13 Juli 2010

» Home » » Turbulensi Penegakan Hukum

Turbulensi Penegakan Hukum

BEBERAPA waktu lalu, ketika keberanian Majalah Tempo mengungkap rekening gemuk perwira Polri yang mengundang keheranan banyak kalangan, kontan petinggi korps tersebut mengambil langkah ‘’preventif’’ untuk melindungi citra institusinya. Misalnya, pernyataan Kapolri Bambang Hendarso Danuri yang menyatakan akan melakukan penyelidikan internal, untuk menutup desakan publik agar beberapa perwira tersebut diperiksa oleh lembaga independen.


Meski secara resmi ada klarifikasi internal kelembagaan yang menyatakan bahwa rekening tersebut tidak terkait dengan penyalahgunaan wewenang jabatan, secara publik sulit menghindari adanya tuduhan berbau korupsi mengingat ketidakwajaran jumlahnya. Tetapi apapun itu, cerita ini sedang menjadi tontonan (spactacle) publik yang mengarah pada terjadinya turbulensi hukum.

Turbulensi hukum, mengutip Yasraf Amir Piliang, menjadi tanda akan sebuah situasi di mana terjadi ketidakpastian, kesimpangsiuran bahasa, ungkapan-ungkapan kamuflase, yang berakibat terlepasnya sebuah objek dari konteks hukum sesungguhnya. Misalnya, desakan publik agar kasus rekening gemuk diperiksa oleh lembaga independen, dijawab dengan ‘’cukup diperiksa secara internal’’. Jadi, problem kegemukan rekening yang dipandang publik sebagai fenomena yang berpotensi menimbulkan kasus hukum, cukup dipandang sebagai problem internal yang tidak memerlukan intervensi hukum dari lembaga yang dapat dipercaya oleh publik.

Turbulensi hukum adalah suatu kenyataan di mana ketika ketidakpastian dan kesimpangsiuran sudah bekerja maksimal sehingga menimbulkan efek-efek deviasi yang dapat memalingkan fakta-fakta menjadi bayang-bayang yang tidak terjangkau oleh substansi hukum. Dunia bayang-bayang membuat penegakan hukum menjadi semu. Pelanggaran hukum dipersepsi sama dengan kesalahan prosedural, kesalahan bisa identik dengan ketidaksengajaan, kekayaan pribadi disamarkan menjadi titipan orang lain dan sebagainya yang bertujuan untuk mengaburkan substansi.
Wilayah Penegakan Pengaburan ini tidak hanya berlangsung pada substansi tindakan yang bertentangan dengan hukum, tetapi juga berlangsung dalam wilayah penegakannya. Misalnya, orang yang sedang menjadi terdakwa, tiba-tiba sakit, hilang ingatan dan sebagainya. Tindakan-tindakan ini dapat dipandang sebagai deviated mirror image atau bahkan terbalik dari realitas hukum (reversed mirror image).

Mengutip JF Lyotard, pakar posmodernisme, tindakan-tindakan semacam ini disebut sebagai language game, sebuah permainan kata-kata yang dapat membuka ruang pengaburan substansi sehingga sebuah kata-kata dapat menampilkan sisi-sisi yang lain, yang berbeda dari substansi hukum. Language game ini diproduksi sedemikian rupa sehingga menampakkan seolah-olah benar. Bahayanya, pola semacam ini mendapatkan pembenaran hukum sehingga tidak dapat ditembus oleh normatifitas hukum itu sendiri.

Lebih lanjut Lyotard dalam Just Gaming mengatakan bahwa dunia kita dipenuhi oleh berbagai bentuk permainan yang bersifat heterogen dan otonom. Masing-masing memiliki rule of the game yang dapat bersifat inkomensurabilitas (incommensurability) satu dengan yang lain, yaitu ketidakmungkinan menyilangkan antara yang satu dan yang lain. Dengan demikian, kemurnian, otonomi, dan ketunggalan (singularity)  masing-masing permainan harus dipertahankan, guna menghindari ketercampuradukan dengan yang lain.

Dengan menggunakan preposisi ini, Lyotard hendak menegaskan bahwa betapa pentingnya menjaga otonomi dan kemurnian hukum yang bertumpu pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan agar tidak dicampur dengan kepalsuan dan ketidakadilan. Sebab, jika keadilan dipadukan dengan ketidakadilan atau kebenaran dicampur dengan kebatilan, sesungguhnya perilaku itu dapat menciptakan tekanan turbulensi makin besar dan dapat meruntuhkan sendi-sendi hukum itu sendiri.

Keruntuhan sendi-sendi hukum itu makin cepat jika bersambung dengan dengan justice game, sebuah permainan hukum yang direkayasa dengan menampilkan sisi terbaliknya. Misalnya, seseorang yang menabuh genderang perang terhadap praktik pelanggaran hukum justru didudukkan sebagai tersangka dengan berbagai alibi untuk menampilkan sisi terbalik dari eksistensi hukum itu sendiri. Karena itu, domain hukum seolah dipagari oleh hierarki otoritatif untuk mengamankan kepentingan ‘’permainan’’ tertentu. Maka, tak pelak, dunia hukum, akibat praktik ini, tak ubahnya seperti semiotika kedustaan (the semiotics of lie) yang terbungkus oleh ketidakdilan (injustice).

Seorang pakar hukum yang juga menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, pernah mengeluhkan kondisi ini. Menurutnya, persoalan penegakan hukum di Indonesia tidak terletak pada lemahnya konstruksi normatif hukum yang tertuang dalam pasal demi pasal, atau ayat demi ayat tetapi jantung persoalannya, itu terletak pada ”kualitas aparatnya”.

Aparat penegak hukum adalah aktor yang dapat menciptakan language game dan justice game. Melalui mekanisme tertentu, hukum ditampilkan dalam berbagai wajah dan bentuk yang sangat sulit dikenali, bahkan oleh pakar hukum sekalipun. Apalagi, jika hukum terkontrol oleh sistem otoritatif (baik politik maupun ekonomi), maka dunia hukum tak ubahnya seperti lapangan permainan yang disesaki oleh berbagai kepentingan. Termasuk sistem otoritas internal kelembagaan intsitusi penegak hukum itu sendiri.

Karena itu, yang kita butuhkan adalah sebuah kesadaran bersama yang murni dan tulus tentang larangan atau pemaksaan yang dapat mensterilkan dunia hukum sehingga aparat penegak hukum dapat benar-benar berdiri di atas prinsip-prinsip conscience dan professional honour, sebuah sikap mental yang benar-benar berdiri di atas dedikasi dan keberanian untuk mencari kebenaran dan keadilan hukum. Dengan demikian maka hukum dapat dijadikan sebagai benteng kejujuran dan keadilan bagi semua orang yang membutuhkannya.(10)

— Gunarto SH SE Akt MHum, Wakil Rektor II Universitas Islam Sultan Agung  Semarang
Opini Suara Merdeka 14 Juli 2010