Oleh Asep Supriadi
Kasus Susno Duadji, Gayus Tambunan,  dan berbagai mafia hukum dan manipulasi perpajakan menyadarkan semua  pihak akan buruknya potret peradilan di negeri ini. Semua kelembagaan  dibuat gerah karena terdapatnya berbagai modus mafia. Mulai dari  institusi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan dunia pengacara.  Demikian besarnya imbas dari mafia di dunia peradilan terhadap  pencapaian keadilan itu sendiri.
Yang tidak kalah menariknya manakala  Polri membentuk penyidik independen. Masyarakat masih tetap menunjukkan  ketidakpercayaan karena "nila setitik merusak susu sebelanga". Artinya,  keberhasilan di bidang lain tidak bisa mengubah opini, seperti  pengungkapan kasus narkotika dari pemakai, pengedar sampai sindikat  transnasional dan internasional, bahkan kasus teroris dengan  pengungkapan mulai dari Bali satu sampai ke Aceh, Pamulang, Cikampek,  dan Solo belum bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat di negeri ini.
Kenapa kepercayaan ini tak kunjung  tumbuh di masyarakat? Minimal itu pertanyaan yang muncul dari naluri  penulis. Lantas, bagaimana seharusnya upaya Polri, apa yang perlu  disempurnakan?
Untuk masa yang akan datang, masalah  ketidakpercayaan masyarakat bisa diatasi dengan mengoptimalkan Komisi  Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang semula hanya punya kewenangan  mengawasi, melaporkan, menerima pengaduan dari masyarakat. Untuk  menjawab ini semua, Kompolnas diberikan wewenang yang lebih luas sebagai  pemeriksa institusi Polri manakala ada kasus-kasus seperti ini,  komposisi dan kompetensi menjadikan prioritas utama untuk membentuk  Kompolnas yang bisa menjadikan solusi yang lebih baik.
Manakala Kompolnas mendapatkan peran  yang lebih lengkap dan dengan komposisi dan kompotensi yang bisa  dipertanggungjawabkan dan mendapat pengakuan dari masyarakat, niscaya  akan lebih dipercaya bila pembentukan penyidik independen diprakarsai  oleh Kompolnas. Sebab, komposisi Kompolnas dalam merekrut anggotanya  bersifat kredibel, tranparan, dan mewakili dari unsur-unsur dalam  masyarakat. Dengan demikian, tidak ada celah untuk tidak percaya  manakala Kompolnas tampil untuk menyelesaikan permasalahan seperti  kondisi sekarang ini.
Secara normatif, Pasal 37 (1)  Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, menjelaskan, Lembaga  Kepolisian Nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional  berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Ayat (2),  Komisi Kepolisian Nasional dibentuk dengan keputusan Presiden. Komisi  Kepolisian Nasional bertugas membantu presiden dalam menetapkan arah  kebijaksanaan Kepolisian RI dan memberikan pertimbangan kepada presiden  dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dalam melaksanakan  tugasnya, Kompolnas berwenang mengumpulkan dan menganalisis data sebagai  bahan pemberi saran kepada presiden yang berkaitan dengan anggaran,  Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia  Polri, dan pengembangan sarana dan prasarana Polri. Memberikan saran dan  pertimbangan lain kepada presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian  Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri, serta menerima  saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan  menyampaikan kepada Presiden.
Untuk bisa tampil sebagai penyidik  independen dan bisa dipercaya oleh masyarakat sehingga bisa menjadi  salah satu solusi dalam menghadapi permasalahan, dalam pasal ini penulis  berpendapat perlu ditambah kewenangan sebagai penyidik yang dalam  keadaan luar biasa dapat tampil sebagai penyidik independen. Dalam Pasal  8, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 huruf g  tentang calon yang berasal dari unsur tokoh masyarakat seharusnya lebih  diperjelas asal dari tokoh tersebut misalnya dari akademisi, praktisi,  dan pemuka agama.
Guna memperkuat Kompolnas ke depan,  Pasal 38 dalam ayat (2) perlu ditambahkan pada huruf d, tentang  kewenangan membentuk penyidik independen dalam hal diperlukan menyidik  kasus-kasus luar biasa yang dapat mempertaruhkan kredibilitas Polri  secara kelembagaan. Kemudian, pada huruf e diperlukan persetujuan DPR  dalam menentukan anggota Kompolnas. Pasal 39 ayat (2) tentang  keanggotaan Kompolnas, dari unsur pemerintah sudah cukup bagus. Pakar  kepolisian tidak hanya berorientasi pada purnawirawan Polri, tetapi  harus punya kompetensi di bidang kepolisian. Unsur tokoh masyarakat juga  harus diperjelas supaya tidak memberi peluang menginterprestasi yang  salah. Oleh karena itu, perlu komposisi akademisi, praktisi, bila perlu  tokoh keagamaan.
Ke depan manakala ada permasalahan  yang rumit seperti sekarang ini Kompolnas akan tampil dengan segala  kewenangan yang dimilikinya untuk melakukan penyidikan yang independen  dengan suatu dasar kepercayaan dari masyarakat karena komposisi dari  keanggotaan Kompolnas telah secara transparan direkrut dari akademisi,  praktisi, pemuka agama untuk mengisi unsur-unsur tokoh masyarakat itu  sendiri.
Dengan terbentuknya kepercayaan dari  masyarakat, penulis yakin masyarakat akan dapat dengan mudah berperan  serta dalam memaksimalkan pemolisian masyarakat dan mencari sejuta  teman. Penegakan hukum akan dapat menciptakan kepastian hukum yang  berkeadilan manakala didukung instrumen yang baik, pelaksana yang  profesional, kelembagaan yang baik, dan adanya kesadaran hukum  masyarakat yang tinggi. Penulis optimis pada gilirannya hukum akan jadi  panglima di negeri ini.***
Penulis, kandidat Doktor Hukum Pidana  Universitas Padjadjaran Bandung.
opini pikiran rakyat 26 mei 2010