22 September 2010

» Home » Media Indonesia » Substansi Kuliah Prof Ellwood sudah Basi

Substansi Kuliah Prof Ellwood sudah Basi

Ada empat syarat untuk menciptakan lapangan kerja dan menghapuskan kemiskinan, kata Prof David Ellwood, Dekan Harvard Kennedy School, dalam kuliahnya di Istana Negara, 15 September lalu. Di depan Presiden Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, segenap menteri Kainet Indonesia Bersatu II, anggota Dewan Ekonomi Nasional, Dewan Industri Nasional, Dewan Inovasi Nasional, para pimpinan redaksi media massa dan undangan lain, Ellwood berbicara mantap sekali seolah-olah ia sedang berhadapan dengan mahasiswanya di kelas. Pada waktu yang sama, SBY pun mendengarkan apa yang disebut presidential lecture itu dengan saksama dan serius. Sebagian besar hadirin hampir dipastikan mengalami kesulitan mencerna substansi pembicaraan Ellwood karena faktor bahasa Inggris. 

Keempat persyaratan yang dikemukakan Prof Ellwood adalah (1) ekonomi yang kuat, (2) keunggulan komparatif jangka panjang, (3) kelembagaan yang kuat dan (4) pemerintahan yang kuat dan efektif. Dus, kata kunci resep pemikiran Ellwood adalah strong alias kuat. 


Namun, jika dikaji secara kritis, apa yang dikuliahkan Prof Ellwood sesungguhnya bukan 'barang baru'; bahkan tidak ada pemikiran baru. Satu-satunya yang pantas diacungkan jempol adalah keterusterangan Ellwood mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah SBY. 

Ekonomi yang kuat? Setiap lulusan fakultas ekonomi mana pun tahu bahwa mustahil sebuah negara bisa meningkatkan kesejahteraannya manakala ekonomi nasional memble, atau pertumbuhannya minus. Secara teoritis, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan dapat menciptakan lapangan kerja sehingga pengangguran menurun dan kesejahteraan meningkat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin cepat pengurangan pengangguran, dan semakin cepat pula peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, kemiskinan semakin menurun. Itulah yang disebut trickle down effect (TDE). 

Namun, di hampir semua negara sedang berkembang--termasuk Indonesia--teori TDE tidak efektif. Pada era Orde Baru, 5 kali pelita (total 25 tahun) hanya menimbulkan kesenjangan yang lebih menganga antara si kaya dan si miskin. Pembangunan ekonomi memberikan peluang kepada kaum kapitalis untuk lebih kaya dan lebih kaya; sedangkan wong cilik semakin tergencet. Di bidang usaha, ribuan usaha lokal mati tergusur oleh perusahaan-perusahaan besar, khususnya yang multinasional karena tidak mampu bersaing. Pengusaha kuat umumnya membawa modal raksasa dan teknologi canggih. Meminta kredit bank pun sangat mudah. Sebaliknya, pebisnis kecil susah mendapat akses kredit karena prospeknya semakin buram. 

Dalam perekonomian liberal, buruh pun semakin tersisih. Upah mereka hanya bisa meningkat beriringan dengan tingkat inflasi. Pemilik modal tidak rela memberikan penaikan upah yang jauh lebih tinggi daripada tingkat inflasi. Akibatnya, daya beli kaum buruh terus menurun. 

Setelah 10 tahun kita bereksperimen dengan sistem ekonomi neolib, kesenjangan antara si kaya dan si miskin lebih 'gila' lagi. Dari Sabang sampai Merauke, termasuk Jakarta, semakin banyak rakyat yang tersisih, bahkan terhempas ke 'comberan' sehingga kriminalitas semakin banyak dan semakin ganas. 

Buku tentang kritik terhadap trickle down effect sudah banyak, sebagian ditulis ahli ekonomi bule juga. Sebanyak 90% mengakui tidak efektifnya teori ini. Aneh bin ajaib, Prof David Ellwood masih berani menganjurkan bangsa kita untuk terus mengimplementasikan teori ini dalam pembangunan ekonominya. 

