27 Agustus 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Surat dan Latihan Menulis

Surat dan Latihan Menulis

Oleh Ajip Rosidi
Sejak beberapa tahun ini, kantor pos di seluruh dunia mengeluhkan kian sedikit orang yang mengirimkan surat, karena orang lebih seronok mempergunakan surat elektronik dan SMS yang jatuhnya lebih cepat dan lebih murah. Lebih praktis pula karena tidak usah pergi ke kantor pos membeli prangko dan lain-lain.
Beberapa belas tahun sebelumnya yang mengeluh adalah kantor telegram, sehingga banyak yang ditutup (atau semua kantor telegram sudah ditutup?), karena setelah ada faks orang lebih suka menggunakan faks daripada telegram.

 
Penemuan teknologi baru kian mempermudah orang untuk melaksanakan keperluannya. Dengan demikian, lembaga-lembaga yang sudah ratusan tahun didirikan untuk melayani orang menggunakan hasil penemuan seperti sistem pos dan alat untuk mengirimkan telegram, sekarang kehilangan fungsinya. Kantor pos sekarang lebih berfungsi sebagai lembaga yang menolong mengirimkan barang atau uang. Akan tetapi, lembaga keuangan seperti bank kian canggih dan kian masuk ke pelosok-pelosok. Dengan demikian, tidak mustahil dalam waktu yang tidak akan terlalu lama fungsi itu pun akan hilang dari urusan kantor pos.
Akan tetapi, akibat dari penemuan komputer yang memungkinkan mengirimkan surat elektronik dan penemuan telefon genggam yang memungkinkan mengirimkan SMS tidaklah hanya terhadap kantor pos, melainkan juga kepada kebiasaan dan keterampilan orang menulis surat. Menulis surat adalah latihan untuk mengemukakan pikiran (dan perasaan) dengan kalimat-kalimat yang jelas, cerdas, dan indah. Menulis surat juga merupakan latihan menggunakan bahasa tertulis secara tertib. Sementara menulis surat elektronik dan SMS, orang tidak perlu menggunakan bahasa yang tertib, sebab yang penting bisa dimengerti oleh penerimanya. Karena ruangannya terbatas maka dalam menulis surat elektronik dan SMS, orang biasa menggunakan huruf-huruf yang dimaksudkan sebagai kata yang disingkatkan -- yang sebenarnya belum umum digunakan orang lain. Kata-kata yang dianggap tidak perlu sering dihilangkan dari kalimat, sehingga susunan SMS atau surat elektronik sering merupakan teka-teki bagi orang lain. Dengan demikian, menulis surat elektronik atau menulis SMS tidaklah melatih orang untuk berbahasa secara baik dan jelas, jangankan indah. Kebiasaan itu niscaya akan ada pengaruhnya terhadap kemampuan orang dalam berbahasa.
Menurut statistik, konon orang Indonesia termasuk yang paling sedikit menulis dan mengirimkan surat. Oleh karena itu, tidak heran kalau berbicara atau menulis, bahkan para pemimpin pun, kalimatnya berlepotan. Ditambah oleh kegemaran membaca yang sangat rendah pula, kemampuan mengemukakan pikiran (dan perasaan) orang Indonesia umumnya sangat rendah.
Dengan penemuan teknologi canggih, kemampuan orang Indonesia berbicara atau menulis niscaya kian rendah lagi. Teknologi canggih bukan membantu orang Indonesia agar dapat mengemukakan pikirannya dengan baik, jelas, dan runtun, melainkan kian kacau, karena semboyannya "asal dapat dimengerti". Penguasaan bahasanya baik bahasa nasional maupun bahasa ibunya kian rendah. Dalam forum yang seharusnya menggunakan bahasa ibu, orang tidak malu-malu meminta maaf untuk berbicara dalam bahasa Indonesia karena merasa tidak mampu berbicara dalam bahasa ibunya, "takut salah". Padahal, dalam bahasa Indonesia, pembicaraannya tidak menunjukkan penguasaan yang cukup baik sehingga banyak kalimat rancu. Akan tetapi, kalau berbicara dalam bahasa Indonesia, walaupun salah, tak pernah ada orang yang menegur sama sekali. Hal itu juga menjadi salah satu sebab mengapa anak-anak muda tidak mau menggunakan bahasa ibunya. Karena kalau berbicara dalam bahasa ibunya, dia melakukan kesalahan memilih kata-kata sehingga tidak sesuai dengan undak-usuk basa, dia akan langsung dimarahi atau ditegur. Padahal, kalau berbicara dalam bahasa Indonesia walaupun salah tak pernah ada yang menegur.
Dengan demikian, kebanyakan bangsa kita tidak dapat berbicara secara tertib dalam bahasa nasional, juga tidak dapat berbicara tertib dalam bahasa ibunya. Kalau berbicara bahasa Indonesia kecuali kalimatnya rancu, juga banyak sekali diselingi dengan kata atau ungkapan bahasa Inggris. Bagaimana kalau berbicara dalam bahasa Inggris? Saya tidak dapat memberi penilaian karena saya bukan orang yang tepat untuk melakukan hal itu juga jarang mendapat kesempatan mendengar mereka berbicara dalam forum bahasa Inggris. Namun, kebanyakan tampaknya hanya sampai "asal dapat dimengerti" juga seperti kalau berbicara dalam bahasa Indonesia.
Saya kira mata pelajaran yang sekarang diberikan kepada murid sekolah dasar dan sekolah menengah (pertama dan atas) terlalu banyak, sehingga harus dikurangi. Kasihan anak-anak harus dibebani dengan pelajaran yang belum tentu bermanfaat dalam hidupnya nanti. Perbanyak pelajaran bahasa, dalam arti perbanyak waktu untuk latihan mereka mempergunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Dorong mereka agar suka membaca, terutama buku karya sastra yang menjadi kanon dalam sastra nasional -- dan buku dalam bahasa ibunya kalau bahasa ibunya juga mempunyai penerbitan buku. Artinya, perpustakaan sekolah harus ada dan harus lengkap serta harus mengikuti perkembangan buku-buku baru yang bagus-bagus. Lebih bermanfaat kalau para pelajar itu lebih banyak membaca sendiri buku yang bagus daripada mendengarkan guru berbicara tentang hal-hal yang caranya sama sekali tidak menarik hati para pelajar.
Hanya kalau kita bisa menjadi bangsa yang banyak membaca dan penerbitan buku kita bagus-bagus, kita bisa mengejar bangsa maju seperti Jepang dan Belanda dan kita akan menjadi bangsa yang maju. Kalau kegemaran membaca kita masih di bawah Malaysia, bahkan di bawah Vietnam, kita tak usah bermimpi akan menjadi bangsa besar. Janganlah bermimpi bahasa nasional kita akan menjadi bahasa dunia. Apalagi, kalau kita sebagai bangsa yang mempunyainya tidak memiliki kebanggaan terhadapnya. Terbukti, kita enggan mempelajarinya, enggan membacanya, dan bersikap tidak peduli terhadapnya dan kalau menggunakannya selalu diselingi dengan kata-kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris.***
Penulis, budayawan.
Opini Pikiran Rakyat 28 Agustus 2010