27 Agustus 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Cadangan Beras Jabar

Cadangan Beras Jabar

Oleh H. Sutarman
Ketahanan pangan secara harfiah memiliki dua arti, yaitu (1) tersedianya pangan di masyarakat pada setiap saat dan setiap tempat serta (2) setiap rumah tangga mampu mengaksesnya. Kedua arti tersebut saling terkait karena kendati pasokan pangan di masyarakat cukup tersedia, tidak akan bernilai "ketahanan" jika rumah tangga tidak mampu mengaksesnya.

 
Jenis kebutuhan pokok masyarakat meliputi beras, gula pasir, minyak goreng, terigu, daging, telur, cabe merah, bawang merah, dan sebagainya. Khusus komoditas beras, memiliki peran tersendiri dalam posisi pangan bangsa Indonesia sehingga dinyatakan sebagai komoditas strategis karena berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, stabilitas politik nasional, dan jika terjadi kelangkaan atau mahal pasti berakibat terhadap gejolak di masyarakat.
Produksi gabah nasional untuk 2009 mencapai lebih 60 juta ton, sedangkan Jawa Barat mampu menghasilkan 11 juta ton. Dengan kata lain, kontribusi Jawa Barat terhadap pengadaan gabah nasional mencapai hampir 17 persen, merupakan kontribusi terbesar dalam menopang ketahanan pangan nasional, disusul Provinsi Jatim, Jateng, Sulsel, Sumut, Sumsel, Lampung, Sumbar, Banten, dan provinsi lainnya.
Jika rendemen beras 60 persen dari volume produksi 11 juta ton gabah kering giling (GKG), volume beras menjadi 6,6 juta ton, sedangkan tingkat konsumsi rata-rata 105 kg/kapita/tahun, maka volume beras Jabar jika dikonsumsi masyarakatnya adalah 4,2 juta ton dalam setahun. Berdasarkan ilustrasi kasar tersebut, kondisi Jabar termasuk kategori surplus 2,4 juta ton karena tingkat pasokan lebih besar dibandingkan dengan permintaan. Apakah ini berarti ketahanan pangan masyarakat (khusus beras) Jabar sudah tercapai?
Distribusi dan harga
Kegiatan distribusi beras sangat rumit, karena terlalu banyak "pemain", mulai tataran on farm, off farm, dan tata niaganya. Produsen gabah adalah petani dengan tingkat pemilikan lahan sangat sempit, produsen beras dengan kapasitas penggilingan kecil-kecil, pedagang dengan omzet kecil sehingga secara ekonomis kegiatan bisnis ini tidak sesuai dalam skala ekonomi, dan perolehan margin pemain bisnis ini sangat kecil.
Proses distribusi sangat bergantung pada disparitas volume pasokan dan harga. Jika pada suatu lokasi pasokan berkurang harga akan meningkat, dan aliran barang secara alamiah akan bergeser dari daerah surplus dengan harga tertentu ke daerah minus dengan harga yang lebih tinggi. Hal itu selalu terjadi karena pasar beras nasional telanjur menganut pasar terbuka, pola distribusi beras sangat ditentukan mekanisme penawaran dan permintaan, serta daya tarik harga. Akibatnya, stabilitas dan disparitas harga sulit terkendali.
Apakah benar Jabar secara nyata mengalami surplus dan kebutuhannya mampu dipenuhi produksi beras Jabar sendiri?
Ada baiknya memperhatikan kinerja Pasar Induk Cipinang, Jakarta yang menjadi tolok ukur pasar perberasan nasional dan bertindak sebagai stok penyangga untuk masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya. Kapasitas Pasar Induk Cipinang sekitar 600.000 ton beras setahun dan hampir 70 persen berasal dari Jabar. Dengan pasar ini, DKI mampu menentukan stok amannya selama dua minggu, sedangkan Jabar belum mampu karena belum ada prasarana, sarana, dan mekanisme untuk mengendalikan stok.
