25 Mei 2010

» Home » Jawa Pos » Perlindungan untuk Susno

Perlindungan untuk Susno

MANTAN Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji mulai menuai simpati. Dua komisi negara menyatakan siap pasang badan untuk menjaga jenderal bintang tiga nonjob itu. Yakni, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Perlindungan terhadap Susno sudah memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Yakni, sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban, tingkat ancaman yang membahayakan, hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban, serta rekam jejak kejahatan saksi dan/atau korban (Jawa Pos, 25/5).

Sebagai elemen strategis negara hukum, Susno memang mempunyai hak dan kewajiban. Dalam kedudukannya sebagai warga negara, Susno sudah menjalankan peran sebagai whistle blower atau peniup peluit yang membeber atau menerangkan sejumlah kejadian yang dinilainya sebagai tindak pidana (mafia pajak dan lain-lain). Kewajiban Susno sebagai warga negara hukum ini sudah dijalankan. Karena itu, hak asasinya sebagai saksi yang sudah melakukan kewajiban dengan membeberkan sejumlah kasus wajib dilindungi negara.

***

Secara yuridis, Susno belum bisa dikatakan atau distigma bersalah. Pasalnya, proses peradilan untuknya belum digelar maupun berakhir dengan putusan yang membuktikan bahwa dirinya pantas menyandang predikat terpidana. Apalagi, dalam implementasi sistem peradilan pidana (criminal justice system), pemeriksaan terhadap Susno baru dimulai.

Dengan status seperti itu, tentu saja Susno harus tetap mendapatkan pengayoman hukum. Secara normatif, hak-haknya sebagai warga negara yang belum tentu bersalah atau jauh dari praduga bersalah (presumption of guilt) wajib ditegakkan oleh negara. Sementara itu, haknya untuk diperlakukan sebagai warga yang tak bersalah (presumption of innocence) juga harus dikedepankan.

Ranah das sollen tersebut memang harus dikedepankan. Sebab, Indonesia sudah mendeklarasikan diri secara konstitusional sebagai negara hukum (rechtsstaat). Dengan demikian, siapa pun orangnya, apa itu Susno yang seorang jenderal maupun yang kopral dan lainnya, harus diperlakukan egaliter.

Disebutkan pula dalam UDHR (Universal Declaration of Human Rights), setiap orang yang dihadapkan pada proses peradilan, mulai ditangkap, ditahan, diperiksa penyidik, hingga dihadapkan ke pengadilan, harus diperlakukan sederajat di depan hukum. Dalam konstitusi kita (pasal 27 ayat 1 UUD 1945) juga ditegaskan, setiap orang berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law).

Selain itu, dalam pasal 18 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Karena itu, sudah jelas prinsip egalitarian harus dijunjung tinggi. Kata "setiap orang" dalam UDHR, UUD 1945, dan UU HAM adalah kosakata yang merepresentasikan pengakuan berbasis nondiskriminasi terhadap setiap orang yang tersangkut hukum, diperkarakan, atau mencari keadilan.

Di antara komunitas pencari keadilan di negeri ini, ada masyarakat yang menjadi korban kejahatan atau pencari keadilan yang menuntut sang penjahat diproses secara hukum dengan fair. Sementara itu, di sisi lain ada kepentingan hukum dan negara yang membutuhkan perlindungan jati dirinya. Hukum menuntut dilaksanakan, sementara negara memerlukan hukum sebagai roh yang memberikan napas, yang menentukan keberlanjutan hidupnya.

***

Testimoni Susno sebagai saksi merupakan salah satu elemen fundamental dalam pembuktian perkara pidana yang selama ini "ditiupnya". Kalau keterangan saksi itu sampai gagal disuarakan secara objektif dan transparan, bukan hanya tindak pidana yang gagal dibongkar, tetapi keadilan juga terlecehkan dan terdegradasi.

Kedudukan keterangan saksi yang demikian fundamental di ranah peradilan tersebut jelas menjadi ancaman utama bagi siapa pun yang terlibat dalam kriminalitas (pelanggaran hukum). Mereka yang menjadi arsitek, aktor, penggerak, produsen, serta pelanggeng  kriminalitas tentu tidak menginginkan kriminalitas itu terbongkar karena suara kebenaran saksi atau korban. Karena kedudukan saksi yang mengancam tersebut, mungkin saja mereka melakukan cara-cara busuk, keji, atau biadab supaya kebenaran dan kejujuran tidak sampai mengisi BAP atau teramputasi dari anatomi implementasi sistem peradilan.

Kalau kesaksian tersebut tidak diberikan dengan transparan atau keselamatan dan kemerdekaan Susno tidak dilindungi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan jiwa diri dan keluarganya, konstruksi kehidupan kemasyarakatan serta kenegaraan, termasuk penegakan hukum, niscaya karut-marut, bahkan terancam mati. Barangkali negara hukum tetap tertulis dalam konstitusi. Tetapi, dalam nurani rakyat atau pencari keadilan, sejatinya tinggal dikenang.

Melindungi Susno tidak berarti memihak Susno, melainkan memihak kepentingan besar akan citra negara hukum. Apalagi, Susno belum tentu mampu melindungi diri sendiri dari kemungkinan terjeratnya dirinya dalam sejumlah perkara yang ditembakkan kepadanya. Tetapi, egalitarianisme bekerjanya sistem peradilan akan menentukan wajah negeri ini sekarang dan ke depan. (*)

*) Abdul Wahid , dekan Fakultas Hukum dan pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma, Malang

Opini Jawa Pos 26 Mei 2010