05 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Markus Wilayah Abu-abu UU Pajak

Markus Wilayah Abu-abu UU Pajak

TERBONGKARNYA praktik makelar kasus (markus) pajak yang melibatkan aparat Ditjen Pajak di Jakarta, membuka mata masyarakat bahwa kewajiban pajak dapat direkayasa dengan jalan belakang melalui perantaraan makelar.

Keterlibatan para makelar itu tidak hanya di lembaga pengadilan dan kejaksaan yang sudah dimafhumi masyarakat, tetapi juga merambah berbagai lembaga birokrasi lainnya tidak terkecuali di Ditjen Pajak yang sangat percaya diri dan membanggakan bahwa melalui reformasi birokrasi, dan remunerasi yang memberikan gaji, berbagai tunjangan/insentif eksklusif kepada jajarannya.


‘’Tertangkapnya’’ Gayus Tambunan yang memiliki simpanan lebih dari Rp 24 miliar dan properti mewah lainnya yang tidak mungkin dapat diperoleh pegawai negeri biasa sampai pensiun, merupakan momen yang tidak boleh dilewatkan oleh bangsa Indonesia jika berniat memiliki pemerintahan yang bersih dan sejahtera untuk diwariskan kepada anak cucu.

Inilah saatnya membuka kotak pandora borok para tikus-tikus beserta jaringannya, yang menggerogoti seluruh sendi kehidupan negeri ini sehingga sulit bangkit dari keterpurukan, kemiskinan, penderitaan, dan ketidakadilan sosial .

Pajak menjadi sumber penerimaan kas negara (fungsi budgeter), yaitu fungsi yang diperlukan demi kelanjutan atau kehidupan negara. Pajak hakikatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, merupakan sumber pendapatan utama negara selain sumber daya alam. Melalui penerimaan yang diperoleh dari pajak inilah, negara melangsungkan kegiatan pembangunan yang akan menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya.

Karena fungsi pajak yang sangat strategis inilah, aparat pajak sebagai satu-satunya lembaga eksekutif yang memperoleh hak monopoli pemungutan dan penagihan pajak. Rochmat Soemitro, pakar hukum pajak menyebutnya sebagai kedaulatan perpajakan (belasting souvereigniteid), bahkan juga wewenang paksaan fisik, seperti penyanderaan (gizjeling) kepada wajib pajak yang tidak taat dan mau mengemplang pajak.

Aparat pajak (fiskus) oleh undang-undang pajak diberi kewenangan eksklusif, kalau tidak mau dikatakan sangat istimewa, untuk menagih pajak, mulai penerbitan surat paksa yang dari karakteristiknya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach van gewizjde), hingga pada ancaman penyanderaan (gizjeling) kepada wajib pajak yang membandel. Semua bentuk kewenangan aparat pajak ini merupakan gabungan bentuk kewenangan yang hanya dimiliki oleh institusi legislatif dan yudikatif.

Akan Merajalela

Praktik konsentrasi kekuasan yang terjadi di institusi perpajakan semacam inilah yang pernah dikhawatirkan oleh  pemikir politik klasik Montesquieu, yang pernah menyatakan bahwa, korupsi terjadi ketika tiga cabang kekuasaan negara ini disatukan. Begitu pula ia pernah menyatakan bahwa kecenderungan praktik korupsi aparat birokrasi akan merajalela jika pembuat aturan (legislator), pelaksana aturan hukum, dan penegak hukum tidak dipisahkan dan menyatu dalam diri seorang penguasa lalim.

Kelemahan UU pajak, kekosongan hukum, dan adanya diskresi wewenang yang besar yang diberikan kepada aparat pajak merupakan ladang subur bagi pihak-pihak yang mau menangguk keuntungan pribadi dan memperkaya diri dengan menyiasati melalui penghindaran pajak, memanipulasi data, dan kewajiban pajak.

Meskipun telah beberapa kali direvisi, banyak grey area (wilayah abu-abu) dalam pasal-pasal UU perpajakan. Loopholes ini bukan disengaja oleh pembuat UU pajak, melainkan memang itulah sifat dari UU.  Dalam hukum administrasi, fleksibilitas yang diberikan UU ini dikenal sebagai kebebasan bertindak (freiess ermessen) diperlukan oleh lembaga eksekutif untuk menyelesaikan pemasalahan konkret yang terjadi di masyarakat.

Melalui diskresi yang dimiliki aparat pajak dalam pengambilan keputusan inilah, peluit permainan dimulai antara aparat pajak dan pengusaha nakal yang ingin memperoleh keuntungan dengan tidak membayar pajak, mengatur pengurangan pajak, dan memanipulasi data pajak sehingga ia dapat bebas dari kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan.

Ada beberapa titik lemah dan grey area yang menjadi area tawar-menawar, yaitu melalui tarik ulur pada saat penagihan pajak, melakukan negosiasi dengan melalui jalur keberatan, banding, gugatan hingga peninjauan kembali (PK). Pada wilayah inilah, kontak mulai terjadi antara aparat pajak, aparat penegak hukum dan konsultan/ pengacara yang mendampingi wajib pajak.

Wilayah lain yang lebih tidak kentara dan memerlukan kecerdasan khusus yang dapat menjadi ajang permainan markus pajak adalah loopholes yang ada pada UU pajak. Revisi yang terus-menerus terhadap UU Pajak tidak boleh berhenti, partisipasi dan pengawasan publik diperlukan untuk mengawal proses perancangan  dan perubahan UU pajak yag berpihak pada kesejahteraan masyarakat. (10)

— FC Susila Adiyanta, dosen hukum pajak pada Fakultas Hukum Undip, sedang menyelesaikan studi S3

Wacana Suara Merdeka 6 April 2010