07 Juni 2010

» Home » Kompas » Wajah Manusia Hilang dalam Angka

Wajah Manusia Hilang dalam Angka

Halimah sempat menjadi perhatian sejumlah media dua tahun lalu saat melahirkan anaknya yang ke-21, Maimunah, di Rumah Sakit Sanglah, Bali. Suaminya, Mas Ud, yang bekerja sebagai buruh celup mengaku kewalahan menghidupi anak-anaknya tersebut.
Dapat dibayangkan kualitas hidup keluarga itu, pendidikan, kesehatan, dan relasi antara orangtua dan anak. Pemandangan keluarga besar yang bergulat hidup dari hari ke hari masih ditemui pula di beberapa kawasan Indonesia Timur.
Pandangan mereka tentang membangun sebuah keluarga sejahtera, pemahaman terhadap keluarga berencana, serta pergulatan hidup tidak terlihat dalam jajaran statistik angka kelahiran total (total fertility rate/TFR). Apalagi, berdasarkan survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2007, angka kelahiran total sudah 2,34, yang menurut Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief termasuk menggembirakan.

 

”Angka itu masih on the track. Berarti program keluarga berencana berhasil dan tidak ada persoalan. BKKBN optimistis mencapai TFR 2,1 tahun 2015,” ujarnya. Pencapaian itu di satu sisi memberikan sinyal positif. Namun, di balik angka, justru pekerjaan sesungguhnya bertumpuk.
Hilang dalam angka TFR
trennya memang menurun. Namun, disparitas sangat lebar mulai dari 1,5 (Yogyakarta) hingga 3,7 (Nusa Tenggara Timur dan Maluku). TFR di 20 provinsi, antara lain di Papua, sebagian Sumatera, dan Sulawesi, jauh lebih buruk dari rata-rata nasional.
Menurut Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Subandi, TFR kian tinggi seiring semakin rendahnya pendidikan dan indeks kesejahteraan masyarakat. Betapa keluarga berencana berhubungan erat dengan pembangunan manusia secara utuh. ”Jadi, bukan sekadar melihat rata-rata nasional, melainkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Kualitas manusia harus dibangun, terutama untuk masyarakat tak mampu,” tutur Subandi.
Senior Program Officer Asia Foundation Lies Marcoes-Natsir dengan tegas menyatakan, saatnya berhenti hanya berbicara soal angka atau naik turunnya jumlah penduduk. Kini waktunya memandang aspek hak asasi manusia.
Ketika urusannya target penurunan angka, aspek gender, budaya, sistem kepercayaan, dan geografis kerap terlewatkan.
Begitu berbicara angka kelahiran total dan target penurunannya, rahim perempuan menjadi pusat perhatian dan obyek. Keputusan terkait reproduksi kerap menjadi urusan laki-laki (suami) atau negara. Perempuan tidak punya hak atas tubuhnya.
Pengabaian hak reproduksi itu dilanjutkan dengan minimnya penjelasan mengenai model, efek, dan risiko pemakaian kontrasepsi. Padahal, penggunaan kontrasepsi yang tidak sesuai menimbulkan permasalahan kesehatan. Perhatian pun cenderung tertuju
kepada perempuan usia produktif. Perempuan remaja dan mereka yang memasuki menopause terlupakan.
Lies Marcoes mengatakan, International Conference on Population and Development (ICPD) menegaskan
adanya hak memperoleh informasi, hak untuk didengar pendapatnya, dan hak dilayani dalam persoalan kependudukan. Ruang negosiasi menjadi
penting agar keinginan negara dipahami oleh masyarakat. Itu hanya memungkinkan jika program keluarga berencana bertujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara utuh, bukan sekadar menurunkan jumlah penduduk,” papar Lies.
Tidak hanya pemahaman gender yang hilang dalam angka, konteks budaya dan sistem kepercayaan pun terabaikan. Padahal, pilihan sadar membatasi kelahiran terkait erat dengan sistem kepercayaan dan budaya. Pada sebagian masyarakat, persoalan ini belum selesai.
Penetapan target program keluarga berencana di daerah padat penduduk boleh jadi dipandang lebih signifikan ketimbang memberdayakan masyarakat di daerah terpencil yang menelan waktu, sumber daya manusia, dan biaya. Akibatnya, perhatian terhadap daerah-daerah tersebut minim, termasuk dari pemerintah daerah. Bahkan, ada pemerintah daerah yang berpendapat, penduduk di daerahnya masih sedikit sehingga mengabaikan keluarga berencana.
Hal itu tecermin dari tingginya persentase keinginan ikut keluarga berencana yang tidak terpenuhi (unmeet need) yang rata-rata nasionalnya 9,1 persen atau naik dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 8,6 persen. Di daerah Indonesia bagian timur, seperti Maluku, mencapai 22 persen. Subandi mengungkapkan, keadaan ini mengkhawatirkan. Tingginya unmeet need
ikut mencerminkan rendahnya akses.
 Lies Marcoes mengatakan, mengedepankan pendekatan hak asasi manusia dalam pelaksanaan keluarga berencana
lebih rumit dan butuh upaya, bahkan biaya.
Pelaksanaan keluarga berencana harus disertai edukasi, konseling, pemberian informasi memadai, ketersediaan tenaga dan obat/alat KB, serta akses tanpa diskriminasi. Namun, dengan cara pandang itu, keluarga Halimah tak lagi sekadar sepotong kasus.

Opini Kompas 8 Juni 2010