22 September 2010

» Home » Media Indonesia » Jembatan Ambles dan Revolusi Kebijakan

Jembatan Ambles dan Revolusi Kebijakan

AMBLESNYA jembatan di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, sepanjang 102 meter pada 16 September dini hari (Media Indonesia, 17/9/2010), bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Dari perspektif policy/kebijakan, kasus amblesnya jembatan itu merupakan satu dari 1.001 persoalan penataan Jakarta, ibu kota NKRI. Setidaknya amblesnya jembatan itu berkaitan dengan rendahnya penataan ruang Jakarta, persoalan banjir, hancurnya DAS (daerah aliran sungai) dari hulunya di Bogor, Puncak, dan Cianjur. Selain itu, ada masalah pengelolaan mangrove Jakarta (utara), overloading kendaraan yang keluar masuk pelabuhan Tanjung Priok, sampai soal konstruksi fisik jembatan itu sendiri. 


Jabodepunjur tidak terpadu 
Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dalam wawancara Metro TV (17/9) menyatakan bahwa saat ia menjadi gubernur telah banyak melakukan pembenahan pantai utara dengan mangrove dan membuat tanggul-tanggul seperti pulau-pulau kecil untuk mencegah masuknya air laut ke daratan terutama pada musim penghujan. Bang Yos menyayangkan kurang seriusnya pemda. Jabar, khususnya Bogor, Depok, Puncak, dan Cianjur (Bodepunjur) yang seharusnya terpadu menanggulangi banjir mulai dari hulunya itu. Pemda DKI berupaya mengefektifkan Kanal Banjir Timur (KBT) maupun Barat (KBB), tapi apa arti semua itu jika tidak dibendung di hulunya. 
Sutiyoso menyayangkan banyaknya industri properti seperti perumahan, seperti Realestat Indonesia (REI) dan bangunan lain yang marak menyedot air tanah dengan kedalaman ratusan meter. Akibatnya, perembesan air laut ke tengah Kota Jakarta sudah pada posisi 'stadium' tinggi, bahkan ada yang memprediksi Jakarta bakal tenggelam pada 2040. Persoalannya, terobosan apa untuk menyelamatkan Jakarta? 

Nasionalisme tergerus 
Polda Metro Jaya memeriksa pemborong yang membangun jembatan RE Martadinata untuk melacak kelayakan konstruksi yang berdampak pada tindakan melanggar hukum, seperti korupsi. Tanpa mereduksi tujuan investigasi hukum, pemerintah harus melakukan investigasi kebijakan dalam hal ini Kementrian PU, Ditjen Bina Marga sehubungan status jalan RE Martadinata sebagai jalan negara. Investigasi kebijakan melacak standar kelayakan konstruksi, konstruksi yang 'ramah' lingkungan, sejalan dengan perencanaan tata ruang kota serta antisipasi laju abrasi pantai utara dan penurunan posisi tanah sekitar 60 sentimeter setiap tahun akibat sedimentasi air laut, banjir serta beban yang harus dipikul jembatan. 
Sebab itu, persoalan dasar kita adalah desain kebijakan publik. Lembaga pelaku kebijakan harus diaudit kinerjanya dan akuntabilitas penggunaan anggaran sesuai dengan standar konstruksi, termasuk anomali iklim yang menyebabkan naiknya permukaan air laut. Sebab sudah menjadi 'rahasia umum' bahwa pekerjaan konstruksi megaproyek yang menyedot dana miliaran atau triliunan rupiah amat rawan tertular 'wabah kronis' di negeri laten korupsi ini. Sebab rendahnya daya saing kita sebagaimana disampaikan World Economic Forum (FEW) sejak 2008, mengindikasikan itu. Apalagi FEW menyebut penyebab utama dari rendahnya daya saing infrastruktur kita ialah inefisiensi birokrasi dan korupsi (Bappenas, 2010). 
'Rahasia umum' itu telah menggerus semangat kebangsaan atau nasionalisme kita. Padahal UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI sangat kental dengan nuansa kebangsaan, seperti tercermin dari nama undang-undang itu, tapi apa arti sebuah nama jika 'roh' kebangsaan tidak kita hiraukan, dalam kebijakan infrastruktur berorientasi ekonomi kerakyatan. Indikasi lain dari korupsi dan inefisiensi birokrasi itu terlihat dalam kemacetan di kota-kota besar, sedangkan di desa kita banyak jalan terputus atau rusak, jalan berbatu dan tanah yang digunakan hanya di musim kemarau. 
Anehnya, banyak gubernur dan bupati/wali kota mencuci tangan atas alasan kekurangan dana. Padahal dari 421.535 km panjang jalan Indonesia pada 2008, kebanyakan rusak justru terjadi di ruas jalan provinsi. Kondisi riil seperti dirilis Media Indonesia 19/8, dari 34.628 km jalan negara, yang rusak berat 3,44%, rusak ringan 13,34%, rusak sedang 33,56% dan kondisi baik 49,67%. Dari 40.125 km jalan provinsi, rusak berat 32,90%, rusak ringan 28,21%, kondisi sedang 34,88%, dan baik hanya 5,85%. Dan dari 346.782 km jalan kabupaten/kota, rusak berat 21,87%, rusak ringan 31,14%, sedang 24,53%, dan baik 22,46% . 

'Revolusi' paradigma 
Jembatan ambles, kemacetan, jalan rusak, kecelakaan transportasi, bagi kita bukan sekadar persoalan konstruksi dan tehnik arsitektur, melainkan juga paradigma kebijakan pembangunan yang top-down bahkan--meminjam istilah Robert Chambers (Rural Development Putting the Last First,1983)--sebagai pembangunan yang mengobjekkan desa. Chambers benar, ketika misalnya 8,5 juta kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta setiap hari, lebih 6,5 juta didominasi sepeda motor bukan saja mengindikasikan ketimpangan ekonomi, melainkan juga Jakarta tetap menjadi 'dewa' uang, harta, dan kekuasaan. Oleh karena itu, paradigma sentralistik, berorientasi pertumbuhan tanpa simultan dengan pemerataan. 
Dari itu, kita tidak hanya membendung arus pendatang baru ke Jakarta atau hanya memindahkan salah satu fungsi Kota Jakarta semisal fungsi pemerintahan, tetapi juga didesak membalikkan pendulum atau paradigma bahwa pertumbuhan ekonomi harus mulai dari 'bawah', dari desa. Penguatan politik desentralisasi sejalan dengan desentralisasi fiskal, menata pola belanja daerah secara baru. Tentu saja harus didahului studi kebijakan yang berorientasi program terpadu lintas sektoral. Namun, agar tidak menambah daftar panjang raja dan ratu di daerah, pembaruan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mendesak dilakukan. Kendali moneter tetap menjadi otoritas pemerintah pusat, sejalan dengan pengawasan independen oleh BPK dan KPK. 
Sentralisasi pembangunan zaman Soeharto menimbulkan urbanisasi besar-besaran dan menjadikan kota sebagai 'dewa' penyelamat. Kita telah mengubah pendulum pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik, tetapi tidak diikuti dengan 'revolusi' paradigma pembangunan ekonomi yang harus berawal dari desa. Desa menjadi pusat pertumbuhan (growth centre), dengan intervensi terukur dan sistemik pemerintah pusat, dengan membarui formula pemberian dan pertanggungjawaban dana hibah seperti PNPM, BOS, juga program DAK, dekon, dan tugas pembantuan (medebewind). 

Oleh Ansel Alaman, Pengajar CB Unika Atma Jaya dan Binus University
Opini Media Indonesia 23 September 2010