13 Juli 2010

» Home » Solo Pos » Dilema kepercayaan vs persepsi risiko

Dilema kepercayaan vs persepsi risiko

Konversi minyak tanah ke elpiji ternyata tidak sepenuhnya berhasil, terutama terkait kecemasan publik terhadap tabung elpiji 3 kg yang dalam setahun terakhir mencelakakan banyak orang karena meledak.


Konsekuensi dari pemberitaan ini, masyarakat yang sebelumnya dipaksa untuk menerima kebijakan konversi, akhirnya merasa takut menggunakan elpiji—terutama 3 kg. Ketika kasus ledakan elpiji 3 kg semakin sering terjadi, pemerintah dan pihak terkait melakukan kajian di balik kasus ini dan ditemukan ada sejumlah faktor, antara lain human error dan technical error.

Human error terkait dengan kesadaran perilaku publik, termasuk peran edukasi oleh pemerintah. Sedangkan technical error mengacu pada kualitas tabung, selang dan regulator yang tidak sesuai SNI. Atas kecemasan publik, langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah adalah membenahi aspek perilaku untuk meminmalisasi human error dan aspek teknik yaitu pada perangkat konversi—kualitas tabung, selang dan regulator untuk meminimalisasi technical error. Pemerintah saat ini mengeluarkan selang dan regulator berkualitas SNI yang dijual dengan harga murah untuk meredam kemungkinan kasus-kasus serupa. Pemerintah juga melakukan edukasi ke masyarakat tentang tata cara penggunaan kompor gas yang aman.

Berdasar komplekstas di balik human error dan technical error dari kasus ledakan elpiji 3 kg, dapat disimpulkan bahwa konsumen selalu terbentuk atas dua tipe yaitu high touch dan high tech. Konsumen yang termasuk high touch adalah tipikal yang kurang agresif dalam menerima adopsi teknologi dalam berbagai bidang, termasuk adopsi dari konversi gas. Tipikal konsumen ini harus mendapatkan edukasi yang lebih intensif jika dibandingkan dengan tipe konsumen high tech.

Rogers (1995) dalam bukunya berjudul Diffusion of Innovations (4th ed, The Free Press, New York) menjelaskan ada lima karakter konsumen atas kasus adopsi teknologi yaitu innovators, early adopters, early majority, late majority dan laggards. Kelompok high touch tidak dapat terlepas dari identifikasi laggards sedangkan tipe konsumen high tech cenderung dapat menerima adopsi teknologi secara cepat karena selalu bersikap terbuka dan apresiasif atas semua adopsi teknologi. Tipe ini identik dengan karakter inovator yang biasanya berumur muda dan dewasa. Pendekatan terhadap tipe high touch dan high tech tentu harus berbeda agar konversi minyak tanah ke elpiji yang dilakukan pemerintah bisa diterima dan aman.

Edukasi

Mattila et al (2003) dalam artikelnya berjudul Internet Banking Adoption Among Mature Customers: Early Majority or Laggards? dimuat dalam Journal of Service Marketing, Vol 17, No 5, Hal 514-528, menegaskan, innovator adalah kelompok pertama yang menerima adopsi teknologi dan kelompok ini sangatlah tertarik dan bersifat terbuka dengan perkembangan teknologi. Early adopter pada dasarnya juga tertarik pada perkembangan teknologi dan berani menerima resiko. Kelompok early majority cenderung pragmatis memandang adopsi teknologi, termasuk juga untuk kelompok late majority yang tidak lain termasuk kelompok yang cenderung skeptis dan memiliki persepsi negatif terhadap adopsi teknologi.

Kelompok terakhir yaitu laggards didominasi orang tua, cenderung tidak responsif terhadap perkembangan teknologi serta menganggap risiko merupakan ancaman terbesar dari setiap adopsi teknologi. Dari pemetaan tipe konsumen dan juga karakter terkait adopsi teknologi, maka konversi minyak tanah ke elpiji semestinya perlu melihat hal ini untuk meminimalisasi human error karena salah menilai persepsi penerima konversi gas itu sendiri.

Artinya, janganlah memandang bahwa masyarakat berkarakter sebagai innovator atau high tech sehingga minim edukasi yang kemudian berakibat fatal human error. Edukasi secara berkelanjutan tetap perlu dilakukan tanpa harus terlihat seperti menggurui bagi kelompok high tech atau innovator meskipun di sisi lain tetaplah harus menjaga kualitas produk konversi untuk mereduksi terjadinya technical error. Hal ini penting karena kualitas tabung elpiji 3 kg banyak masalah.

Menyimak kasus ledakan elpiji 3 kg, jika ditelusur pada dasarnya tidak terlepas dari pendekatan perilaku konsumen terkait adopsi teknologi. Selama ini riset adopsi teknologi bisa dilakukan dengan sejumlah pendekatan (Saputro, 2010) misal influence of category-based affect, other external influences, theory of planned behavior, theory of reasoned action, theory of trying, self-services technologies, MIAC-Model of Intention, Adoption and Continuance dan technology acceptance model.

Riset empiris adopsi teknologi selama ini lebih terfokus aspek kepercayaan (trust) dan persepsi risiko (perceived risk). Selain itu, Yap et al (2010) dalam artikelnya berjudul Offline and Online Banking–-Where to Draw The Line When Building Trust in e-Banking? dimuat International Journal of Bank Marketing, Vol 28, No 1, Hal 27-46 meyakini bahwa riset tentang adopsi masih memicu adanya trust gap sehingga menghalangi potensi adopsi. Padahal, trust yang terbangun dapat mereduksi perceived risk, semakin memperkuat cognitive-affective trust, selain juga berpengaruh terhadap cognitively–affectively–conatively loyalty. Termasuk juga basis untuk memperkuat komitmen menerima adopsi, serta mendukung terjadinya intention to loyalty dan word-of-mouth yang positif. Intinya, pemerintah harus mereduksi human error dan technical error agar konversi minyak tanah ke elpiji sebagai salah satu kasus adopsi teknologi benar-benar bermanfaat. - Oleh : Edy Purwo Saputro Dosen Fakultas Ekonomi UMS Menyusun disertasi tentang trust & perceived risk


Opini SoloPos 14 Juli 2010