27 Agustus 2010

» Home » Kompas » Peran Negara dan Perampokan

Peran Negara dan Perampokan

Polisi berencana menarik semua senjata api yang dimiliki sipil. Sikap itu dilakukan setelah peningkatan tindak kejahatan yang menggunakan senjata api organik dan rakitan.
Merujuk Kompas (24/8), dalam bulan ini setidaknya 10 pe- rampokan besar terjadi di beberapa daerah. Kerugian Rp 100 juta hingga mendekati Rp 500 juta. Modus operandi pelaku terorganisasi, bersenjata api, dan dilakukan siang hari. Targetnya pedagang emas, bank, dan orang-orang yang diduga membawa uang berjumlah besar.


Apakah penarikan senjata api akan memperkecil peluang perampokan? Cukupkah peran negara sampai di situ? Pertanyaan itu haruslah didasari dan disadari oleh pertanyaan awal, apa yang ada di benak perampok sekarang ini? Lihat, perampok tidak takut apa pun. Becermin pada perampokan di Bank CIMB Niaga awal Agustus lalu, seorang anggota polisi tewas diberondong senjata laras panjang jenis AK-46 dan AK-47. Perampok berjumlah 16 orang dan membawa kabur uang Rp 400 juta.
Sejumlah analisis situasional mengungkapkan hubungan Lebaran dengan peningkatan perampokan. Analisis sosial-ekonomi menyatakan, ada kesenjangan akses kekayaan antara si lemah dan si kuat dalam struktur sosial. Persoalannya, analisis itu tak pernah mengonstruksi kembali kejiwaan tindak kejahatan itu. Analisis ini berupaya mengenali kejahatan itu dalam kerangka filsafat psikopatologi dan implikasinya terhadap peran negara dalam pembentukan sistem sosial.

Diperoleh dari belajar
Kajian psikologi klinis yang dikembangkan oleh mazhab behavioristik menunjukkan bahwa para perampok belum tentu penderita gangguan mental. Analisis itu dilihat dalam tiga aspek: emosi, kognisi, dan konasi. Secara emosional, tiadanya ketakutan membunuh siapa pun yang menghalangi, itu menandakan pelaku memiliki emosi yang stabil. Karena itu, secara kognitif, mereka telah mempertimbangkan segala risiko yang mungkin dihadapi. Eksekusi perampokan pada siang hari, dilakukan dengan cepat, dan pembagian tugas dalam aksi itu tentu melalui perencanaan matang dan simulasi yang berulang.
Kita baru tahu dari Fishbein dan Ajzen, psikolog modifikasi perilaku, bahwa motif terdalam sebuah tindak kejahatan skala besar dapat dilihat dari niat sebagai sistem. Teori psikologi itu bisa dibaca bahwa niat muncul melalui tiga unsur: pembelajaran, pengaruh, dan nilai-nilai.
Apabila teori Fishbein dan Ajzen dipraktikkan, akan terlihat bahwa para perampok dalam skala besar mestilah bukan para pelaku yang ”baru belajar”. Tak aneh jika belakangan kemudian diungkap bahwa pelaku adalah para residivis. Mereka sudah ”belajar” dari kesalahan di masa lalu dan menjawab pertanyaan kenapa mereka tertangkap dan dipenjara. Proses pembelajaran itu menjadi efektif justru ketika mereka dimasukkan ke dalam institusi yang disebut ”lembaga pemasyarakatan”.
Idealnya, lembaga pemasyarakatan adalah sebuah institusi yang memiliki mekanisme untuk ”mendisiplinkan” para penjahat. Tujuan utamanya adalah mencetak pribadi pembangkang menjadi pribadi tunduk pada norma. Namun, terali besi bukan penjara, tetapi ”sekolah” dengan penjahat yang lebih ”berwibawa”. Proses belajar bukan di luar penjara, tetapi di dalamnya.

Sakitnya sistem sosial
Perspektif itu memberikan petunjuk untuk menyoroti pelbagai kerusakan di dalam sistem operasi masyarakat kita. Kajian sosiologi kejahatan memperlihatkan bahwa institusi sosial sangat berperan melahirkan kejahatan. Itu berarti, sistem sosial yang kadung terbangun bukanlah jaminan melahirkan mekanisme kontrol bagi lahirnya kejahatan baru. Sistem sosial itu ada, tetapi tidak membangun kebersamaan.
Itu sebabnya, ketika target lembaga pemasyarakatan gagal, pada saat yang sama masyarakat tak bisa menerima para residivis dalam sistem sosial. Menerima para residivis dianggap sebagai memelihara anak macan. Masyarakat tak mau menanggung risiko. Kenyataan itu bisa dibaca: alienasi para residivis dengan kata lain adalah memaksa mereka menempuh jalan lama. Logika itu memberi justifikasi pada kenyataan bahwa kejahatan demi kejahatan akan berulang dan mengalami peningkatan dari sisi jumlah maupun kualitas.
Pernyataan ini bisa jadi spekulasi: hilangnya tata nilai luhur dalam masyarakat kita menjadi faktor utama. Pesan spiritual, maknawi, kebaikan, dan kebersamaan telah lama luntur. Ritus menjadi profan. Agama menjadi kemasan. Pesan kebaikan bagian dari tontonan.
Jika kejahatan tak pernah berdiri sendiri, maka kejahatan itu sesungguhnya dilahirkan oleh sistem di dalam masyarakat. Sistem sosial kita tak betul-betul sehat. Masyarakat hidup beralaskan tujuan mencari kenikmatan lidah, perut, dan kemaluan.
Sejarah mencatat: besarnya skala perampokan menunjukkan kegagalan negara menciptakan rasa aman bagi rakyatnya. Kita bertanya, sampai di mana peran negara mengonstruksi kebudayaan yang berbasis pada nilai luhur bersama?

SAIFUR ROHMAN Dosen Filsafat di Universitas Semarang
Opini Kompas 27 Agustus 2010