05 April 2010

» Home » Kompas » Otonomi Abu-abu Membelenggu

Otonomi Abu-abu Membelenggu

Guna mengejar surplus beras 2 juta ton, sejak tahun 2008 Pemprov Sulawesi Selatan mematok produksi 2,938 juta ton beras. Kelebihan produksi lebih dari 2 juta ton beras jelas membutuhkan pasar baru yang dapat memperbaiki pendapatan petani.
Maka, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) pun menjajaki peluang ekspor beras ke Malaysia. Dengan harga pasaran beras rata-rata Rp 10.000 per liter, jelas Malaysia pasar yang menjanjikan. Upaya pemprov bak gayung bersambut karena Malaysia pun tertarik. Namun, hingga awal tahun 2010, tak sebutir beras pun terekspor lantaran pemerintah pusat melarang ekspor itu. Larangan itu terasa aneh bagi petani.

 

”Saya pernah jadi TKI ilegal di Malaysia tahun 1980-an. Saat itu, harga beras di Malaysia dua kali lipat harga beras di Sulsel. Jika ekspor bisa memperbaiki harga jual petani, mengapa tidak dilakukan? Daripada kondisi petani seperti ini terus,” ujar Syarifuddin Daeng Sewang (46), petani di Bajeng, Kabupaten Gowa, Sulsel.
Pahitnya hidup petani Sulsel di tengah potensi pertanian yang begitu besar adalah bagian dari getirnya nasib anak negeri di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail mengungkapkan, kondisi serupa juga dialami para peternak sapi di daerahnya.
”Ketika Malaysia meminta sapi Gorontalo diekspor ke Malaysia, kami justru dilarang mengekspor oleh pemerintah pusat. Padahal, kalau dijual ke Surabaya, sapi Gorontalo dibeli dengan harga murah. Membangun daerah seharusnya dimulai dengan membangun pasar. Jika tidak, mau dijual di mana komoditas daerah yang dihasilkan rakyat kami? Ketika ada pasar dengan harga yang lebih baik di Malaysia, pemerintah pusat tetap melarang,” papar Gusnar.
Provinsi-provinsi di KTI membutuhkan perbaikan pendapatan warganya demi memajukan kawasan itu. Sementara pemerintah pusat merasa perlu mengamankan ketahanan pangan nasional dan memproteksi keanekaragaman hayati Indonesia. Kasus ”pementahan” kebijakan pemerintah daerah di KTI oleh pemerintah pusat bukan hanya dalam soal ekspor komoditas pangan.
Kasus serupa juga terjadi ketika Papua ”menggugat” pengusahaan hutan Papua yang tidak menyejahterakan rakyatnya. Pada 2007, Gubernur Papua Barnabas Suebu mengajak Gubernur Papua Barat Abraham O Aturury membuat kebijakan terobosan, yaitu melarang kayu gelondongan keluar dari Papua.
Dasar kebijakan itu sesungguhnya kuat. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua memberikan kewenangan regulasi kehutanan di Papua kepada pemprov selaku pelaksana otonomi khusus. Namun, yang terjadi justru polemik antara kedua gubernur dan Menteri Kehutanan yang menganggap kebijakan itu melampaui wewenang kedua gubernur.
”Padahal, kami tidak ingin melarang kayu keluar dari Papua. Yang kami inginkan adalah para pengusaha HPH membuka industri pengolahan kayu di Papua sehingga pertambahan nilai kayu di Papua dinikmati masyarakat pemangku hak ulayat hutan yang ditebang. Dengan industri kayu di Papua, masyarakat bisa menerima pendapatan yang lebih baik,” kata staf khusus Gubenur Papua, Agus Sumule.
Terbentur aturan
Keinginan daerah mempercepat perbaikan infrastruktur KTI pun sering terbentur aturan. Wali Kota Ambon MJ Papilaja mengeluhkan sulitnya Pemerintah Kota Ambon membenahi karut-marut urusan kepelabuhanan di Ambon.
”Maluku itu kawasan kepulauan dan urusan perhubungan laut penting bagi kami. Namun, kami tidak diberi wewenang apa pun untuk masuk dalam urusan itu. Berulang kali kami mencoba mengambil peran dalam urusan kepelabuhanan, tetapi selalu ditolak,” tutur Papilaja.
Upaya pemerintah daerah di KTI menggenjot investasi asing pun terkendala sejumlah aturan. Pemerintah daerah acap kali harus turun tangan membantu investor mengurus perizinan di tingkat pusat.
”Ada begitu banyak izin yang harus diperoleh investor, dengan begitu banyak instansi pemberi izin,” kata Sumule. Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Badrul Munir mengingatkan, kondisi itu akan menyulitkan KTI membangun kawasannya. Ia mengkritik ”pertikaian” pendekatan pembangunan berdimensi sektoral dengan pendekatan pembangunan berdimensi regional.
”Sampai hari ini pembangunan spasial tidak sinergis dengan perencanaan pembangunan nonspasial, yang terjadi justru pertentangan. Kementerian merencanakan pembangunan dengan kacamata sektor, sementara daerah membangun dengan kacamata regional. Daerah hanya dimanfaatkan sebagai lokasi proyek sektoral. Akibatnya pembangunan yang dilakukan tidak memberi manfaat optimal kepada wilayah,” ungkap Badrus.
Harus diakui, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal telah memacu percepatan pembangunan KTI dengan menyinergikan perencanaan pembangunan di tingkat pusat dan memperbesar alokasi anggaran bagi KTI. Wajar saja, karena dari 183 kabupaten/kota tertinggal di seluruh Indonesia, 128 kabupaten/kota berada di KTI.
Masalahnya, percepatan pembangunan KTI tidak hanya membutuhkan uang dan rancangan kebijakan sektoral kementerian, tetapi juga kerelaan pemerintah pusat mendengarkan pemerintah daerah di KTI. Itu mengapa Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sulsel Tan Malaka Guntur bersuara keras. Ia menegaskan, akan memperjuangkan usulan-usulan daerah KTI dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional.
Ia dan koleganya di KTI mengancam menolak menandatangani perencanaan nasional jika hal itu tidak membangkitkan KTI. Ancaman itu tentu harus dianggap serius. Sebab, wilayah KTI meliputi 62 persen wilayah RI.

Opini Kompas 6 April 2010