27 Agustus 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Ramadan dan Budaya Pasar

Ramadan dan Budaya Pasar

Oleh LAHMUDDIN
Momentum bulan suci Ramadan bagi budaya pasar merupakan peluang untuk meraih laba tak terhingga yang membabi buta. Budaya pasar tentu saja mendedikasikan dirinya untuk kepentingan pasar dan keuntungan sesaat. Ini tentu saja berbanding terbalik terhadap makna dan tujuan Ramadan itu sendiri yang berdurasi maksimal tiga puluh hari tetapi berdampak sampai ke akhirat. Ironis memang. Akan tetapi, itulah realitas kehidupan masyarakat konsumtif hedonistik. 

Umat Islam seolah tak punya pilihan lain, kecuali mengikuti selera pasar yang fluktuatif (atau "menentukan"?) dan cenderung destruktif itu. Karena budaya pasar sama sekali tidak peduli siapa yang menjadi korbannya maka apa saja yang ada di hadapannya, yang sedang tren dan menjadi fokus, semua dilalapnya. Senjatanya sederhana saja, yaitu imajinasi, selebrasi seremonial, dan pencitraan semu.
Kesucian Ramadan kerap kali diganggu oleh budaya pasar. Seolah teori ekonomi, supply and demand, menjadi amunisi pamungkas bagi justifikasi tuntutan pasar. Budaya pasar seolah seirama dengan tetabuhan yang meningkahi riuh rendah tarian Ramadan. Masyarakat Muslim dirayu dan diajak untuk sibuk dengan persiapan materialistik belaka, mulai dari penyediaan bahan penganan sampai kebutuhan badaniah lainnya.
Ramadan tak lagi dimaknai sebagai bulan pembakaran dosa dan perbaikan akhlak untuk menjadi diri paripurna (insan kamil) dengan predikat muttaqin (orang yang takwa). Doa telah kehilangan esensi permohonan kepada Sang Khalik. Ungkapan kata maaf di antara kita sebatas basa-basi komunikasi.
Teknologi telekomunikasi sebagai bagian produk budaya pasar turut andil pula membuyarkan kekhusyukan Ramadan. Malam Ramadan yang semestinya diisi dengan Tarawih, tadarus, dan iktikaf diwarnai dengan program "telefon gratis ke semua operator", "gratis menelefon selama sahur", dan program "ngobrol-ngobrol" gratis lainnya. Komunikasi verbalistik sekadar ngobrol atau bergosip telanjur menjadi keniscayaan pada masyarakat kita. Padahal, komunikasi islami pasti berdimensi amar makruf nahi mungkar (mengajak yang baik, mencegah yang mungkar), saling mewasiatkan yang benar dan mewasiatkan dengan kesabaran, sampaikan olehmu walau hanya satu ayat, dan seterusnya. Syariat Islam melarang keras (baca : mengharamkan) bila sampai adanya deviasi komunikasi (penyimpangan komunikasi) berikut produk turunannya, seperti gibah, namimah, dan fitnah. Trilogi deviasi komunikasi itu kini menjadi komoditas murahan yang terbiasa "diperdagangkan" di sebagian acara infotainment.
Perselingkuhan antara media elektronik (dalam hal ini televisi) dan berbagai produk dengan alasan kebutuhan pangsa pasar potensial selama Ramadan membuat pemirsa terlena dengan dominasi program tawa canda (yang sejatinya dapat mematikan mata hati), sinetron dengan plot cerita yang dipaksakan dan nyaris seragam, serta pengeksploitasian kekayaan sekaligus kemiskinan yang tampak hitam putih, telah menjadi menu saji setiap hari di ruang publik. Sementara berita hanyalah sebagai pelengkap penyerta informasi. Di bulan Ramadan ini pula, nyaris semua program televisi menyesuaikan diri (atau tahu diri?). Para presenter pengisi acara lain juga tak ketinggalan berubah wujud dengan menutup aurat ala kadarnya. Barangkali terminologi (istilah) yang tepat untuk menggambarkan acara televisi sekarang sebagai "mendadak islami", kendati esensinya tetap sama, yaitu selera pemirsa, pangsa pasar, dan budaya pasar itu sendiri.
Kekhusyukan ibadah Ramadan, sebagaimana pakem ibadah lainnya (yang memerlukan kekhusyukan), seakan menjadi sesuatu yang formalitas, rutinitas, dan terkesan statis. Oleh karena itu, bagi pelaku budaya pasar, bagaimana suasana Ramadan tersebut "dikreasi" sedemikian rupa sehingga lebih hidup, semarak, ramai, dan ingar-bingar. Suara petasan dan kembang api tak ayal telah menjadi "ikon" Ramadan. Pada titik ini, bulan Ramadan menjadi kehilangan "roh"-nya sebagai bulan yang penuh rahmat, berkah, dan magfirah serta garansi dari Allah bagi seorang Mukmin terbebas dari api neraka.
Deskripsi ini bukanlah sikap sinisme pesimistik. Fenomena ini tak lain merupakan konfigurasi anomali masyarakat kita yang tergiur dan tergiring dunia materialistik, yang terlalu hubuddunya (cinta dunia) dan hedonistik. Indikasi-indikasi spiritualisme ukhrawiyah telah menjadi etalase manipulatif, bahkan semakin mengukuhkan eksistensi budaya pasar. Apa boleh buat, budaya pasar telah menggurita begitu masif dan menjadi virus peradaban manusia. Ataukah malah peradaban manusia itu terbentuk dari budaya pasar? Wallahualam bissawab.

Opini Pikiran Rakyat, 28 Agustus 2010