02 Mei 2010

» Home » Lampung Post » Korupsi: Diberantas atau Dibutuhkan?

Korupsi: Diberantas atau Dibutuhkan?

Syafarudin
Dosen Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Korupsi kok kian merajalela? Demikian pertanyaan Bambang Eka Wijaya (BEW) dalam Buras (Lampung Post, 30 April 2010). "Itu mungkin terjadi karena retorika penguasa dalam memberantas korupsi tak diikuti tindakan sebanding dalam menciptakan iklim memberantas korupsi," tulis BEW.
Saya kira BEW benar. Maraknya korupsi belakangan ini, memang salah satunya dipicu pandangan dan sikap yang masih mendua terhadap korupsi: kadang dihindari dan diberantas tetapi tak jarang dibutuhkan.


Dihindari dan diberantas karena korupsi membawa implikasi buruk. Dibutuhkan karena ada hal positif yang ditimbulkan korupsi(?). Pandangan yang kedua inilah yang tampaknya masih meracuni cara berpikir elite politik, mafia hukum, termasuk oknum birokrat untuk turut menyuburkan praktek korupsi di Indonesia.
Pandangan kontra korupsi bisa dilihat dari pemikiran Syed Hussein Alatas (1975), James Scott (1985), Robert Klitgaard (1988), Susan Rose-Ackerman (2000), dan Teten Masduki (2005). Sedangkan yang menilai korupsi ada sisi positifnya bisa dilihat dari dukungan pemikiran Nathaniel H. Left (1979) dan Carino (1986).
Pandangan menolak korupsi memiliki argumen yang tegas. Menurut mereka, bekerjanya sistem politik dan pemerintahan haruslah berdasarkan pertimbangan norma, moral, dan etika, yang membimbing manusia untuk memperoleh kebahagiaan.
Korupsi merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan dan membawa dampak yang sangat serius. Misalnya menggagalkan pembangunan, menciptakan ekonomi biaya tinggi, memerosotkan devisa negara, merusak moral bangsa, dan menimbulkan sinisme terhadap pemerintahan.
Korupsi mengakibatkan ketimpangan sosial. Ada kelompok masyarakat yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Kondisi ini bisa menciptakan kerawanan sosial dan maraknya kriminalitas.
Sebaliknya, pandangan mereka yang memaklumi korupsi mengingat korupsi bak candu yang menjadi motor penggerak politik (corruption is the way of doing politics). Dalam politik praktis yang abnormal tidak relevan membicarakan moral, etika, dan ideologi. Yang perlu diperhatikan adalah kesinambungan jalannya politik dan pemerintahan dengan memberikan kemanfaatan kepada semua pihak.
Korupsi bukanlah tindakan patologis. Ia selalu ada dalam setiap masyarakat. Bahkan dalam masyarakat tertentu adanya korupsi itulah yang membuat pemerintah tetap bisa memerintah dan tidak pecah belah.
Para politisi dapat menggunakan instrumen korupsi (money politics) untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan politik lintas suku, wilayah, elite, atau partai yang pada gilirannya dapat menciptakan keselarasan serta menghindari bahaya perpecahan dan permusuhan politik.
Pengalaman lampau Amerika Serikat menunjukkan korupsi mampu mendorong "mesin-mesin politik" untuk menghasilkan bukan saja perolehan suara, melainkan juga jasa-jasa publik. Oleh karena itu, menurut Left, munculnya korupsi di negara berkembang akan memiliki manfaat serupa dan memiliki prognosis baik yang sama.
Pada masa Orde Baru, pandangan yang menolak korupsi tidak memperoleh tempat. Pengalaman Orde Baru membuktikan bahwa korupsi telah ”diizinkan” sebagai mekanisme pertukaran antara birokrat dan rezim politik dan bermetamorfosis menjadi sistem pengelolaan kekuasaan negara.
Semua itu tampaknya terulang kembali. Elite korup yang menunjukkan loyalitas secara cepat dipromosikan ke jabatan tertentu yang lebih memperbesar kemungkinan pejabat memperkaya diri, tuan, dan jaringannya. Sementara pejabat publik yang memahami KKN sebagai ”penyimpangan” maka dihadapkan kepada dua pilihan: keluar secara total atau menjadi bagian dari sistem KKN (Cornelis Lay, 2006).
Hingga hari ini, tampaknya kumpulan oknum yang memaklumi dan membutuhkan ruswah inilah yang ikut melanggengkan korupsi. Bila demikian pekatnya, wajar muncul sikap pesimistis: mungkinkah retorika pemberantasan korupsi di negeri ini bisa segera terwujud? n
opini lampung post 3 mei 2010