17 Mei 2010

» Home » Republika » Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu

Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu

Muhammadiyah mempunyai posisi yang strategis tidak hanya di mata umat, rakyat, dan Pemerintah Indonesia, tapi juga di mata pengamat dan masyarakat luar negeri. Oleh karenanya, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang akan diselenggarkan di  Yogyakarta, pada 3-8 Juli 2010 mendatang, menarik untuk dicermati. Muktamar yang akan mengangkat tema "Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama" itu, sangat sesuai dengan kondisi internal dan eksternal Muhammadiyah serta umat Islam Indonesia.

Selama ini, banyak masyarakat yang menganggap bahwa posisi strategis Muhammadiyah adalah karena menjadi Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia yang mempunyai massa puluhan juta. Oleh karenanya, dengan jumlah anggota yang besar itu, Muhammadiyah bisa berpotensi menjadi pendorong kekuatan politik, moral, ekonomi, dan kebudayaan. Namun, ada satu potensi yang sepertinya jarang disentuh dan diberdayakan secara maksimal oleh Muhammadiyah, yaitu potensi sebagai organisasi pembaharuan yang selama ini sedikit banyak juga sudah teruji sejarah.

Sayangnya, potensi sebagai gerakan pembaharuan yang bisa berjalan secara seirama dengan gerakan ilmu itu, akhir-akhir ini perannya meredup. Paling tidak, seperti yang sering disampaikan oleh Buya Syafii Maarif, bahwa orientasi Muhammadiyah sekarang lebih terpaku pada gerakan amal (Republika, 23/04/2010)

Agenda Gerakan Ilmu   

Kalau kita baca sejarah perkembangan gerakan Muhammadiyah, pada dasarnya antara gerakan amal dan gerakan ilmu tidak bisa saling dipisahkan. Ketika KH Ahmad Dahlan pertama kali mendirikan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta, selain melakukan gerakan keilmuan dengan mengajar mengaji dan mendirikan sekolah untuk umat Islam dan masyarakat pribumi, beliau juga melakukan gerakan amal. Hal itu terwujud dengan pendirian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang menjadi wujud nyata untuk membumikan perintah agama guna menolong masyarakat mustadz'afin.
   
Selain itu, sebagai ormas keislaman, Muhammadiyah juga banyak menelorkan pembaruan dan kritik terhadap konservatisme keagamaan seperti takhayul, bid'ah, dan churafat (TBC) yang saat itu banyak membelenggu umat dan menyebabkan mereka tertinggal. Namun, Muhammadiyah bukan hanya organisasi pemikir yang berhenti pada dataran konsep, tapi juga berusaha melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan, amal sosial, dan ekonomi umat dengan mendirikan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, serta amal usaha lainnya. Rumusan itulah yang sering disebut oleh M. Amin Abdullah sebagai realisasi konsep a faith in action dalam tubuh Muhammadiyah.   

Nah, dalam kerangka perpaduan antara gerakan amal dan gerakan ilmu, tampaknya gerakan ilmu di Muhammadiyah sekarang kurang mendapat porsi yang seimbang. Memang, harus diakui bahwa ekspansi gerakan Muhammadiyah dalam bidang amal sosial semakin meluas. Hal itu tampak terlihat dari semakin banyaknya perguruan tinggi, sekolah, rumah sakit, ataupun kegiatan yang dilakukan oleh majelis dan lembaga di PP Muhammadiyah, pimpinan wilayah, pimpinan daerah, maupun pimpinan cabang Muhammadiyah.

Namun, amal sosial itu kurang diimbangi oleh peningkatan kualitas, pembukaan ruang dialog, penciptaan pusat-pusat keunggulan (center for excellence), serta peningkatan produktivitas karya ilmiah dari warga serta pimpinan Muhammadiyah. Mestinya, perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah itu, dikembangkan kualitas dan potensinya secara maksimal sehingga ke depan ada yang masuk perguruan kelas dunia (world class university) sebagai universitas riset yang diperhitungkan.

Majelis Tarjih dan Tajdid yang diharapkan mengawal gerakan keilmuan Muhammadiyah, juga masih kurang berfungsi secara maksimal. Fatwa mereka tentang pengharaman rokok dan bunga bank, tampak seperti kurang relevan dengan kondisi masyarakat umum. Majelis ini lebih tepat mengeluarkan fatwa dan pokok pemikiran yang bermanfaat untuk perbaikan kondisi bangsa seperti soal mafia kasus, korupsi, reformasi birokrasi, peningkatan kualitas pendidikan, penegakan hukum, moralitas politik, dan sebagainya. Tidak heran jika Buya Syafii Maarif mengusulkan agar majelis ini diganti namanya menjadi Majelis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir. Mungkin maksudnya agar lebih peka dan berani mengeluarkan konsep-konsep yang lebih berani, membumi, dan bermanfaat untuk masyarakat luas. Tokoh-tokoh Muhammadiyah hendaknya juga berani berpikir jauh untuk membongkar warisan ijtihad lama yang mungkin sudah tidak relevan untuk memecahkan masalah kemanusiaan global sekarang ini.

Meskipun Muhammadiyah terkesan lamban dan kurang maksimal sebagai gerakan ilmu, namun Muhammadiyah mempunyai potensi besar untuk melakukannya. Setidaknya, Muhammadiyah bersama NU sudah berupaya untuk memperkuat dirinya sebagai civil Islam yang sangat penting dalam proses demokratisasi bangsa.

Potensi yang sudah ada itu, tentu harus direvitalisasi dan dikembangkan. Sudah saatnya Muhammadiyah meneguhkan jati dirinya sebagai gerakan ilmu yang bersifat lintas golongan, suku, agama, politik, dan negara. Untuk itu, Muhammadiyah harus aktif membentuk dan terlibat dalam epistemic community dalam lingkung internal dan eksternal. Epistemic community adalah sebuah jaringan para profesional atau pakar yang mengakui keahlian dan kompetensi masing-masing dalam hal-hal khusus, serta sebuah pendapat kebijakan otoritatif untuk pengetahuan yang relevan dalam bidang atau area tertentu (Hadi Soesastro, 2009).

Berkaitan dengan itu, maka Muhammadiyah selayaknya memanfaatkan potensi yang dimiliki kadernya dalam berbagai bidang keahlian, mulai dari agama, ekonomi, politik, teknologi, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, serta pemberdayaan masyarakat. Setelah itu, Muhammadiyah seyogianya menggalakkan dialog di antara pakar luar dan kader itu untuk mendiskusikan dan merumuskan berbagai persoalan umat dan bangsa yang segera butuh dipecahkan. Tentu saja, hasil dialog itu hendaknya dirumuskan dalam kerangka praktis dan kebijakan yang bisa diimpelementasikan di lapangan. Dengan begitu, kerja sama dan saling kontribusi antarkader dalam ranah konseptual dan praktis ini akan tercapai.

Opini Republika 18 Mei 2010