13 Juli 2010

» Home » » Mengatasi Imunitas Perubahan

Mengatasi Imunitas Perubahan

"Ancaman kematian pun tidak otomatis membuat orang berubah." Kata-kata menyengat itu keluar dari mulut Prof Robert Kegan, tokoh dalam bidang leadership asal Universitas Harvard, saat seminar dan workshop bagi pelaku bisnis di Indonesia di Jakarta, 5-7 Juli lalu. Hasil survei MvKinsey & Co, firma konsultan strategis terkemuka, kepada hampir 2.000 eksekutif bisnis di seluruh dunia sungguh mengejutkan dan menyedihkan. Sebagian besar investasi yang diberikan untuk melakukan perubahan tak memberi hasil yang diharapkan bahkan sangat tidak memuaskan.


Padahal perubahan merupakan kunci hidup mati organisasi baik organisasi bisnis, politik, sosial dll. Hanya dari situ organisasi dapat meningkatkan daya saing, baik melalui inisiatif strategis seperti six sigma, balanced scorecard, akuisisi/merger, misi-visi-nilai/budaya organisasi, pengembangan kepemimpinan, knowledge management, bahkan hingga perubahan yang lebih rutin seperti pelatihan/pengembangan. Bahkan, khusus untuk pelatihan/pengembangan. Statistik yang diberikan Center for Creative Leadership di Amerika Serikat menyatakan bahwa 88% investasi pelatihan dan pengembangan gagal memberikan hasil.
Sudah banyak pendekatan yang diberikan untuk memperlancar laju perubahan. Mulai dari sentuhan motivasi, role model, imbalan, mengembangkan kapabilitas agar mampu menjalankan perilaku yang diinginkan, hingga ancaman dan hukuman serta banyak pula
sistem pendukung organisasi yang dibentuk untuk menunjangnya. Namun, kenyataannya tetap seperti hasil penelitian McKinsey itu.
Profesor Kegan, yang meneliti bidang ini lebih dari 25 tahun, berhasil menunjukkan penghambat terbesar perubahan terletak di sisi emosional-psikologis yang tidak disadari. Terjadi konflik antara perubahan yang ingin dicapai dan komitmen besar di dalam diri untuk tak berubah. Banyak orang akan tercengang apabila dikatakan bahwa ia memiliki komitmen besar untuk tidak berubah. Itu wajar, karena komitmen itu tersembunyi di alam bawah sadar. Ibaratnya, pikiran sadar menggenjot gas berusaha mencapai perubahan, tetapi alam bawah sadar menginjak rem dalam-dalam mencegah terjadinya perubahan.
Mengapa demikian? Inilah 'imunitas perubahan.' Alam bawah sadar bekerja seperti sistem kekebalan tubuh, bertugas menyaring dan melawan hal-hal yang mungkin mengancam secara emosional atau psikologis. Ditetapkanlah berbagai perilaku dan tindakan yang otomatis kita lakukan agar stabilitas emosional kita terjaga. Dan memang apabila sistem imunitas itu berfungsi dengan baik, keseimbangan emosional yang tercapai akan membantu kita untuk mencapai hasil-hasil yang kita inginkan.
Persoalannya dalam kondisi perubahan, sistem itu sering menilai perubahan sebagai ancaman. Mirip seperti kekebalan tubuh gagal mengenali zat-zat yang baik untuk tubuh dan justru menyerangnya sehingga timbul penyakit. Karena perubahan dianggap sebagai ancaman, imunitas perubahan mengerahkan berbagai tindakan supaya perubahan itu tak tercapai.
Salah satu contoh menarik dari Kegan sekaligus mengerikan adalah para pasien jantung berisiko tinggi. Dari setiap tujuh pasien jantung berisiko tinggi yang diharuskan dokter mengubah perilaku hidup agar terhindar risiko serangan mematikan, ternyata hanya satu orang yang benar-benar berubah. Ancaman penyakit jantung itu serius, tapi mereka tak berubah. Bukan berarti mereka tak ingin hidup sehat, menimang cucu atau menikmati hidup. Bukan pula tak paham risiko kematian yang mereka hadapi. Para dokter pun telah memberi tahu apa yang harus mereka lakukan untuk berubah, jadi mereka tahu caranya. Pada dasarnya, mereka sudah punya segala unsur yang seharusnya dapat mendorong terjadinya perubahan, tapi nyatanya hanya satu yang berubah. Lainnya? Mereka dicengkeram imunitas perubahan sehingga ancaman kematian pun tak membuat mereka bergeming.
Organisasi tak luput dari cengkeraman imunitas perubahan. Survei John Kotter dan McKinsey itu membuktikannya. Mengubah satu orang saja sulit, apalagi mengubah organisasi yang terdiri dari banyak kepala yang punya pemikiran dan kepentingan berbeda-beda.
