05 April 2010

» Home » Media Indonesia » Konsolidasi Tersandung Pajak

Konsolidasi Tersandung Pajak

Media Indonesia mengangkat headline masalah pajak dengan judul 'Negara Kalah Telak 1-4 di Pengadilan Pajak' (30/3/2010). Editorial melengkapi berita utama dengan tajuk soal gerakan boikot pajak di Facebook sebagai wujud kekecewaan pihak wajib pajak terhadap perlakuan negara yang tak adil. Sebagian orang dipaksa membayar pajak secara rutin dan jujur, sedangkan sebagian lain dibiarkan lalai karena simbiosis mutualisme berbentuk penyuapan. Makanya, ada pegawai pajak pangkat rendah yang memiliki rekening senilai Rp25 miliar. Itu membuat Gayus Tambunan (GT) menjadi fenomenal. Tapi, apakah GT sendirian?
Jika melihat model penegakan hukum yang belum komprehensif, sepertinya GT hanyalah puncak gunung es. Ia bukan fenomena tunggal, melainkan cermin dari masalah sistemis yang lebih kompleks. Menyelesaikan perkara penegakan hukum macam ini tak cukup dengan Satgas Pemberantasan Antikorupsi. Yang dibutuhkan ialah komitmen total dari pemerintahan politik untuk benar-benar menegakkan prinsip pemerintahan bersih. Sebab, keberhasilan pemberantasan korupsi tak dilihat dari berapa kasus yang terungkap, tetapi dilihat dari seberapa kuat motivasi dan keteguhan moral penyelenggara kekuasaan dalam memerangi korupsi itu sendiri.
Implikasinya, kita tidak bisa melihat masalah korupsi, penyuapan, dan abuse of power dalam konteks luas, secara partikular. Selain karena pola pandang parsial macam itu tidak efektif menyelesaikan masalah secara keseluruhan, juga karena model pendekatan solutif demikian rentan dijadikan komoditas politik. Komoditas dalam pengertian, kasus korupsi dijadikan alat pengalihan wacana politik atau modal untuk menaikkan popularitas pemerintah. Membangun pemerintahan kuat dan bersih tak bisa dilandaskan pada kinerja politik macam itu.


