17 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kevakuman Ideologi

Kevakuman Ideologi

Oleh TJETJE H. PADMADINATA

TERUTAMA dalam tutur kata lisan kalangan perintis kemerdekaan Indonesia (angkatan 1928), Cirebon dinilai mempunyai posisi historis keperintisan dalam tanggal lahir Pancasila dan proklamasi kemerdekaan Indonesia.


Konon kabarnya, sebelum 1 Juni 1945, Pancasila sudah disepakati untuk dijadikan dasar negara pada saat kemerdekaan dicapai. Kelima sila (isinya) dari Soekarno, sedangkan penamaannya dari Muhammad Yamin. Soekarno adalah seorang insinyur, tetapi dia adalah juga politikus ulung berjiwa seni. Sementara Muhammad Yamin adalah sarjana hukum merangkap politikus yang menyukai bahasa.

Soekarno diproyeksikan sebagai presiden pertama Indonesia, karena dia tokoh pemimpin pergerakan kemerdekaan yang paling dikenal luas. Sebagai politikus besar, Soekarno mempunyai kelengkapan sebagai ahli pidato (orator) dan pandai menulis. Memang tidak banyak pejuang yang memiliki kelengkapan kemampuan dalam berpikir, berpidato, dan menulis. Soekarno adalah juga seorang yang flamboyan, karena dia juga seniman yang cinta keindahan.

Sementara Tan Malaka, meskipun diakui sebagai politikus paling cemerlang pemikiran dan kejuangannya, dia tidak dijagokan sebagai presiden pertama karena dia dinilai pemberang (pemarah). Sebagai pejuang gerakan bawah tanah, Tan Malaka memang tidak banyak dikenal orang, tetapi bentuk pemerintahan republik untuk Indonesia adalah gagasannya.

Nasib dan takdir para pejuang tidak semata-mata dipastikan hanya oleh kiprah lahiriahnya masing-masing, ”garis tangan” pun akhirnya menentukan. Kalau benar kader politik terbaik H.O.S. Tjokroaminoto adalah S.M. Kartosoewirjo, kan yang jadi presiden pertama Indonesia justru Soekarno?

Awal mula pertimbangan dasar mengapa Pancasila dijadikan dasar negara, karena Pancasila dinilai akan mampu menjadi ideologi pemersatu (ideologi jalan tengah) bagi bangsa Indonesia yang memang sangat beraneka-ragam (pluralistik). Pergerakan kemerdekaan dijiwai oleh tiga ideologi utama: nasionalisme (kebangsaan), islamisme, dan komunisme. Di zaman prakemerdekaan, semuanya bercita-cita Indonesia merdeka dan berdaulat. Singkat kata, dikatakan Pancasila adalah dasar negara RI ini, maksudnya jangan (bukan) dasar negara yang lain demi keutuhan Indonesia Raya. Seandainya Pancasila/NKRI gagal, maka tidak mustahil di Indonesia ini akan berdiri lebih kurang tiga puluh republik gurem dan nama Indonesia itu sendiri hilang ditelan zaman. Uni Soviet (USSR) sebagai salah satu negara adidaya (superpower), bukankah hanya berumur tujuh puluh tahun (1917-1987)? Itulah sebabnya, Pancasila/NKRI ini butuh kenegarawanan yang adil dan berwibawa serta rakyat yang sejahtera!

Kalau secara akademik-ilmiah Pancasila belum bisa dikatakan sebagai ideologi, mengingat ideology is system of ideas, maka Pancasila mungkin memenuhi syarat sebagai grundnorm (norma dasar) dalam ilmu hukum. Kevakuman ideologi di zaman reformasi sekarang sebagai akibat dari beberapa faktor yang terjadi terutama di zaman Orde Baru, waktu Pancasila betul-betul overindoctrinated dan oversloganized melalui Penataran P4, dan lain-lain. Lebih diperparah lagi, kalangan koruptor hiu yang menjadikan Pancasila semacam jangjawokan (mantera, jampe-jampe) dalam perpidatoan mereka. Di waktu itu penguasa memegang monopoli tentang batasan dan tafsiran tentang Pancasila, di luar itu dianggap “sesat”! Akibatnya Pancasila dianggap ideologi penguasa (kekuasaan), penguasanya gagal maka Pancasilanya pun dianggap gagal. Jadinya Pancasila kababawa teu puguh, Pancasila kaciwit kulit kabawa daging!

Dalam kevakuman ideologi sekarang ini, tampaknya banyak orang enggan, malu, dan bahkan takut mencantumkan Pancasila dalam perpidatoan. ”Reaktualisasi” Pancasila, kapan Pancasila pernah betul-betul diaktualkan (dilaksanakan)? Kaitan antara Pancasila dengan berbagai undang-undang (hukum tertulis), peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan lain-lain,  kapan pernah betul-betul nyambung? Dan bahwa Pancasila akan bernasib seperti sekarang ini sebagai akibat dari formalisme dan verbalisme (apal cangkem) yang berlebihan di zaman Orde Baru (BP-7, P-4), jauh hari sebelumnya kira-kira tahun 1980 pernah diutarakan oleh seorang urang Bandung kepada Gubernur Aang Kunaefi yang mantan koordinator dosen Seskoad. Dahulu, politisi Bandung bukan tukang cari muka dan cari jabatan (dan kekayaan), tetapi tukang ngageuing jeung ngelingan! Demoralisasi dan dekarakterisasi politisi Bandung, kapan dan siapa yang memulai? Berpolitik karena kepentingan adalah biasa, yang luar biasa adalah berpolitik karena kehormatan dan harga diri!

Kevakuman ideologi harus segera diatasi dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka, tanpa monopoli siapa pun juga tentang batasan dan tafsirannya. Dalam praktik keseharian sekarang ini, ”ideologi” (orientasi dan praktik) mayoritas para pelaku politik adalah jelas kedudukan dan uang sebagai berhala. Praktik politik yang hedonistik seperti itu jangan dibilang ”pragmatik”, tetapi ekses dari pragmatisme yang mereka sendiri tidak pernah pelajari. Bukan hanya kabinet presidensial dan kabinet parlementer yang tidak jelas sekarang ini, bukan hanya the party in power dan the party in opposition yang semrawut selama ini, bukan hanya tunaetika dalam ”koalisi-aliansi” dewasa ini. Akan tetapi, memang Indonesia ini sudah lama menderita system of no system (sistem tanpa sistem) akibat lemahnya kenegarawanan. Dianjurkan harus hidup sederhana, tapi ruang pamer kemewahan ada di mana-mana yang merangsang syahwat untuk korupsi.

Tanpa the living ideology and constitution (ideologi dan konstitusi yang hidup dalam keseharian suatu bangsa), kehidupan suatu bangsa bagaikan layangan yang putus  tali terbawa angin tak menentu di mana dan kapan jatuhnya. Kalau demokrasi adalah ideologinya di Amerika Serikat, republik ideologinya di Prancis. Oleh karena itu, Pancasila harus bisa dijadikan ideologinya di sini (Indonesia) melalui keteladanan dan ajaran yang tidak kaku. Kita coba secara bersama-sama, dalam kebersamaan Indonesia Raya.***

Penulis, pengamat politik.
opini pikiran rakyat 18 mei 2010