25 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Paragon: Iktikad Berbagi Tumpeng

Paragon: Iktikad Berbagi Tumpeng

Manajemen Paragon berhasil melakukan media relations ataupun customer relations, kita yakin mereka mau membina community relations dengan lebih baik

MAL Paragon hadir di Semarang dengan kampanye public relations (PR) yang nyaris sempurna. Audiensi manajemen dengan pimpinan media, konferensi pers, ekspose fasilitas serta tenant terkemuka yang mengobral diskon, iklan ucapan selamat dari relasi hingga pembukaan satu gerai oleh Wali Kota Sukawi Sutarip yang dipuncaki dengan grand launching oleh Gubernur Bibit Waluyo. Satu yang mungkin terlupa: berbagi tumpeng dengan warga sekitar.

Kampanye PR selalu berangkat dari analisis situasi yang diawali dengan identifikasi pemangku kepentingan, yakni pihak-pihak yang perannya berpengaruh terhadap keberadaan, kelangsungan, dan masa depan subjek PR. Konsumen, pemasok, media, dan pemerintah memang merupakan stakeholders strategis bagi sebuah mal, seperti Paragon. Sayang, ada yang luput dari perhatian, yakni warga sekitar. Inilah benih masalah yang kemudian melebar dan bereskalasi, yang berpotensi menimbulkan krisis citra.


Menyusul ekpose dan publisitas usai grand launching, permasalahan nyata mengemuka dan menjadi headline media: kemacetan lalu-lintas sekitar lokasi, kesemrawutan parkir kendaraan pengunjung mal, maraknya PKL, unjuk rasa warga sekitar kepada pengelola untuk bisa mendapatkan manfaat (baca: dipekerjakan), pertanyaan tentang amdal, izin ketinggian bangunan (63 m) yang melampaui kawasan keselamatan pperasional penerbangan/ KKOP (45 m), hingga bergulirnya wacana dan akhirnya pembentukan Panitia Kerja (Panja) DPRD Kota Semarang tentang keberadaan mal itu.

Analisis situasi mestinya diletakkan dalam konteks ekonomis, sosial, dan kultural yang lebih luas. Kehadiran Paragon sebagai pusat perbelanjaan modern tidak bisa diisolasi dari fakta makin terpuruknya pasar-pasar tradisional. Paragon adalah kontras dari sandyakalaning Pasar Johar, ikon Semarang, yang dengan terengah-engah sedang coba diinfus untuk kembali memperoleh darah segar dan kehidupan baru.

Paragon, di tengah kelangkaan kesempatan kerja bagi warga sekitar niscaya juga merupakan paradoks antara harapan untuk mendapatkan peluang kerja, atau setidaknya akses berusaha (dengan menjadi PKL, misalnya) terbentur fakta yang jauh panggang dari api. Manajemen Paragon, bergeming atas aspirasi mereka.
Krisis Citra Dalam pusaran labirin persoalan seperti ini, bisa dipahami, kehadiran Paragon sarat dengan prasangka sosial yang pada gilirannya melebar dan bereskalasi. Prasangka sosial memang menjadi fokus perhatian dan harus diantisipasi setiap perencana PR, terlebih ketika mereka harus mengawal kehadiran ’’produk’’ baru dengan skala dampak sosial besar seperti Paragon.
Prasangka sosial pula, yang biasanya menjadi akar atas community issue, yang bila tidak segera ditangani dengan bijak dan cepat, bisa bereskalasi dan memicu terjadinya krisis citra, dan bahkan krisis kepercayaan publik terhadap subjek PR.

Teori dasar inilah yang mendorong subjek PR secara sistematik dan berkesinambungan melakukan program serta kegiatan berbasis masyarakat (community based activity) - sebagai bagian dari upaya yang lebih melembaga, dan dikenal sebagai corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Legal formal, tanggung jawab sosial perusahaan ini juga telah mempunyai pijakan hukum, bukan hanya hidup dalam ranah etika bisnis.

Kesediaan berbagi ’’tum-peng’’ atau nilai kemanfaatan kepada warga sekitar, juga mendapatkan pembenaran filosofis, karena filosofi dasar PR adalah dedikasi kepada stakeholders. Warga sekitar, adalah bagian penting dari stakeholders yang sejauh ini justru masih luput dari perhatian dan kepedulian manajemen mal. Logika ini pula yang mungkin mendorong kalangan DPRD Kota Semarang mewacanakan dan merealisasikan pembentukan panja tentang keberadaan Paragon. Bila legislatif telah berinisiatif, publik berharap bahwa eksekutif akan menjadi fasilitator dalam dialog untuk mempertemukan kepentingan warga sekitar dengan Paragon. Media bisa mendorong percepatan proses dialog itu.

Manajemen Paragon telah berhasil dengan baik melakukan government relations, media relations, maupun customer relations, kita yakin mereka akan mampu dan mau membina community relations dengan lebih baik lagi. Paragon memang harus berbagi ’’tumpeng’’ dengan warga sekitar. Masalahnya, bagaimana membaginya?  (10)

— Trisnadi Waskito, praktisi public relations di Semarang

Wacana Suara Merdeka 26 Mei 2010