Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan permohonan judicial review UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Dalam judicial review
tersebut, Bawaslu memohon kepada MK untuk menilai apakah Pasal 93, Pasal 94 ayat 1, 95 ayat 2, Pasal 111 ayat 3, dan Pasal 112 ayat 3 UU Nomor 22 Tahun 2007 bertentangan atau tidak dengan konstitusi, khususnya Pasal 22E ayat 5 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Bawaslu menilai pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tersebut dapat mengganggu kemandirian Bawaslu (termasuk Panwaslu di daerah) dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas pemilu. Dalam Pasal 93, Pasal 94 ayat 1, dan 95 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2007 diatur tentang mekanisme pembentukan panwaslu di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan yang mengharuskan adanya keterlibatan KPUD dalam tahap seleksi awal sebelum finalisasinya diserahkan kepada Bawaslu. Sementara dalam pasal 111 ayat 3 dan Pasal 112 ayat 3 UU No 22 Tahun 2007 ditegaskan tentang komposisi anggota badan kehormatan yang dibentuk guna menangani berbagai kasus pelanggaran administrasi pemilu berjumlah lima orang yang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota KPU/D dan 2 (dua) orang anggota Bawaslu/panwaslu. Klausul ini dinilai Bawaslu berpotensi sebagai alat proteksi KPU/D terhadap rekan-rekannya yang diduga melakukan pelanggaran kepemiluan. Dalam putusannya, MK menilai Pasal 93, Pasal 94 ayat 1, dan Pasal 95 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2007 bertentangan dengan asas kemandirian penyelenggara pemilu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22E ayat 5 UUD 1945. Sementara terkait dengan komposisi badan kehormatan dalam Pasal 111 ayat 3 dan Pasal 112 ayat 3 UU tersebut, MK berpendapat tidak bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK tersebut tidak hanya menghasilkan pergeseran norma dalam UU No 22 Tahun 2007 yang mesti segera diubah, tapi juga menghasilkan pola mekanisme baru pembentukan panwas di daerah yang semata-mata dilakukan oleh Bawaslu, tanpa keterlibatan KPUD. Putusan itu sekaligus memberi pernyataan bahwa 192 panwas pilkada telah dibentuk oleh Bawaslu beberapa bulan sebelumnya, tanpa proses seleksi oleh KPUD sah secara hukum.
Tradisi baru
Putusan MK kali ini merupakan tradisi baru dalam ketatanegaraan kita. Tradisi baru itu muncul karena dua hal. Pertama, MK dalam perkara judicial review UU Nomor 22 Tahun 2007 bukan hanya memeriksa dan memutus apakah klausul dalam UU tersebut sesuai atau bertentangan dengan UUD, tapi telah masuk dalam hal yang amat praktis terkait dengan polemik pembentukan 192 panwas pilkada di seluruh Indonesia yang dibentuk 'sepihak' oleh Bawaslu, tanpa melibatkan KPUD. Kedua, MK telah secara berani menyatakan suatu perbuatan yang awalnya dilakukan dengan cara melanggar ketentuan UU, tapi belakangan dinyatakan sah dan kostitusional. Perbuatan 'melanggar' UU tersebut adalah sikap Bawaslu yang menetapkan secara sepihak panwaslu yang bertugas pada saat pileg dan pilpres menjadi panwas pilkada, tanpa melibatkan KPUD dalam proses rekrutmennya. Padahal pada saat pembentukannya, dasar hukum yang mengatur mekanisme itu jelas memerintahkan adanya keterlibatan KPUD untuk melakukan seleksi awal calon anggota panwaslu sebelum diseleksi lebih lanjut dan ditetapkan oleh Bawaslu. Gaya putusan MK kali ini berbeda jauh dengan putusan-putusan MK sebelumnya, terutama dalam konteks yang kedua, yaitu keberanian MK melegalkan suatu perbuatan yang semula ilegal menjadi sah dan konstitusional. Sebagai perbandingan, pada saat diajukan judicial review terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan tertutupnya pintu bagi calon perseorangan untuk maju dalam pilkada. Tidak ada satu pun warga negara yang berani mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah dari jalur perseorangan sebelum adanya putusan MK dan perubahan norma dalam UU dimaksud.
Jika dianalogikan, dalam kasus putusan MK tentang mekanisme pembentukan panwaslu, semestinya sebelum dimintakan judicial review UU Nomor 32 Tahun 2004 ada seorang atau beberapa warga negara yang mendaftarkan diri ke KPUD sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dari jalur perseorangan yang pada saat itu dilarang. Lalu atas adanya larangan itu, warga negara yang bersangkutan meminta pendapat MK yang di kemudian hari melegalkan adanya jalur perseorangan karena dianggap konstitusional.
Rawan penyalahgunaan
Gaya putusan MK seperti ini, selain melahirkan ijtihad baru dalam ketatanegaraan kita, dapat dijadikan jalan keluar bagi berbagai kasus ketatanegaraan yang pelik dan menemukan jalan buntu. Di pihak lain gaya putusan MK kali ini justru rawan penyalahgunaan perbuatan 'pelanggaran UU' oleh warga negara dan/atau badan hukum publik lainnya di kemudian hari.
Ke depan, bukan tidak mungkin ada warga negara dan/atau badan hukum publik yang terlebih dahulu melakukan perbuatan pelanggaran UU, kemudian baru meminta pendapat MK untuk menilai apakah perbuatannya bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Jika MK menyatakan perbuatannya konstitusional, warga negara dan/atau badan hukum publik tersebut dapat meneruskan 'perbuatannya' itu. Sebaliknya, jika dinyatakan inkonstitusional oleh MK, sebelum putusan MK keluar, mereka dapat berkilah bahwa perbuatannya sedang diuji oleh MK dan tak ada satu pihak pun yang dapat menyatakan benar atau salahnya perbuatan itu, kendati telah melanggar UU yang ada. Jika hal ini terjadi, tafsir konstitusional MK kali ini perlu diapresiasi, sekaligus mengundang kekhawatiran akan hadirnya krisis ketatanegaraan akibat (akan) lahirnya keberanian berbagai pihak melanggar norma UU sebelum dimintakan pendapat oleh MK.
Oleh M Rifqinizamy Karsayuda, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
Opini Media Indonesia 06 April 2010