22 September 2010

» Home » Okezone » Transformasi Sosial-Ekonomi China

Transformasi Sosial-Ekonomi China

China telah mengukuhkan diri sebagai salah satu kekuatan ekonomi paling tangguh di dunia. Pencapaian gemilang pembangunan ekonomi selama lebih dari tiga dekade terakhir memang spektakuler, yang membuat decak kagum banyak negara.

China telah tumbuh menjadi raksasa ekonomi Asia Timur yang menggetarkan negara-negara maju. Kini poros kekuatan ekonomi dunia tidak lagi bertumpu hanya di dua benua: Amerika dan Eropa. China di abad ke-21 adalah sebuah negara yang sukses melakukan transformasi sosial ekonomi amat fundamental yang membawa dampak global.


Proses transformasi berlangsung mulus ketika China mampu mengatasi pertikaian politik dan perseteruan ideologis akut yang menjelma dalam Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Empat dekade silam, China masih terjebak dalam pertarungan ideologis antarfaksi politik yang amat keras dan selama bertahun-tahun mengisolasi diri dari pergaulan dunia.

Di bawah komando Mao Tse-tung, para penyokong Revolusi Kebudayaan melakukan propaganda massal untuk melawan ideologi kapitalisme dengan retorika khas: “kaum borjuis liberal yang menjadi watak dasar kapitalisme adalah bahaya bagi ideologi sosialisme.” Sejarah mencatat, pergolakan politik dan pertarungan ideologis ini menelan korban tiga juta orang tewas (mayoritas karena kelaparan dan kemiskinan akibat konflik panjang) dan merusak infrastruktur sosial ekonomi-politik sehingga nyaris lumpuh total.

Setelah Revolusi Kebudayaan berakhir, China perlahan mulai membuka diri dan berinteraksi dengan dunia luar secara politik dan ekonomi. Pergeseran ini merupakan gejala menarik sekaligus fenomena paradoksal. China adalah penganut setia ideologi sosialisme, tapi bersedia mengadopsi sistem ekonomi liberal dan menyerap nilai-nilai kapitalisme global.

Sejarah mencatat, Deng Xiaoping adalah tokoh yang sangat berjasa karena sukses memadukan elemen-elemen dua ideologi besar dunia tersebut menjadi persenyawaan baru, yang menjelma menjadi kekuatan dahsyat bagi China. Deng, lawan politik menjulukinya capitalist roader (antek kapitalis), adalah tokoh pragmatis yang menjadi pelopor reformasi ekonomi propasar melalui gagasan Gaige Kaifang—reforms and openness.

Dia mengambil langkah inovatif dengan mendefinisikan ulang dan melakukan reinterpretasi doktrin sosialisme dengan mengadaptasi elemen-elemen kapitalisme: pasar terbuka, investasi asing, dan perdagangan bebas. Untuk itu, Deng mengusung semboyan yang amat terkenal: it does not matter if a cat is black or white as long as it catches mice.

Deng secara cerdik mengambil manfaat sistem kapitalisme mengingat China memiliki potensi ekonomi sangat kaya: tenaga kerja murah, biaya transportasi dan komunikasi rendah, tarif perdagangan kompetitif, iklim investasi kondusif, dan berbagai jenis biaya transaksi ekonomi yang rasional.

Saripati Dua Sistem

Agar gagasan reformasinya tetap berpijak pada basis ideologi sosialisme, Deng menerapkan sistem yang disebut socialist market economy. Sistem ini menegaskan, means of production adalah milik kolektif negara dan kaum buruh. Namun, berbeda dengan sosialisme ortodoks, sistem ekonomi ini mengakui peran pasar sepanjang dikontrol oleh pengambil kebijakan yang menganut ideologi sosialisme.

Sistem ini bertumpu pada pemikiran dasar bahwa pasar bukan suatu mekanisme eksklusif bagi sistem kapitalisme sehingga negara harus tetap memiliki kekuasaan untuk mengendalikan means of production. Sebagian kalangan menyebut praktik ekonomi China ini sebagai socialism with Chinese characteristics.

Praktik ekonomi ini merujuk pada “mixed forms of private and public ownership competing within a market environment, creating a system that is in essence identical to capitalism where the state dominates parts of the economy.” Deng Xiaoping terbukti benar, China meraup sukses di tengah gelombang pasang kapitalisme global.

Pertumbuhan ekonomi China rata-rata 10% per tahun, suatu pencapaian yang sungguh fantastik! Pada 2006 pertumbuhan ekonomi sembilan kali lebih tinggi dibandingkan 1978, masa ketika China mulai membuka diri sehingga negara ini menempati posisi keempat setelah Amerika, Jepang, dan Jerman. Sukses ekonomi China berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kualitas hidup rakyat.

