13 Juli 2010

» Home » Suara Merdeka » Aspek Sipil Jabatan Kapolri

Aspek Sipil Jabatan Kapolri

Profesi polisi secara universal tidak bisa secara serta merta diperoleh hanya dengan mempelajari teori karena sangat membutuhkan skill dan kemampuan di lapangan

SEIRING dengan purnatugas Kapolri Bambang Hendarso Danuri pada Oktober mendatang, muncul wacana penggantinya tidak harus berasal dari internal. Usulan ini digulirkan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar Nurdiman Munir. Menurut Munir, usulan ini sejalan dengan keinginan tulus Presiden SBY yang mendambakan kepemimpinan Polri yang lebih menonjolkan aspek civilization.


Gagasan itu sangat menarik meski bukan kali pertama digulirkan ke publik. Sebab setelah era reformasi, isu ini senantiasa muncul. Alasan dasarnya adalah bahwa jabatan Kapolri dipandang setingkat dengan menteri yang merupakan jabatan politis. Segaris dengan Jaksa Agung yang berada dalam satu linier criminal justice system, juga bisa diisi dari luar institusi Kejaksaan.

Alasan kedua, sesuai dengan Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Sebagai pembantu Presiden, logikanya dalam memilih Kapolri, Presiden mempunyai hak prerogatif. Dengan kewenangannya itu, Presiden bebas memilih siapa yang akan diangkat menjadi pembantunya dalam melaksanakan pemerintahan.

Alasan ketiga, ruh dari aspek civilization sebagai brand image yang hendak dibentuk dan dicita-citakan sejalan dengan masyarakat madani adalah polisi sipil yang humanis. Hal ini bukan berarti Kapolri murni karier dari polisi tidak bisa berwatak sipil dan humanis melainkan lebih berada dalam konstruksi doktrin-doktrin militerisme yang belum sepenuhnya tereduksi dalam konteks ke-civil-ian tadi.

Persepsi ini dulu juga muncul saat dalam kabinet Gus Dur Menteri Pertahanan dan Keamanan dijabat oleh Mahfud MD.  Paradigma bidang pertahanan dan keamanan pada kabinet sebelumnya, lebih-lebih pada era Soeharto, dipastikan dipegang oleh tentara. Pada kenyataannya, pengisian jabatan yang sebelumnya dikotomi militer tersebut bisa dilaksanakan oleh pejabat dari sipil serta bisa diterima oleh masyarakat.

Pertanyaan yang muncul adalah mungkinkah wacana ini terwujud, sebab ada beberapa aspek yang perlu dikaji lebih dalam. Pertama; berkait dengan aspek yuridis. Dalam Pasal 11 Ayat 6 UU Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan calon Kapolri adalah perwira tinggi Polri yang masih aktif dengan memerhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

Penjelasan  tentang pasal tersebut yang dimaksud dengan jenjang kepangkatan di sini adalah  prinsip senioritas dalam arti penyandang pangkat tertinggi di bawah Kapolri yang dapat dicalonkan sebagai Kapolri. Sedangkan yang dimaksud dengan jenjang karier adalah pengalaman penugasan perwira tinggi calon Kapolri itu pada berbagai bidang profesi kepolisian atau berbagai macam jabatan di kepolisian.
Hanya Teori Aspek kedua berkaitan dengan profesionalitas bidang kepolisian. Profesi polisi secara universal tidak bisa secara serta merta diperoleh hanya dengan mempelajari teori. Ilmu kepolisian meskipun mendasari teori-teori, juga sangat membutuhkan skill dan kemampuan lapangan yang seringkali berbeda dari teori. Sehingga untuk dapat menduduki jabatan tertentu, lebih khusus jabatan komando, harus dilalui dengan menduduki jabatan di bawahnya yang sealur. Jadi bukan sekadar penguasaan managerial.

Meskipun disadari untuk jabatan politis ini, tentunya sudah terkonsep pejabat di lapis bawahnya merupakan jabatan karier. Jadi, pejabat pada eselon satu  seperti kabareskrim dan kababinkam sebagai penyandang bintang tiga menjadi lapis utama dalam memberikan masukan dan saran pada aspek profesionalitas.

Terhadap masalah ini bukan berarti menutup kemungkinan Kapolri dipilih dari luar internal Polri. Pada aspek yuridis, bila ada kemauan dari eksektutif dan legislatif, bukanlah hal yang sulit untuk mengubah undang-undang. Semuanya bergantung pada political will  pemangku kebijakan negeri ini. Mungkin bila wacana Kapolri dari luar internal Polri ini terwujud, bisa menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit institusi Polri. Karena disadari, setelah mandiri, satu per satu persoalan bermunculan yang berujung pada pertanyaan sudah profesionalkah Polri?

Pasalnya, ukuran profesionalisme Polri tiada lain adalah terwujudnya keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan , pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002. (10)

— Herie Purwanto, pemerhati masalah hukum dan kepolisian, tinggal di Batang
Opini Suara Merdeka 14 Juli 2010