Mengenai pertumbuhan ekonomi, ada satu butir dari kuliah Ellwood yang patut digarisbawahi. Ia mengkritik kebijakan BLT (bantuan langsung tunai) yang katanya tidak efektif. Memang semua orang tahu bahwa BLT bersifat politis semata, hanya untuk memberikan 'angin surga' kepada rakyat, terutama terkait dengan Pemilu 2009. Buktinya, seusai pemilu, kebijakan BLT pun dihapus! 

Keunggulan komparatif 

Masih ingat perdebatan panas antara para penganut Widjojonomics dan Habibienomics pada awal dekade 1990? Habibie-lah yang bersikeras percaya bahwa sebuah bangsa, jika mau besar, harus memiliki keunggulan komparatif. Good! Namun, sayang yang ditawarkan Habibie adalah industri pesawat terbang. Para pengikut Widjojonomics menangkis: mana bisa kita mengejar bangsa-bangsa lain yang sudah jauh di depan dalam industri dirgantara, sedangkan Indonesia baru memulai? 

Keunggulan komparatif Jepang adalah industri otomotif dan komputer, Korea (Selatan) industri elektronik dan perkapalan, Amerika industri militer. Sementara itu, China 'industri nyontek'. Indonesia apa? Kenapa pesawat terbang, sedangkan korek kuping saja kita belum bisa bikin? Mestinya, agrobisnis dan industri ikan bisa menjadi keunggulan komparatif Indonesia. Sayang, pemerintah Soeharto dan SBY tidak pernah jeli melihat potensi raksasa dari kedua industri itu. 

Kelembagaan 

Kelembagaan yang kuat terkait dengan birokrasi. Birokrasi Indonesia, akui saja, merupakan salah satu birokrasi paling jelek di dunia! Sudah 25 tahun pemerintah membentuk Kementerian Penertiban Aparatur Negara (PAN) dengan nama yang berganti-ganti. Tujuannya untuk memperbaiki aparatur pemerintah yang tidak efisien, lamban, dan korup. Hasilnya? Nyaris nol besar. 

Lambannya daya serap anggaran belanja negara merupakan bukti kuat jeleknya aparatur pemerintah. Bayangkan, hingga Agustus 2010, baru 45% anggaran pembangunan negara yang dipakai daerah-daerah. Bukan rahasia lagi, sampai akhir April, banyak instansi kesulitan membayar gaji PNS-nya, sebab dana belum didrop Departemen Keuangan. Pemerintah Kota Ambon sampai harus meminjam uang dari pihak swasta untuk menggerakkan roda pemerintahan karena anggaran dari pusat belum turun sampai Mei yang lalu. 

Banyak rumah sakit swasta sampai hari ini setengah hati melayani pasien askes (asuransi kesehatan) sebab susah menagihnya kepada pemerintah daerah. Kok begitu? Karena anggarannya belum turun dari pusat. 

Bagaimana kita bisa membabat kemiskinan kalau tidak ditunjang birokrasi yang efisien, cekatan, dan bersih? 

Pemerintahan yang kuat 

SBY sejak kampanye 2004 sudah membuat komitmen untuk membentuk sebuah pemerintahan yang kuat, efektif, dan efisien. Kenyataannya, sampai hari ini, janji tinggal janji. Tanyakan siapa saja, 90% akan menjawab bahwa pemerintah SBY tidak solid, tidak efektif dan lamban. Hal itu terkait langsung dengan kepemimpinan presiden yang lemah, penuh ragu, dan tidak tegas dalam mengambil dan melaksanakan keputusan. 

Dalam hal ini, kritik Prof Ellwood mengenai korupsi sangat bagus, meski sebenarnya sudah basi. Intinya, Ellwood mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa upaya memberantas kemiskinan dan membabat pengangguran akan sulit jika korupsi masih marak. Namun, bukankah mantan Jaksa Agung Singgih SH (alm) 25 tahun yang lalu sudah memperingatkan kita semua bahwa korupsi dapat menggagalkan pembangunan? Sayang, dari Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY, semua tidak pernah secara sungguh-sungguh serta konsisten memerangi korupsi dan segala bentuk KKN. 

Kesimpulan kita: isi kuliah Prof David Ellwood sebenarnya tidak mengandung hal-hal baru, kecuali dua kritiknya yang positif, yaitu soal BLT dan korupsi. *** 

Oleh Prof Dr Tjipta Lesmana, MA Pengamat politik
Opini Media Indonesia 23 September 2010