Banyak juga beras Jabar masuk ke provinsi lain bahkan "diantarpulaukan". Hal itu berarti, prestasi on farm Jawa Barat yang sudah baik, belum diimbangi kebijakan off farm karena tidak terserap secara maksimal untuk masyarakat Jabar. Namun, jika masuk musim "paceklik" beras Jabar yang sudah keluar terpaksa masuk kembali ke Jabar dengan harga lebih mahal. Jika mekanisme distribusinya masih seperti saat ini, secara faktual Jabar belum memiliki status surplus beras. Bagaimana dengan peran pemerintah untuk menstabilkan harga komoditas strategis tersebut?
Kebijakan perberasan paling baru adalah Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai berlaku 1 Januari 2010, menginstruksikan kepada menteri koordinator dan menteri terkait, kepala badan, gubernur, bupati/wali kota untuk mendorong dan memfasilitasi, serta mengendalikan semua yang terkait dengan kegiatan on farm perberasan. Inpres tersebut juga menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP).
Pembelian berdasarkan HPP dilaksanakan oleh Bulog dan hanya mengatur tentang harga dasar (floor price), tidak mengatur harga jual (selling price) sehingga tidak ada batas maksimum harga jual. Akibatnya, fluktuasi harga bisa sangat tinggi dan sangat boleh jadi tak terkendali karena tidak mengatur batas kontrol atas harga jual. Akibatnya, stabilitas dan disparitas harga sulit dikendalikan dan Bulog sulit memosisikan dirinya sebagai price stabilizer. Memang kebijakan ini dirancang untuk merangsang aktivitas perdagangan beras agar bisnis beras tetap ramai. Bagi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses beras pada harga pasar, pemerintah menyediakan skim melalui pengadaan Raskin sehingga pasar beras dibiarkan terbuka. Sementara itu, masyarakat yang tidak mampu dilakukan subsidi.
Akibat grand design seperti itu, distribusi beras sangat tidak terkendali dan sulit "dijinakkan". Aliran barang selalu patuh pada mekanisme pasar, tempat pasokan kurang dan harga tinggi, otomatis beras menuju ke tempat tersebut. Dengan kata lain, saluran distribusi tidak bisa dirancang dan ditetapkan layaknya produk hasil manufaktur. Akibatnya, petani produsen gabah selalu pada posisi sulit karena saat harga beras tinggi, mereka tidak memiliki stok, bahkan berubah peran dari produsen menjadi konsumen dan yang menikmati margin besar dari bisnis ini selalu pedagang.
Peran Pemprov Jabar
Atas dasar kondisi seperti ini, Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat melakukan intervensi pada tataran petani, yaitu (1) uji coba penerapan Sistem Resi Gudang (SRG) dengan memberdayakan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), bermitra dengan pengelola gudang dan perbankan. Melalui cara ini diharapkan stok beras bisa terkendali dan dana segar yang dibutuhkan petani bisa terpenuhi. (2) Memberdayakan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) agar bisa berperan dalam "menahan" arus gabah di masyarakat, melalui bantuan dan pendampingan. Hasil dari kebijakan ini diharapkan secara berangsur-angsur peran petani lebih berdaya, merekalah yang mengatur stok, distribusi, dan tata niaga beras. Akhirnya petani dapat menikmati margin yang layak dari bisnis ini karena dengan konsep ini mereka masuk menjadi pelaku dalam bisnis ini.
Dalam intervensi pada tataran tata niaga, Pemprov Jabar ada baiknya beranalogi dengan DKI Jakarta untuk bisa memiliki pasar induk perberasan yang lokasinya dekat sentra produksi utama (pantura) agar bisa melakukan monitor dan evaluasi tentang masuk dan keluar serta status persediaan beras Jabar secara real time. ***
Penulis, Guru Besar Teknik Industri Universitas Pasundan dan Kelompok Kerja Kebijakan Food Center Jawa Barat.

Opini Pikiran Rakyat, 28 Agustus 2010