17 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Terorisme dan Persepsi Publik

Terorisme dan Persepsi Publik

Oleh Muradi

Keberhasilan Densus 88 AT Polri menembak mati lima buronan teroris dan menangkap hidup seorang lainnya, ditanggapi dingin oleh publik. Hal ini berbeda sekali dengan keberhasilan mengungkap jejak kelompok terorisme di Aceh awal Maret 2010, ketika masih ada antuasiasme publik berkaitan dengan kinerja Densus 88 AT tersebut. Agaknya publik masih menyimpan tanya dan ketidakpuasan dengan berbagai langkah dan kebijakan, yang diambil pimpinan Polri terkait dengan upaya membersihkan institusi tersebut dari praktik korupsi dan makelar kasus. Salah satunya tengah diungkap oleh anggotanya sendiri, Susno Duadji, malah dipenjarakan dengan berbagai tuduhan, yang oleh publik dianggap dicari-cari. Dapat ditebak keberhasilan Densus 88 pada akhirnya menjadi antiklimaks dan tidak memiliki nilai berita yang diapresiasi publik.


Isu kemungkinan berbagai aksi teror yang menjadikan Obama  akan datang bulan depan dan perayaan kemerdekaan di Istana Negara pada Agustus mendatang, sebagai sasaran juga tak ditanggapi serius publik. Bahkan, ada dugaan hal itu merupakan bentuk pencitraan baru, terkait dengan adanya konsolidasi kelompok  terorisme baru pimpinan Abdullah Sunata setelah Dr. Azahari dan Noordin M. Top tewas. Dengan kata lain, publik mulai meragukan ancaman teror yang dikaitkan dengan kelompok terorisme tersebut.

Akan tetapi, secara institusi keberhasilan Densus 88 AT tersebut merupakan bagian dari bentuk konsolidasi  internal Polri agar tidak makin terbelah oleh konflik, karena berbagai pernyataan Susno Duadji. Dengan kata lain, di tengah konflik yang mengemuka, Polri lewat Densus 88 AT-nya mampu membuktikan kinerja yang baik.

Persepsi berbeda

Ancaman terorisme dan konflik internal yang mengemuka, menjadi dua hal yang relatif mengganggu kinerja Polri dalam enam bulan terakhir. Semua prestasi dan kebijakan yang berkaitan dengan pengungkapan kasus dan pemberantasan terorisme, menjadi sia-sia dan ditanggapi skeptis oleh publik. Bahkan, alih-alih dianggap berhasil, malah mengundang cibiran dan dianggap sebagai bagian dari permainan Polri untuk selalu dianggap berprestasi. Indikasinya, dapat dilihat dari pemberitaan media yang tidak lagi antusias. Hal ini bisa jadi juga disebabkan  kasus Susno lebih menarik dari pada keberhasilan Densus 88 AT tersebut.

Ada tiga alasan mengapa publik melihat prestasi Densus 88 AT tidak dilihat sebagai keberhasilan luar biasa. Pertama, komitmen Polri berkaitan dengan pembersihan internal dari praktik korupsi dan penyimpangan lainnya masih diragukan. Hal ini terbaca pada perlakuan pimpinan Polri terhadap Susno yang ditahan dengan berbagai dalih dan tuduhan. Publik menyadari bahwa apa yang dilakukan Susno merupakan pintu masuk untuk membersihkan Polri dari berbagai praktik penyimpangan, terlepas nanti apabila Susno terbukti bersalah, upaya hukum juga diberlakukan padanya.

Kedua, keberhasilan pengungkapan terorisme seringkali bertepatan dengan adanya kebuntuan pimpinan Polri, dalam merespons berbagai kasus yang melibatkan Polri. Salah satunya kesulitan pimpinan Polri merespons desakan dan opini publik, berkaitan dengan penahanan Susno. Dengan demikian, persepsi publik berkaitan dengan keberhasilan itu mendua;  bagian dari prestasi atau rekayasa?

Ketiga, adanya pandangan dan persepsi yang berbeda antara internal Polri dengan publik, terkait berbagai prestasi dan problematika Polri. Sekadar gambaran, pada kasus Susno, publik menganggap bahwa Susno dianggap sebagai pintu masuk membuka tabir kebusukan di Polri. Sementara internal Polri memandang sebaliknya, Susno dianggap sebagai aib Polri yang akan mengganggu konsolidasi Polri, karenanya harus disingkirkan. Tak heran apabila sejumlah protes dan kecaman terhadap penahanan Susno, ditanggapi dingin oleh pimpinan Polri. Hal yang sama terjadi pada prestasi Densus 88 AT, publik melihatnya skepstis, sebaliknya internal Polri menanggap sebagai prestasi yang luar biasa.

Secara garis besar dapat dilihat, persepsi publik terhadap prestasi Polri belum baik, terutama adanya dugaan berkaitan dengan masih maraknya praktik penyimpangan dan korupsi. Di sisi lain, justru Polri sangat mengharapkan pencitraan publik yang baik, guna memberikan ruang-ruang  makin besar bagi peran dan fungsi Polri. Sementara Polri secara institusi yang bersentuhan langsung dengan publik, harus melihat persepsi publik sebagai salah satu indikator baik atau buruknya pencitraan. Sebab, sebaik apa pun kinerja Polri, tetapi persepsi publik terhadap Polri belum baik, menjadi sesuatu yang sia-sia. Sebagai institusi kepolisian yang profesional, publik harus diposisikan oleh Polri sebagai indikator keberhasilan kinerja. Tidak bisa lagi pimpinan Polri menganggap angin lalu, persepsi publik terkait dengan kinerjanya.

Setidaknya ada dua hal penting yang harus diperhatikan pimpinan Polri. Pertama, perlu menyikapi secara serius protes publik berkaitan dengan penahanan Susno. Setidaknya, pimpinan Polri belajar dari kasus ditahannya pimpinan KPK, Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah. Penahanan Susno dengan berbagai dalih hanya akan memosisikan Polri dalam persepsi yang buruk oleh publik. Pimpinan Polri juga diharapkan dapat melihat permasalahan berbagai praktik penyimpangan dan penahan Susno secara bijak dan berimbang. Hal ini agar persepsi publik terhadap Polri juga dapat obyektif.

Kedua,  pimpinan Polri harus melihat persepsi publik sebagai indikator baik tidaknya citra Polri, terkait dengan kinerja. Polri tidak boleh lagi berprinsip ”tugas telah kami selesaikan!” sebagaimana dulu masih bergabung dengan militer dan tidak peduli dengan asumsi dan persepsi publik. Artinya, pimpinan Polri harus melihat bahwa baik atau buruknya kinerja Polri, tetap ditegaskan pada persepsi baik atau buruknya publik menilai kinerja Polri.

Dengan dua hal tersebut di atas, maka sekecil apa pun prestasi Polri di masa yang akan datang tetap diapresiasi oleh publik dengan baik.***

Penulis, pengamat politik.
opini pikiran rakyat 18 mei 2010