05 April 2010

» Home » Kompas » Ironi Nelayan di Gudang Ikan

Ironi Nelayan di Gudang Ikan

Fatimah (48) dan Indra (28) masih menekuni ikan teri yang menggunung di halaman rumah mereka di sudut Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara. Tangan kedua perempuan itu cekatan memilah ikan-ikan teri sesuai ukuran dan jenisnya.
Mereka berlomba dengan waktu, mengejar pembukaan keran pembelian dari tiga perusahaan penampung yang ada.
Setiap musim teri, para nelayan di Desa Satehan, Kei Kecil, Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, kebanjiran panenan. Mereka beradu cepat menjual hasil panenan karena perusahaan penampung terbatas kemampuan serapnya. Jika telat, mereka terpaksa menjual ke pasar dengan harga murah. Bahkan, sering harus dibuang karena rusak.

 

Bagi warga kepulauan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), pasar ikan teri sebenarnya cukup menjanjikan karena Jepang, China, Singapura, dan Malaysia siap menampung. Namun, ada standar mutu supaya bisa menembus pasar ekspor. Di sinilah pemerintah seharusnya memainkan peran untuk meningkatkan kemampuan nelayan mengolah ikan teri.
Pemerintah juga diharapkan aktif mengintervensi dengan membuka peluang pasar. Jika tidak dibuka pasar yang lebih luas, harga akan anjlok setiap panen.
Kondisi nelayan di Tual dan Maluku Tenggara merupakan ironi di balik citra kedua daerah itu sebagai pusat perikanan tangkap di KTI. Nelayan lokal tidak mampu memanfaatkan potensi ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Arafura dan WPP Laut Banda yang mencapai 1,04 juta ton per tahun. Akibatnya, hanya perusahaan-perusahaan besar yang bisa berpesta di gudang cakalang dan tuna itu.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara, pada 2008, 83 persen atau 5.351 unit alat tangkap adalah perahu tanpa motor. Perahu motor tempel terdata 906 unit dan kapal motor 153 unit. Eugene Renyaan, Direktur Politeknik Perikanan Tual, menilai, potensi perikanan di Tual dan Maluku Tenggara belum bisa menyejahterakan masyarakat. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program kerja dan pemberdayaan nelayan.
Kondisi serupa terjadi di Gorontalo. Gudang ikan di sana meliputi WPP Teluk Tomini sampai Laut Seram dan WPP Laut Sulawesi sampai Samudra Pasifik. Potensi ikan jenis pelagis dan demersal diperkirakan mencapai 1,226 juta ton per tahun.
Namun, potensi perikanan tangkap baru termanfaatkan 62.921 ton dengan nilai Rp 535,6 miliar. Jumlah kapal penangkap ikan pada 2008 yang berlabuh di tempat pelelangan ikan (TPI) dan pelabuhan pendaratan ikan (PPI) hanya 446 unit. Sebagian besar perahu berbobot kurang dari 5 ton, yaitu 351 unit, kapal berbobot 5-10 ton ada 66 unit, dan kapal berbobot 10 ton ke atas hanya 29 unit.
Inisiatif daerah
Selain kendala alat tangkap, keterampilan menangkap ikan juga jadi masalah. Kondisi ini diatasi oleh sejumlah wilayah di KTI dengan melakukan transmigrasi bahari. Nelayan dari Jawa dan Bali diangkut ke KTI untuk mengeksploitasi potensi ikan. Para nelayan di Morotai, Maluku Utara, yang berada di bibir Pasifik, meminta pemerintah daerah menunda transmigrasi bahari.
Mereka ingin penguatan kapasitas nelayan lokal dengan bantuan alat tangkap dan keterampilan. Mereka sadar tidak mampu bersaing dengan nelayan berpengalaman dari Jawa dan Bali.
Sudirman Saad, Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengakui ketertinggalan sektor perikanan kelautan di KTI. Padahal, potensi perikanan tangkap dan budi daya sangat besar. KTI akan menjadi fokus pengembangan karena di Jawa dan Sumatera sudah melebihi kapasitas tangkap.
Pengembangan KTI itu untuk mengejar target Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar pada 2015. Sudirman mengakui target ini berat, tetapi bisa dilakukan. Jika dibandingkan dengan Thailand yang produksi per tahun menembus 40 juta ton, Indonesia baru 8 juta ton.
Langkah utama yang akan digulirkan adalah membangun minapolitan di 11 WPP. Di dalamnya ada program penambahan 1.000 kapal penangkap ikan berbobot 30 ton ke atas pada 2011. Kapal ini akan dimiliki oleh koperasi atau kelompok nelayan. Penambahan kapal ini diikuti pembangunan industri pengolahan ikan sehingga nelayan memiliki nilai tambah. Jika minapolitan berhasil, pada 2015 Indonesia ditargetkan surplus ikan 3,57 juta ton.
Perluasan pasar didorong melalui pembangunan sentra-sentra ekspor supaya tidak bergantung pada Surabaya. Sudirman mencontohkan, biaya pengiriman produk perikanan dari Makassar ke Surabaya lebih mahal dibandingkan Surabaya-Tokyo. Ekonomi berbiaya tinggi itu akan diatasi dengan tiga pelabuhan ekspor, yakni di Makassar, Bitung, dan Ambon.
Zulkarnaen Arief, Ketua Kamar Dagang dan Industri Sulawesi Selatan, menilai, penambahan 1.000 kapal dipastikan gagal jika tidak dikelola dengan pola baru. Bantuan alat tangkap berulang kali dilakukan, tetapi selalu gagal karena nelayan dibiarkan jalan sendiri. Nelayan juga membutuhkan keberpihakan regulasi seperti depo-depo minyak subsidi. Wim Poli, Dosen Sosial Politik Universitas Hasanuddin, menilai bahwa pemerintah harus mengakhiri mentalitas merasa pintar dan rakyat bodoh. Rakyatlah yang tahu apa yang dibutuhkan dan sesuai dengan karakter daerahnya.
Mukhtar Adam, Dosen Universitas Sultan Khairun Ternate, menegaskan, program pemerintah selalu terkesan menjanjikan bagi warga KTI. Namun, implementasinya sering jauh dari harapan karena minimnya pengawasan. Orientasi pembangunan KTI sudah saatnya dilihat dari kacamata timur.

Opini Kompas 6 April 2010