Selama 20 tahun (1981- 2001), China berhasil mengangkat 400 juta rakyat dari jerat kemiskinan dengan pendapatan per kapita naik enam kali lipat sejak 1978. Sukses ini bermula dari keberhasilan dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk, yang selama dua dekade tumbuh 1,46% (1980-an) dan 1,02% (1990-an) per tahun.

Meski demikian, proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan meningkat dua kali lipat mendekati dua perlima, dan lebih dari 150 juta penduduk pindah ke kota yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, sekaligus menandai proses migrasi paling masif dan kolosal dalam sejarah China modern.

Reformasi Pendidikan

Pertumbuhan ekonomi China yang amat pesat itu dibarengi dengan reformasi pendidikan yang bertumpu pada tiga kebijakan pokok. Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan melalui perbaikan mutu sekolah agar sesuai kebutuhan lapangan kerja, menstimulasi kegiatan ekonomi, dan mempromosikan daya saing global. Kedua, mendayagunakan sumber daya secara efisien, termasuk milik swasta, untuk mendukung pelayanan pendidikan bagi segenap warga negara.

Ketiga, mengurangi disparitas pelayanan pendidikan dengan memperluas akses dan pemerataan pendidikan di wilayah perdesaan. Selain itu, China juga membangun banyak sekolah kejuruan, politeknik, dan universitas yang terintegrasi dengan pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan, seperti Shenzhen, Zhuhai, Shanghai, Guanzhou, Dalian, Zhanjiang, Hanian (lihat Loren Brandt & Thomas Rawski, China’s Great Economic Transformation, Cambridge 2008).

Reformasi pendidikan ini sejalan dengan kebijakan pengembangan sains dan teknologi untuk meningkatkan daya saing nasional. Penguasaan sains dan teknologi merupakan faktor determinan dalam proses produksi, efisien dalam memproduksi barang-barang berkualitas dengan harga murah. Diyakini sepenuhnya, kemampuan negara menjaga pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan bergantung pada kemampuannya dalam mengembangkan sains dan melakukan inovasi teknologi.

Pusat-pusat riset sains dan teknologi dikembangkan melalui dua program utama. Pertama, “Xinghuo” (Spark Program) yang difokuskan pada teknologi pertanian untuk mendukung pengembangan ekonomi perdesaan.Kedua, “Huoju” (Torch Program) yang difokuskan pada teknologi komunikasi dan informasi dan manufaktur untuk memperkuat industri jasa dan perdagangan, yang sekaligus dijadikan sebagai basis dalam mendorong transformasi perekonomian nasional.

Saksikan, ikhtiar Pemerintah China melakukan reformasi ekonomi yang terintegrasi dengan sektor-sektor lain telah mengundang minat banyak investor asing untuk mengembangkan bisnis dan membangun industri di Negeri Tirai Bambu ini. China bahkan tercatat sebagai negara Asia yang paling besar mendapat aliran modal asing— foreign direct investment, yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Data per Desember 2008 menunjukkan, di tengah-tengah tren penurunan ekonomi dunia, China justru sukses menarik FDI sebesar 92,4 miliar dolar, meningkat sekira 23,6% dibandingkan 2007 (Reuters, 14/01/2009). Pertumbuhan ekonomi China yang demikian gemilang itu tak lepas dari kesediaan untuk menerima realitas betapa kapitalisme sudah menjadi gejala global.

Bagi China, pilihan yang tersedia hanya dua: terus mengisolasi diri dari pergaulan dunia dengan menjalankan ekonomi sosialisme tertutup yang melahirkan kesengsaraan atau memeluk kapitalisme yang potensial mendorong kemajuan dan menciptakan kemakmuran. China secara sadar memilih opsi kedua, namun masih tetap mempertahankan ajaran sosialisme.

China memang gejala paradoksal. Untuk menjaga daya hidup ideologi sosialisme justru bersandar pada sistem kapitalisme. Maka, Deng Xiaoping, sang pelopor reformasi ekonomi propasar, dijuluki sebagai free rider of capitalism—penumpang gelap kapitalisme. Siapa saja perlu belajar ke China karena banyak sarjana menulis: bila abad ke-17 sampai ke-19 milik Inggris, abad ke-20 milik Amerika, abad ke-21 tampaknya akan menjadi milik China.(*)

Amich Alhumami
Peneliti Sosial, Department of Anthropology
University of Sussex

Opini Okezone 22 September 2010