07 Juni 2010

» Home » Republika » 8 Juni 632 M

8 Juni 632 M

Di tengah kemelut kemanusiaan di Gaza, hari ini, 1738 tahun yang lalu, seorang manusia besar pahlawan kemanusiaan memenuhi panggilan Kekasihnya. Di kelilingi beberapa gelintir sahabat dan sanak kerabatnya, beliau mengembuskan napas terakhir. Kepergiannya diratapi oleh para sahabatnya. Bahkan, seorang sahabat berpengaruh, yang sosoknya sangat disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawan, pada hari itu menangis dan hampir tidak percaya utusan Allah ini adalah manusia biasa yang bisa meninggal dunia.

Hari-hari sebelumnya, malam-malam terakhir menjelang wafatnya dipenuhi dengan tangisan. Ini membuat malaikat yang datang kepada beliau bertanya, mengapa seorang rasul yang telah dijamin surganya menangis-nangis tiada henti. Sang Nabi menjawab, "Bukan diriku yang kutangisi, tetapi umatku, umatku, umatku. Apa yang akan terjadi dengan umatku sepeninggalku?"

Kematian dan tangisan selalu menawarkan multimakna jika hendak diselami. Tetapi, selama ini banyak umat Islam merasa terasa kurang antusias mendiskusikan peristiwa wafatnya Rasulullah. Salah satu alasannya adalah saat-saat tersebut merupakan periode sensitif - terkait pergantian kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi. Kasusnya sama sekali berbeda dengan peringatan kelahiran beliau (Maulid) yang menjadi populer, setelah Shalahuddin Al Ayubi tergerak untuk membangkitkan semangat umat Islam di kala Perang Salib.

Debat dan penanda

Mungkin di antara kita ada yang berpikir, mengapa kita mengenang meninggalnya Rasulullah dengan kalender Masehi. Mengapa tidak 12 Rabiul 'awal 11 Hijriah. Berdasarkan keterangan astronomis, Rasulullah wafat 12 Rabiul Awal yang bertepatan dengan hari Sabtu, 6 Juni 632 M. Namun, banyak keterangan yang menyebutkan Rasulullah meninggal pada hari Senin, yang berarti tanggal 8 Juni 632 M.

Penulis ingin mengatakan, mengapa kita sibuk berdebat apakah Rasulullah meninggal pada hari Hijriah atau hari Masehi. Kalau perlu, kita jadikan setiap peristiwa menjadi penanda bagi kita untuk mengenang Rasul. Kalau hari ini kita mengenang beliau, itu tak lebih karena kita menjumpai satu penanda untuk mengenang kemuliaannya.
Semakin banyak penanda, terasa semakin dekat hati kita dengan Rasul.

Lebih dari itu, dalam konteks peristiwanya sendiri, ada yang lebih penting dari penanda waktu, yaitu makna wafatnya Rasulullah itu sendiri. Peristiwa ini menandai berakhirnya masa kerasulan, baik Nabi Muhammad maupun para nabi yang mendahului. Dalam teologi Islam, berakhirnya masa kerasulan berarti berakhirnya masa turunnya wahyu tertulis dan menandai paripurnanya ajaran Islam, yang embrionya semakin terlihat di masa Nabi Ibrahim alaihissalam.

Alasan penulis mengenang wafatnya teladan umat manusia yang satu ini adalah justru untuk memaknai kehadirannya. Kematian dan kehidupan bukankah selalu berhubungan? Demikian pula, ketiadaan dan kehadiran. Kehadiran Rasulullah di antara para pengikutnya semakin terasa di benak kaum Muslimin justru ketika beliau sudah meninggal. Tanda-tanda perselisihan mulai menyembul beberapa saat setelah malaikat maut meninggalkan pembaringan Sang Nabi. 

Bukankah di saat hidupnya, dengan konsistensinya Rasulullah berhasil membebaskan manusia dari sikap-sikap jahiliah, seperti tindakan mengubur bayi perempuan dan menistakan kaum dhuafa. Bukankah permusuhan kronik dua etnis besar Aus dan Khazraj di Yatsrib melumer di kala beliau mulai menginjakkan kakinya di bumi Madinah. Pada saat yang sama, sebuah tonggak persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar ditegakkan. Di waktu berikutnya, sebuah piagam pertama yang mengatur kehidupan civil society ditandatangani oleh perwakilan dari seluruh komunitas yang ada di Madinah, termasuk dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Beberapa contoh ini menunjukkan betapa dalam hidupnya Rasulullah telah memancangkan pilar-pilar sejarah tumbuhnya nilai kemanusiaan. 

Pesan

Pesan-pesan terakhir Muhammad Saw yang banyak diriwayatkan khotbah pada haji wada' (haji perpisahan). Khotbah ini sangat terkenal, selain karena didengar oleh banyak orang--ada keterangan menyebutkan 124 ribu, ada juga yang menyebutkan 144 ribu--juga karena isinya yang sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan. Selain kekhusukan, khotbah ini juga didengar dengan penuh keharuan. Umat Islam banyak yang tidak tahan melelehkan air mata karena merasakan kata-kata Rasul menandakan suatu perpisahan. Agaknya film The Message yang dibintangi Anthony Quinn dapat membantu imajinasi kita menangkap keharuan dan juga kesedihan di padang Arafah saat itu.

Ada beberapa pokok khotbah yang penulis merasa perlu untuk menukilkan kembali dalam tulisan ini. Pertama, penghapusan sistem riba dalam kehidupan manusia. Rasulullah memulainya dengan menghapus riba yang dipraktikkan oleh pamannya sendiri.

Kedua, Rasul menyeru penghapusan semua bentuk pembalasan dendam pembunuhan jahiliah, dan penuntutan darah cara jahiliah. Tindakan ini dilakukan pertama kali atas tuntutan darah Amir bin Al-Harits, sepupunya sendiri.

Ketiga, Rasul melarang keras mengambil harta saudara sendiri. Pesan ini dapat ditafsirkan larangan keras mengambil harta orang lain, sedangkan mengambil harta saudara sendiri saja sangat ditentang. Pesan ini juga berarti larangan untuk mengambil hak sesama Muslim, karena setiap Muslim adalah saling bersaudara.

Keempat, Rasul menyeru untuk memperlakukan perempuan dengan cara yang baik karena mereka adalah amanah dari Allah. Rasul menekankan bahwa ada hak laki-laki atas istrinya dan sebaliknya ada hak perempuan atas suami mereka. 

Pesan berikutnya adalah seruan untuk memberi kepada orang miskin makanan yang kita makan dan pakaian dari jenis kain yang kita pakai. Pesan ini tegas-tegas memperlihatkan keharusan seorang Muslim untuk memperlakukan orang lemah, sebagaimana mereka memperlakukan diri sendiri. Ajaran ini berarti pula menuntut setiap Muslim untuk selalu peduli kepada sesamanya, tidak mementingkan dirinya sendiri. Mengutamakan orang lain sebagaimana mengutamakan diri sendiri.   

Pemungkas khotbah ini adalah pesan bahwa setiap manusia berasal dari satu bapak. Semua manusia dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang paling bertakwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa. Bahkan, kita wajib taat dalam pemerintahan seorang hamba berkulit hitam selama ia menjalankan perintah Allah.

Opini Republika 8 Juni 2010