Pada garis ini, kita perlu berbalik pada tesis tua O’Donnell dan Schmitter (1986), bahwa konsolidasi demokrasi selalu melewati tiga tahap penting. Pertama, reformasi konstitusi. Itu sudah kita lakukan dengan empat kali (1999, 2000, 2001, 2002) amendemen UUD 1945 dan dengan disahkannya berbagai undang-undang dan peraturan yang mendukung cita-cita amendemen. Kedua, membangun institusi demokrasi yang kuat. Kita sudah memiliki berbagai institusi tambahan seperti KPK dan BPK. Belum lagi berbagai elemen masyarakat sipil tumbuh dengan tujuan mendorong terbentuknya pemerintahan demokratis yang bersih dan kuat. Ketiga, penegakan hukum. Indikator kemajuan konsolidasi demokrasi dilihat dari aspek ini.
Rupa-rupanya di sini kita gagal. Penegakan hukum berjalan, tetapi tidak komprehensif dan menyeluruh. Upaya pemberantasan korupsi masih bersifat parsial, bahkan politis. Setidaknya itu yang terbaca selama ini dengan bebasnya sejumlah pengemplang pajak besar, kaburnya penyelesaian hukum dan politik skandal Century, dan berbagai kasus lain seperti penyuapan politik.
Studi Indonesia Corruption Watch (ICW), yang dikutip Media Indonesia, memperlihatkan posisi lemah negara dalam menangani masalah pajak. Bagaimana tidak, dalam kurun delapan tahun (2000-2008), 80% persidangan kasus pajak dimenangi oleh pihak wajib pajak. Rasio 1:4 menggambarkan kekalahan telak negara dalam upaya penegakan hukum di bidang perpajakan. Kita belum bicara dalam kasus lain. Dalam kondisi negara macam ini, sulit mengharapkan konsolidasi demokrasi berhasil dalam waktu dekat, walaupun lembaga dunia seperti Freedom House di Washington sudah sejak tahun 2004 memuji kita dengan menempatkan Indonesia dalam wilayah hijau dalam peta kebebasan dunia. Artinya, hak politik dan kebebasan sipil sudah terjamin di negara ini. Apa makna semua itu ketika sebagian terbesar energi negara terbuang sia-sia untuk mencuci piring kotor, sedangkan pembangunan manusia seutuhnya belum teragendakan secara matang?
Lantas apa yang harus dilakukan dalam situasi macam ini? Sebagai usulan, ada beberapa agenda yang perlu dipikirkan. Pertama, penegakan hukum dipisahkan dari agenda politik kekuasaan. Ini langkah paling mendasar. Supaya tidak ada tebang pilih dalam pemberantasan mafia pajak atau kasus apa pun. Selama ini, matematika politik belum bisa dibuang dalam menentukan rumus penyelesaian masalah hukum. Itu sebabnya, pengemplang pajak dari partai besar sulit diproses secara hukum, setidaknya tak semudah pegawai rendahan seperti Gayus Tambunan yang dikejar tanpa beban. Kelihatannya, pemerintah masih berpikir dari aspek kekuasaan murni sehingga masalah Aburizal Bakrie sampai sekarang belum jelas penyelesaiannya. Dengan akal sehat saja, kita bisa menebak bahwa posisi Golkar yang cukup strategis di parlemen menjadi determinan dari keruwetan penegakan hukum dalam kasus pajak Bakrie.
Meski tak bermaksud memastikan bahwa pemerintah takut dengan Golkar, yang jelas, Golkar tak bergantung pada figur seorang ketua umum. Golkar berbeda dengan PDI Perjuangan yang kalau Megawati bukan ketua umum dalam situasi sekarang, amat mungkin partai ideologis ini kehilangan ideologinya lalu berkoalisi dengan Demokrat, seperti rumor yang dilekatkan pada pribadi Taufik Kiemas belakangan. Golkar sudah menjadi partai modern. Apa pun yang terjadi pada ketua umumnya, Golkar tetap berdiri tegak karena tak sedikit figur potensial bisa memulihkan posisi kelompok politik, yang sejak fusi tahun 1973 selalu menjadi pemenang dalam tujuh pemilu Orde Baru.
Kedua, pemberantasan korupsi dilakukan secara sistemis. Untuk itu, perlu diterapkan asas pembuktian terbalik terhadap seluruh pejabat publik yang menerima gaji dan fasilitas dari negara. Siapa pun pejabat publik yang diduga memiliki kekayaan dalam jumlah besar selama menjabat, perlu dilakukan pembuktian terbalik. Jumlah kekayaannya ditelusuri dan sumber-sumbernya pun diusut. Jika ada kejanggalan, segera diproses secara hukum. Selama ini KPK cenderung pasif, menunggu laporan dari masyarakat. Padahal, KPK dituntut proaktif, tak sekadar reaktif. Yang menjadi prioritas ialah petinggi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan birokrat secara umum. Terhadap empat komponen ini seharusnya diterapkan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang mereka miliki.
Ketiga, koordinasi pemerintah dan masyarakat sipil perlu dibangun dalam pola kerja yang terorganisasi dan sistematis. Sebagai contoh, ICW bisa diajak bekerja sama dengan Satgas Pemberantasan Antikorupsi, bentukan lembaga kepresidenan dalam mengusut berbagai dugaan korupsi, termasuk dan terutama dalam menemukan jejak-jejak penilapan uang negara dan penyalahgunaan wewenang di berbagai institusi publik.
Keempat, perlunya perlindungan hukum yang jelas terhadap warga masyarakat yang rela menjadi peniup peluit. Sering kali yang selama ini dirasakan, individu takut melaporkan kejahatan korupsi yang dilakukan bupati, wali kota, atau gubernur di daerahnya karena tak jelasnya perlindungan hukum. Ketika mendatangi Kabupaten Manggarai di NTT, saya mendapat laporan dari banyak tokoh masyarakat tentang dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Kristian Rotok, terutama terkait pertambangan mangan di bagian utara wilayah itu. Mereka mengaku tak berani melapor ke KPK karena rapuhnya perlindungan hukum terhadap mereka. Kiranya dukungan politik terhadap warga yang memiliki kesadaran moral diperlukan untuk membangun pemerintahan bersih, mulai dari daerah sampai ke pusat.
Kelima, koordinasi harus jelas antara KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Satgas Pemberantasan Antikorupsi. Belakangan, Satgas lebih dominan. Padahal, Satgas dibentuk oleh lembaga kepresidenan dan posisinya tidak lebih tinggi dari KPK yang merupakan lembaga independen. Satgas bekerja untuk pemerintah dan tentu saja bermaksud membangun dan mempertahankan citra pemerintah di mata khalayak politik. Ke depan, boleh jadi mimpi buruk tentang pemberantasan korupsi sebagai komoditas politik bisa menjadi kenyataan.
Misi pemberantasan korupsi hari ini ialah melanjutkan agenda konsolidasi yang belum selesai. Konsolidasi masih tersandung oleh penegakan hukum yang tidak kuat dan belum komprehensif. Untuk itu, perlu komitmen moral dan kemauan politik dari seluruh elemen pemegang kekuasaan untuk melanjutkan konsolidasi demi demokratisasi an sich, bukan demi kelanggengan status quo. ***

Oleh Boni Hargens, Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
Opini Media Indonesia 06 April 2010