17 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Penghijauan ala Ki Gede Sebayu

Penghijauan ala Ki Gede Sebayu

MASYARAKAT Kabupaten Tegal tak akan pernah melupakan sosok Ki Gede Sebayu atau Kanjeng Syekh Abdurrahman.  Sosok inilah yang berjasa mengukir sejarah dan peradaban daerah itu, yang pada 18 Mei 2010 ini genap berusia 409 tahun. Selama itu pula spirit Ki Gede Sebayu menjelma dalam denyut nadi di seluruh sendi kehidupan masyarakat.

Warga Kabupaten Tegal mewarisi sifat-sifat luhur tokoh tersebut: pekerja dan pemikir keras serta pemikirannya yang sangat visioner. Predikat Kabupaten Tegal sebagai Jepangnya Indonesia serta julukan yang disandang warga Kabupaten Tegal sebagai pekerja keras yang berjiwa entrepreneur tentu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba.  Ikon-ikon itu tak mungkin diraih tanpa Ki Gede Sebayu sebagai the founding father.


Sebagai pemikir visioner dan pekerja keras, Ki Gede Sebayu berhasil menanamkan spirit bahwa hanya dengan kerja keras dan jiwa gotong-royong, semua tantangan hidup dapat dilalui dengan baik. 

Pada zamannya, dia tidak pernah menyerah pada kondisi alam yang kurang menguntungkan.  Pada umumnya kondisi lahan kala itu berupa lahan kering yang marginal. Meski sumber air melimpah, nyaris tak termanfaatkan karena tiadanya sarana infrastruktur pendukung.

Potensi yang belum termanfaatkan tersebut kemudian disulap menjadi tanah-tanah subur berpengairan teknis.  Karyanya yang paling monumental dan hingga kini manfaatnya masih dirasakan masyarakat adalah Bendung Danawarih yang berdiri kokoh di Kali Jembangan dan Kali Gung dengan intake Pintu Jimat. 

Bendungan ini dibangun secara gotong-royong dan selesai dibangun pada Rabu terakhir di bulan Sapar 1596.  Hingga kini momentum tersebut selalu diperingati oleh masyarakat melalui ritual Rebo Wekasan.

Pembangunan bendung tersebut membawa manfaat yang sangat besar bagi masyarakat tani yang mendapat oncoran dari infrastruktur irigasi tersebut.  Puluhan ribu hektare sawah tadah hujan yang semula hanya dapat ditanami palawija satu kali setahun dapat disulap menjadi tanah sawah irigasi teknis yang dapat ditanami tiga kali setahun.

Guna menyelamatkan lingkungan serta memelihara sumber-sumber air, sosok Ki Gede Sebayu berada di barisan depan menanami setiap jengkal lahan dengan pepohonan.  Diharapkan sumber-sumber air yang keberadaannya telah menjadi sumber ’’emas biru’’ tersebut tetap terjaga kelestariannya meski saat ini isu pemanasan global (global warming) tengah mengancam peradaban dunia.
Cinta Lingkungan  Perdamaian dan peradaban dunia tengah terancam, bukan karena perang atau terorisme.  Lebih dari itu, fenomena pemanasan global yang memicu perubahan iklim, menjadi ancaman utama terhadap kelangsungan hidup di bumi. 

Perserikatan Bangsa Bangsa telah mempublikasikan laporan bertajuk ’’Bersama Memerangi Dampak Perubahan Iklim dalam Sebuah Dunia yang Terpenggal’’. Laporan itu menyerukan kepada dunia bahwa tanpa aksi kolektif dan adil secara global, tak satu pun negara di dunia yang akan menang dalam perang melawan perubahan iklim.

Gerakan sak wong sak wit (one man one tree) yang saat ini tengah digencarkan oleh Pemkab Tegal, bukan saja amanat dari PBB, namun lebih dari empat abad lalu Ki Gede Sebayu telah menggelorakan semangat cinta lingkungan itu. Gerakan menanam dan memelihara pohon tersebut kini kembali digelorakan oleh generasi pemimpin selanjutnya yang kini dijabat Bupati H Agus Riyanto SSos, MM. Gerakan menanam dan memelihara pohon tersebut diharapkan mampu menghimpun kembali energi  seluruh komponen masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Atas nama pembangunan ekonomi, masyarakat cenderung permisif  terhadap tindak perusakan lingkungan.  Tanpa kita sadari semua itu merupakan tindakan bunuh diri secara ekologis. Bukankah pujangga besar Kahlil Gibran pernah mengingatkan, ’’Pepohonan adalah syair yang ditulis oleh Bumi kepada langit. Jika pepohonan tersebut kita tebang untuk dijadikan kertas, maka yang akan kita tulis di atasnya adalah kehampaan kita...’’

Gerakan sak wong sak wit sejatinya adalah ’’anggur’’ lama yang diwariskan Ki Gede Sebayu yang dikemas ulang dengan jargon global. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah kebaikan.

Hadis telah arif mengajarkan,’’Tanamlah bibit pohon yang ada di tanganmu sekarang juga meski besok kiamat, niscaya Allah akan tetap memperhitungkan pahalanya’’. (10)

— Toto Subandriyo,  Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4)

Wacana Suara Merdeka 18 Mei 2010