17 Mei 2010

» Home » Kompas » Terorisme (Tidak) Ada Matinya?

Terorisme (Tidak) Ada Matinya?

Setiap kali ada penangkapan terhadap mereka yang diindikasikan sebagai teroris, seperti yang baru saja terjadi, pekan lalu di Cawang, Cikampek, dan Sukoharjo, kalangan pers dan masyarakat bisa dipastikan tersentak. Apa lagi jika yang ditangkap atau ditembak mati adalah gembong teroris yang dicari-cari aparat RI, bahkan masyarakat internasional.
Di satu sisi, hal ini patut disyukuri bahwa dengan tertangkapnya teroris ini, terkesan bahwa Densus 88 mampu mencegah kemungkinan terjadinya teror berikutnya. Namun, di lain pihak, sebagian masyarakat menyayangkan mengapa mereka harus ditembak mati.
Dengan ditembak matinya para gembong teroris, informasi penting yang akan membantu untuk mengungkapkan jaringan teroris akan terputus. Sebaliknya, polisi menyatakan bahwa mereka harus menembak karena mereka yang diindikasikan teroris tidak mau menyerah, dan dianggap membahayakan nyawa aparat polisi.


Terlepas dari apakah teroris harus ditembak mati atau tidak, sesungguhnya yang paling dikhawatirkan masyarakat adalah kenapa teroris ternyata masih bercokol di wilayah Indonesia, bahkan makin masuk, menyebar dekat ke sekitar kita? Ada banyak alternatif jawabannya, mulai dari masih adanya dukungan dari masyarakat, hingga masih lemahnya koordinasi dan kemampuan aparat. Tulisan ini bermaksud untuk mencermati permasalahan masih suburnya teroris terkait dengan isu eksistensi pemimpin gerakan teroris.
Tidak matikan terorisme
Kita sudah menyaksikan bahwa para gembong gerakan teroris, seperti Dr Azhari, Noordin M Top, dan Dulmatin, sudah di tembak mati oleh Densus 88 serta sebelum mereka, yaitu para teroris yang tersangkut dengan bom Bali yang juga termasuk tokoh penting gerakan teroris di Asia Tenggara, seperti Mukhlas dan Imam Samudra, juga sudah dihukum mati. Gerakan ini mestinya sudah lumpuh setelah kehilangan pemimpinnya, tetapi dalam kenyataannya teroris masih tumbuh subur dan jadi ancaman potensial untuk mengguncang stabilitas keamanan negara.
Ada kemungkinan, pertama, kematian mereka tidak memberikan efek jera kepada para pengikut dan pelaku teroris lain. Publisitas yang kuat dari pers menjadikan kematian para pemimpin teroris sebagai martir bagi gerakan teroris selanjutnya. Kematian mereka seakan memberi inspirasi dan semangat untuk balas dendam bagi para teroris dan calon teroris lainnya.
Kedua, berkaitan dengan level dan karakteristik kepemimpinan teroris. Meskipun mereka yang dihukum mati atau ditangkap mati adalah pemimpin teroris, tetapi mereka bukanlah pemimpin tunggal yang tersentralis. Teroris di Indonesia terdiri dari berbagai kelompok yang mempunyai pemimpinnya sendiri. Di antara kelompok tersebut tidak jelas apa ada komando koordinasi. Bahkan, di dalam kelompok mereka, koordinasi berlangsung secara rahasia/sel, masing-masing tidak tahu tugas yang lain. Oleh karena itu, meskipun satu kelompok sudah ditangkap, tetapi ini tidak menghentikan gerakan kelompok teroris lain.
Ketiga, ada kemungkinan bahwa mereka yang sudah mati atau ditangkap telah mempersiapkan kaderisasi yang kuat sehingga meskipun pemimpin tersebut sudah mati atau ditangkap, kader dan pengikut bisa tetap hidup dan leluasa bergerak. Hanya sebentar gerakan teroris tersebut akan limbung, tetapi mereka akan bisa menata kembali organisasi dan aktivitas gerakan kekerasan mereka pada masa yang akan datang.
Keempat, penangkapan hidup-hidup para gembong teroris tidak disertai dengan pengondi- sian untuk membuat mereka mengubah paham kekerasan pengikutnya. Di Indonesia, selama tahap penantian eksekusi hukuman mati para teroris masih leluasa menyebarkan ide-ide perjuangan (yang salah) kepada para pengikutnya, seperti dilakukan oleh Imam Samudra yang menulis buku dan menjadi inspirasi bagi calon teroris lain.
Pelajaran dari negara lain
Sesungguhnya, penangkapan para pemimpin gerakan teroris efektif memandulkan atau menghentikan gerakan ketika pemimpin teroris bersuara menghentikan kekerasan para pengikutnya. Pengalaman di luar negeri dalam memerangi gerakan teroris yang berbahaya mungkin bisa menjadi pelajaran. Pemimpin teroris Shining Path, yaitu Manuel Ruben Abimael Guzman Reynoso, yang ditangkap Pemerintah Peru, di balik jeruji penjara menyerukan kepada pengikutnya untuk meletakkan senjatanya. Dampak dari permintaan Guzman ini ternyata efektif menghentikan gerakan perlawanan terorisme di negeri ini.
Demikian juga yang dilakukan oleh Pemerintah Turki ketika berhasil menangkap pemimpin karismatik gerakan separatis partai pekerja Turki (Kurdian Worker’s Party) yaitu Abdullah Ocalan pada tahun 1999 dan berhasil memaksa Ocalan meminta para pengikutnya untuk tidak melakukan kekerasan.
Pada tahun 2001 aparat Pemerintah Inggris menangkap Michael McKevitt, pemimpin dari Real Irish Republic Army (RIRA). Dari balik jeruji, McKevitt mengumumkan bahwa RIRA telah ”mati”. Efeknya, aktivitas kelompok ini menurun drastis. Ini mungkin bisa ditiru di Indonesia.
Alasan yang lain dari penyebab teroris masih eksis di bumi Indonesia adalah kenyataan bahwa para pemimpin teroris tersebut menggunakan ayat-ayat dan tujuan agama (Islam) sebagai alat utama untuk memobilisasi massa. Nilai-nilai agama yang sakral disalahgunakan oleh para pemimpin gerakan teroris untuk menjustifikasi gerakan mereka.
Dengan demikian, meskipun pemimpin tersebut sudah meninggal, petikan ayat-ayat agama yang mestinya bersifat universal dan permanen tersebut masih eksis dan menjadi panutan guna meneruskan perjuangan (yang salah) dari para pengikutnya.
Bila akar dari terus berlangsungnya perjuangan dengan menggunakan kekerasan dari para terorisme ini tidak ditangani secara strategis, maka adalah sebuah kewajaran apabila kita akan selamanya dibiasakan hidup bersama dengan para teroris dan teror yang diciptakannya yang sulit diprediksi. Long Live Terorist!
Sartika Soesilowati Dosen FISIP Universitas Airlangga; Peneliti pada Cakra Studi Global dan Strategi, Bidang Keamanan dan Terorisme

Opini Kompas 18 Mei 2010