02 Mei 2010

» Home » Kompas » Memuliakan Kehidupan Bangsa

Memuliakan Kehidupan Bangsa

Menurut sebuah aliran pedagogik, mendidik adalah upaya membimbing peserta didik untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan. Dalam kerangka ini, ada tiga tujuan yang harus dicapai para anak didik: kemampuan untuk dapat menghidupi diri sendiri, kemampuan untuk dapat hidup secara bermakna, dan kemampuan untuk dapat turut memuliakan kehidupan.
Untuk mencapai ketiga tujuan, para anak didik harus menjalani pendidikan yang berat. Mereka harus mengikuti program pendidikan yang mencakup tiga komponen utama: menguasai sejumlah pengetahuan, sejumlah keterampilan, dan memahami arti kearifan bagi kehidupan.
Kekuatan model pendidikan ini terletak pada prinsip bahwa ketiga tujuan harus dicapai bersamaan. Kemampuan menghidupi diri sendiri harus dilakukan dengan cara yang tidak mengurangi makna kehidupan pribadinya dan juga tidak merusak kemuliaan kehidupan itu sendiri, yakni martabat atau kemuliaan kehidupan masyarakat. Bagaimana caranya mendapatkan kecukupan tanpa menjadikan dirinya ejekan masyarakat dan tanpa membuat masyarakat tempat ia tinggal atau institusi tempat ia bekerja turut tercemar citranya? Ini tak mudah! Ini mengharuskan seluruh anggota masyarakat turut berpikir dan turut peduli terhadap tindakan setiap anggota masyarakat lainnya.


Model pendidikan ini juga melatih para anak didik untuk berpikir melalui alternatif-alternatif. Kalau suatu tindakan diperkirakan akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, harus dicari alternatifnya. Kalau melaksanakan suatu keputusan pemerintah melalui kekerasan ternyata menyengsarakan banyak orang, maka itu jelas bukan tidakan yang memuliakan kehidupan. Harus dicari alternatifnya dan bukan menggerutu, mengatakan bahwa masyarakat bodoh, dan mencampuradukkan persoalan.
Kelebihan lain ialah bahwa dalam model pendidikan ini para anak didik sejak dini dilatih berpikir reflektif. Melalui penjelasan-penjelasan tentang arti ”hidup yang bermakna” dan ”memuliakan kehidupan”, para anak didik sejak dini sudah dilatih untuk merenungkan makna, maksud, dan tujuan hidup dan kehidupan.
Apakah program pendidikan seperti ini tidak terlalu berat? Kalau kita bandingkan dengan program pendidikan yang selama ini kita laksanakan, memang program yang dianjurkan aliran pedagogik ini tampak berat. Namun, apakah model pendidikan yang kita laksanakan selama ini yang paling baik dan harus dilanjutkan?
Bahwa generasi dewasa yang sekarang ini banyak melakukan tindakan yang membuat hidup bangsa jadi kurang bermakna dan kurang mulia menunjukkan ada sesuatu yang kurang benar dalam tradisi pendidikan bangsa kita selama ini. Kita harus mengoreksi kalau kita menginginkan terwujudnya kehidupan bangsa yang lebih mulia dan dihormati dunia.
Kehidupan bangsa dewasa ini
Dapatkah kehidupan kita sekarang ini disebut ”kehidupan yang mulia” (a noble life)? Saya rasa tidak, atau paling tidak belum! Masih terlampau banyak noda kehidupan yang memalukan dalam diri kita. Korupsi, kesewenang-wenangan, penyalahgunaan kekuasaan merupakan sedikit contoh dari sifat-sifat bangsa yang tidak mulia ini. Memuliakan kehidupan bangsa mengandung perintah (imperatif) untuk membuang sifat-sifat ini dan menggantinya dengan ciri-ciri kehidupan yang lebih utama, lebih mulia. Usaha memberantas kemiskinan adalah suatu contoh dari upaya memuliakan kehidupan bangsa ini. Begitu pula usaha memberantas korupsi dan melawan kesewenang-wenangan aparatur pemerintah.
Sungguh sayang, usaha-usaha ini hingga kini belum memperlihatkan hasil yang nyata. Beberapa usaha bahkan ”menguap” menjadi slogan kosong belaka. Kita perlu bertanya, apa yang menyebabkan kegagalan total dari upaya-upaya yang mulia ini. Ketidakpahaman akan sifat masalah yang kita hadapi? Atau tidak adanya niat yang sungguh-sungguh ketika merancang dan merumuskan berbagai program? Ataukah program-program itu diciptakan sekadar untuk kosmetik politik, tanpa niat untuk benar-benar melaksanakannya?
Dalam hubungan ini perlu kita sadari bahwa sifat-sifat negatif bangsa yang melekat pada diri kita ada yang tampak mudah dan sederhana, tetapi banyak juga yang sejak semula sudah kelihatan sangat kompleks dan tidak mudah. Di samping itu, masalah-masalah yang merusak citra kita sebagai bangsa juga memiliki akar persoalan yang berbeda-beda. Memberantas korupsi dan memberantas arogansi birokrasi, misalnya, merupakan dua soal yang berbeda dan oleh karena itu cara memberantasnya pun harus berlainan.
Kalau memberantas korupsi—atau setidaknya menguranginya—dapat dilakukan dengan langkah-langkah hukum, maka arogansi birokrasi saya kira tidak dapat diberantas melalui hukum. Kritik publik lebih efektif untuk memerangi arogansi birokrasi daripada hukum.
Memuliakan kehidupan bangsa tidak harus selalu berupa langkah menghapus yang buruk dan mengganti dengan yang lebih baik. Yang lebih mulia lagi ialah langsung menciptakan yang indah yang langsung dapat dinikmati banyak orang. Pelukis-pelukis adalah orang yang secara langsung memuliakan kehidupan bangsa. Begitu pula para sineas dari almarhum Usmar Ismail sampai ke Garin Nugroho dan Riri Reza sekarang ini adalah tokoh-tokoh yang berhasil memuliakan kehiduan bangsa, sekaligus menemukan kehidupan yang bermakna dan berhasil menghidupi diri sendiri.
Kalau dalam masyarakat terdapat anggota yang berhasil memuliakan kehidupan bangsa dan sekaligus mengembangkan kehidupan yang bermakna dan menghidupi diri sendiri, mengapa usaha-usaha pemerintah untuk turut memuliakan kehidupan bangsa tidak berhasil?
Salah satu sebab menurut pendapat saya ialah penyakit yang bernama ”arogansi birokrasi”. Kerusuhan di Koja, Jakarta Utara, baru-baru ini, merupakan salah satu contoh penyakit ini. Dan, penyakit ini muncul lagi dalam pernyataan beberapa pejabat bahwa rakyat salah besar menghubung-hubungkan masalah penertiban lingkungan dengan sebuah makam. Ini ucapan yang jelas memperlihatkan tak adanya kemampuan—dan mungkin sekali juga tak adanya kesediaan—memahami persepsi masyarakat.
Selama antara pemerintah dan masyarakat tidak terdapat pendekatan mengenai masalah ini, selama itu pula kekisruhan seperti yang terjadi di Koja akan terulang kembali. Kalau tidak di Jakarta, bentrokan ini akan muncul di tempat lain. Dan, kehidupan bangsa yang mulia tidak akan pernah terwujud di Tanah Air tercinta ini.
Mochtar Buchori Pendidik

Opini Kompas 3 Mei 2010