ini. Pengetahuan tentang kota dan pembacaan atas pelbagai warisan kerap punah oleh kegandrungan mendandani kota dalam nafsu metropolitan.
Kota menjelma sebagai proyek ekonomi-politik global. Kepemilikan jejak-jejak sejarah gampang disorongkan ke museum. Alur identitas kota pun lekas putus karena perselingkuhan untuk merengkuh citra global-kosmopolitan. Kota-kota di negeri ini adalah etalase untuk memamerkan diri dengan kegenitan dan kealpaan.
Sejarah kota-kota di negeri tumbuh dalam afirmasi diri atas peran dan makna. Kota-kota terbentuk dengan perbedaan tipologi. Supratikno Rahardjo (2007) mengungkapkan sejarah kota mengacu pada sumber ekonomi, kondisi geografis, dinamika politik, dan arus transformasi sosial-kultural. Perbedaan tipologi itu mencakup dalam pelbagai hal sebagai modal atau fondasi pembentukan dan persemaian identitas.
Pelacakan atas sejarah kota itu mulai susut oleh ambisi menggantikan tanda-tanda kota dengan pemutakhiran tanpa referensi historis. Kota-kota saat ini tumbuh dalam dalil kemiripan, kepersisan, atau malah homogen.
Identitas pun bakal ada dalam kodrat penemuan dan kehilangan. Identitas memang tidak permanen tapi dengan afirmasi secara produktif dan kreatif bisa menjadikan kota sadar harga diri. Pengabaian dengan pamrih perubahan dalam nafsu kesemuan atau artifisialitas tentu menjadi lonceng kematian kota.
Sejarah
Jejak-jejak sejarah kota di pelbagai negeri masih kekal sampai hari ini dengan konstruksi identitas memukau. Athena merupakan contoh dari kesanggupan membentuk identitas kota pada masa sebelum Masehi. Pembayangan atas sejarah kota ini masih sanggup mendekatkan manusia-manusia modern untuk mencecap spirit politik, filsafat, seni, ekonomi, dan kultural.
TZ Lavine (2002) menyebut Athena sebagai kota dengan citra kesempurnaan dalam kehidupan peradaban manusia. Kota ini masih kerap dikenangkan untuk melacak sejarah peradaban manusia dalam kesadaran identitas diri dan kota.
Tanda-tanda kebesaran dan keruntuhan Athena masih ada dan terus diinterpretasikan pada saat ini. Merawat sejarah kota seperti merawat alur panjang identitas untuk sadar diri dengan model dan konsekuensi perubahan. Kota ada untuk dimaknai secara produktif dan tiada henti. Perubahan terjadi tanpa harus mematikan sejarah atau menguburkan tanda-tanda kota demi pamrih kapital. Identitas kota terus dalam dinamisasi dalam ambisi mengakar ke sejarah dan menggapai masa depan.
Kota-kota di negeri ini justru lelah merawat sejarah. Kota tumbuh dan berubah seperti takdir tanpa masa lalu. Kota telah kehilangan bahasa untuk mengucapkan diri tentang pelbagai hal. Identitas kota bangkrut oleh aksesori kota. Kisah kota mati dalam kesibukan untuk mencapai ekstase modernitas.
Kota tanpa kata? Rumusan diri dan pembahasaan identitas kota susah mendapati kata karena kota digerakkan oleh nafsu modal. Kata sebagai representasi dari progresivitas nalar dan imajinasi luluh dalam kesemrawutan visual dan kenorakan wajah.
Kota-kota di negeri ini justru lihai memperalat kata untuk kehilangan makna dengan jargon-jargon: kota wisata, kota seni, kota budaya, kota pendidikan, atau kota teknologi. Kata itu hampir tak mengacu pada referensi historis. Kata dipaksakan untuk klaim demi harga diri semu.
Kata
Pengisahan kota menjadi perkara penting dan genting pada hari ini. Penulisan sejarah dan kisah kota mungkin bakal membuat afirmasi dan produksi makna untuk identitas menemukan jalan terang. Sejarah kota ditulis untuk melahirkan suara dalam keramaian publik mengonsumsi impian picisan kekikinan.
Sejarah mungkin bisa mengatarkan pada pembukaan memori atas peradaban dan kesanggupan manusia membuat perubahan. Sejarah pun bakal mengabarkan konsekunsi-konsekuensi dari arus perubahan dan kegelisahan merawat otentisitas kota.
Penulisan kisah kota dalam bentuk sastra merupakan ikhtiar untuk mencatatkan kota. Model ini bakal memberi keterbukaan nalar dan imajinasi pada pembaca untuk membaca kota. Kota dalam memoar, cerepn, novel, atau puisi seperti perayaan kata untuk kota.
Orang memiliki hak melakukan interpretasi kota dalam tatanan kata. Imajinasi dan makna kota menemukan momentum persemaian. Jalan sastra seperti jadi peyelamatan atas identitas kota kendati jarang digandrungi. Kata bisa mengekalkan dan menyelamatkan kota.
Berbagai teks sastra tentang kota membuat pemaknaan atas kota menjadi terbuka. Kota-kota Imajiner (Italo Calvino), Dubliner (James Joyce) dan Istanbul: Kenangan Sebuah Kota (Orhan Pamuk) merupakan puncak sastra dalam mengisahkan kota. Kata dan kota hadir dalam intimitas atau kemanunggalan.
Proyek kata ini memang pantas dipertanyakan untuk kesahihan data atau fakta. Sastra sebagai pengisahan memang tidak hendak memosisikan diri sebagai sumber paling sahih dari sejarah dan pertumbuhan kota. Sastra mengekalkan kisah kota dalam permainan kata untuk menemukan makna dan merayakan imajinasi.
Proyek sastra untuk kota ini masih jarang digarap di negeri ini. Para penguasa kota justru gandrung dengan pelbagai proyek untuk menjadikan kota menipu mata dengan pembangunan kantor, mal, gapura, taman, tempat hiburan, atau monumen meski mereka bisu atau susah mengatakan sesuatu pada publik. Penguasa abai untuk menggerakan proyek literasi dengan model penulisan dan pembacaan kota melalui sastra. Kota-kota memang telah kehilangan kata. Identitas kota pun tampil dalam diam dan keremangan makna. Begitu. - Oleh : Bandung Mawardi Pengelola Jagat Abjad Solo
Opini Solo Pos 21 Desember 2010
20 Desember 2010
Kota tanpa kata
Thank You!