22 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » TERORIS DAN POLRI

TERORIS DAN POLRI

Oleh Muradi
Penyerbuan sejumlah orang yang diduga jaringan teroris ke Polsek Hamparan Perak, Sumatra Utara menyisakan berbagai spekulasi. Hal itu disebabkan sebagai daerah nonkonflik, Sumatra Utara terbilang aman dan jauh dari kesan praktik kebrutalan yang banyak terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) atau daerah rawan konflik lainnya. Apalagi dengan gugurnya tiga anggota Polri makin menegaskan, jaringan teroris tersebut menyatakan perang terbuka kepada Polri dan Densus 88 AT, yang menjadi instrumen utama pemberantasan terorisme di Indonesia.


Pernyataan resmi Mabes Polri bahwa penyerangan tersebut terkait dengan jaringan teroris yang melakukan perampokan beberapa waktu lalu dan kemudian Densus berhasil menangkap sebagian pelaku adalah kesimpulan yang terburu-buru. Ada karakteristik kasus yang berbeda terkait dengan penyerangan polsek tersebut, yakni: kenekatan yang tidak terukur, apalagi bila dikaitkan dengan pola penyerangan terorisme yang terjadi selama ini lebih banyak menyalurkan kenekatan dengan keyakinan syahid pada objek vital asing.
Perubahan pola
Ada dua kemungkinan yang dapat dilihat. Pertama, pelaku penyerangan Polsek Hamparan Perak masih terkait dengan jaringan terorisme yang melakukan perampokan terhadap Bank CIMB Niaga dan kemudian ditangkap Densus 88 AT. Penyerangan tersebut merupakan bagian dari aksi balas dendam berkaitan dengan penangkapan sejumlah gembong teroris yang dilakukan oleh Polri.
Bila hal itu benar, sesungguhnya Polri melakukan kelalaian. Kelalaian itu antara lain, Polri masih menganggap aksi perampokan yang dilakukan sebagai bagian dari upaya mendukung aksi teror. Padahal, dalam banyak kasus di sejumlah negara, kadang kala meski terkait antara aksi teror dengan perampokan, sesungguhnya itu merupakan bagian yang terpisah. Kelalaian kedua, buruknya analisis dan deteksi pascapenangkapan sejumlah pelaku perampokan yang disinyalir bagian dari jaringan terorisme. Kelalaian ketiga, meniadakan sama sekali unit terdepan Polri, yakni polsek dalam proses penangkapan sejumlah pelaku perampokan. Padahal bila mengacu pada Renstra Polri, polsek adalah beranda terdepan Polri dalam melayani dan memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Kedua, aksi peyerangan tersebut merupakan imbas dari aksi Densus 88 AT yang menerobos masuk ke area terlarang di sekitar Bandara Polonia yang merupakan kewenangan TNI AU. Sejak pendiriannya, Densus 88 AT menjadi satu-satunya unit antiteror yang memiliki kewenangan yang diatur dalam UU No. 15/2003 sehingga ada perasaan kurang pas dengan langkah Densus 88 AT menerobos area terlarang di Bandara Polonia, Medan. Sangat logis apabila ada aktor lain bermain di air keruh, memanfaatkan situasi yang menegang, dengan upaya merusak citra Polri dan memberi pelajaran kepada Polri agar mampu mengontrol anggotanya lebih baik lagi.
Dalam pandangan penulis, yang paling kentara adalah kemungkinan yang pertama. Hal itu ditandai dengan perubahan pola dan strategi penyerangan yang sama sekali berbeda dari kelompok terorisme era Dr. Azahari maupun Noordin M. Top. Generasi baru terorisme ini tidak lagi menggunakan pakem yang selama ini berlaku, yaitu penyerangan aparat keamanan terjadi apabila dalam situasi dan kondisi yang sangat mendesak dan atau di daerah konflik.
Hal itu disebabkan pada tiga hal. Pertama, kelompok terorisme di Sumatra Utara dan sekitarnya merupakan gabungan beberapa organisasi pelawanan dan pecahan dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebelumnya melakukan perlawanan kepada pemerintah. Hal itu terlihat dari pola aksi yang digunakan dengan pendekatan organisasi perlawanan bukan pola kelompok terorisme. Kedua, ruang gerak yang makin terbatas membuat kelompok tersebut menjalankan pola yang lebih berinisiatif dalam melakukan perlawanan dan kejaran dari anggota Polri dan Densus 88 AT. Ketiga, upaya balas dendam yang cenderung sporadis itu mencerminkan kelompok terorisme ini cenderung tidak terorganisasi dengan baik.
Perubahan pola pergerakan dan perlawanan ini harus dilihat Polri sebagai bagian dari ancaman serius, mengingat penyerangan Polsek Hamparan Perak terjadi di daerah yang sama sekali bukan daerah konflik atau basis terorisme sebagaimana terjadi di Poso, Ambon, dan atau NAD. Sebab, tanpa respons serius dari Polri, bisa jadi Polsek Hamparan Perak bukan satu-satunya Polsek yang akan diserang jaringan terorisme. Perubahan pola pergerakan dan perlawanan tersebut menandai pula babak baru gerakan terorisme di Indonesia.
Hampir dipastikan, jaringan dan kelompok terorisme yang dulu dibina oleh aparat ketika era Orde Baru, satu persatu memilih pensiun, tertangkap, dan atau tewas. Sehingga jaringan yang ada sekarang, merupakan bagian dari pembangunan kesadaran yang semu, karena ada sanak saudaranya yang menjadi korban dari perang terhadap terorisme yang telah dicanangkan sembilan tahun lalu. Dengan kata lain, motif yang mengikat bukan hanya alasan keagamaan, melainkan juga kebencian terhadap tindak-tanduk aparat keamanan yang berlebihan.***
Penulis, staf pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad.
Opini PIkiran Rakyat 23 September 2010