Apabila imunitas perubahan sudah menghalangi dari tujuan penting yang harus kita capai, mau tak mau sistem ini harus diubah. Namun tak serta-merta kita dapat mengubah sistem itu. Pertama, karena sistem itu ada di alam bawah sadar sehingga kita harus mengangkatnya dulu ke permukaan. Kedua, karena sistem ini, seperti dikatakan sebelumnya, berperan penting bagi stabilitas emosional. Mengubahnya tidak bisa sekadar membuangnya, tapi harus menggunakan strategi tepat agar stabilitas emosional tak terancam.
Misal, kasus pada sebuah perusahaan konsultan terkemuka. Tim eksekutif senior di sana berkehendak membentuk budaya 'saling percaya dan mendukung' antarkonsultan. Namun, sekalipun berulang kali melakukan berbagai pelatihan dan kegiatan serta membentuk berbagai sistem, tetap saja hubungan antarkonsultan tak berjalan mulus. Kondisi baik terbentuk, tetapi tak lama perilaku-perilaku lama kembali menyeruak dan menguasai proses hubungan di dalam perusahaan itu.
Mereka lalu mencoba menangani situasi melalui pendekatan imunitas perubahan, menggunakan proses empat langkah yang diperkenalkan Robert Kegan. Pertama, menentukan komitmen perubahan yang diinginkan. Misal, 'membentuk budaya saling percaya dan saling mendukung'. Yang terpenting dalam langkah pertama adalah komitmen perubahan yang ingin dicapai haruslah komitmen yang bernilai penting, dan lebih baik lagi jika komitmen ini merupakan perubahan yang sulit untuk dicapai atau sudah lama diupayakan tapi selalu gagal atau perilaku lama kambuh kembali.
Kedua, membuat daftar tindakan yang menghambat tercapainya tujuan dan juga tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan, tapi tak dilakukan. Namun, bukan tindakan-tindakan itu yang diubah. Yang penting dalam metode ini adalah kita menggali lebih jauh karena tindakan-tindakan itu hanyalah gejala dari imunitas perubahan yang lebih dalam.
Berusaha mengubah tindakan-tindakan itu tanpa menggali imunitas lebih jauh mirip dengan minum obat penurun panas karena demam, tanpa menyembuhkan penyebab demamnya, yaitu infeksi di dalam tubuh. Pada umumnya, metode lain akan berusaha langsung mengubah tindakan-tindakan di langkah kedua ini. Contoh sederhana adalah diet. Banyak orang gagal berdiet, padahal mereka berusaha keras. Ada yang berhasil, tapi hanya sebentar. Setelah beberapa waktu, berat badan mereka kembali ke seperti semula, bahkan lebih.
Ketiga, menggali 'komitmen penanding' yang menjadi pintu pembuka ke dalam imunitas perubahan. Komitmen itu membuat seseorang atau organisasi melakukan tindakan-tindakan yang menyabotase tujuannya sendiri. Penting diingat bahwa komitmen-komitmen itu sebagian berasal dari imunitas emosional kita, untuk melindungi kita dari bahaya-bahaya emosional yang menurut kita mungkin kita alami, dan sejauh ini sudah cukup berhasil membawa kita mencapai titik yang kita capai saat ini. Namun, komitmen itu tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan bagi masa mendatang, itulah sebabnya komitmen ini menciptakan tindakan yang berusaha menggagalkan tercapainya tujuan kita.
Keempat, menemukan asumsi yang mendasari komitmen. Terjadinya komitmen ini adalah karena adanya asumsi-asumsi buta, yakni asumsi-asumsi yang dianggap benar tanpa dipertanyakan lagi. Dalam beberapa kasus, asumsi itu bahkan sudah bertahun-tahun bercokol. Dan asumsi-asumsi itulah yang menjadi inti dari imunitas perubahan. Apabila proses perubahan tidak menyentuh hingga ke asumsi-asumsi itu, yakni untuk menentukan apakah asumsi itu tepat atau tidak, asumsi-asumsi ini akan terus memunculkan berbagai tindakan yang menghalangi pencapaian tujuan.
Kegagalan menghadapi perubahan merupakan hal yang umum dihadapi, dan menimbulkan biaya yang amat mahal, bahkan tidak jarang akibatnya adalah kerugian dan kebangkrutan. Hampir semua organisasi dan semua pemimpin pasti pernah merasakan sulitnya perubahan. Proses perubahan yang di atas kertas tampak mudah, dianggap cukup dengan melakukan pelatihan dan beberapa kegiatan tambahan, ternyata banyak yang terhambat oleh imunitas perubahan ini.
Oleh karena itu, mengatasi imunitas perubahan akan memungkinkan organisasi mencapai perubahan-perubahan yang penting untuk mereka
lakukan, secara lebih cepat dan efisien sehingga investasi yang mereka keluarkan tidak sia-sia.

Oleh Th Wiryawan, Praktisi bidang keuangan dan asuransi
Opini Media Indonesia 14 Juli 2010