12 April 2010

» Home » Lampung Post » Setop Korupsi! Atau...

Setop Korupsi! Atau...

Farid
Praktisi HRD di sebuah perusahaan di Jakarta dan Sapta Consultan di Bandar Lampung
Setop Korupsi! Konon itulah tulisan yang terpampang di kaca belakang mobil seorang pengacara yang tertangkap tangan oleh KPK ketika menyuap seorang hakim tinggi PTUN di Jakarta. Tersita uang kumal sejumlah Rp300 juta yang dibungkus dengan plastik--yang juga menurut media--kumal. Hebatnya lagi, transaksi dilakukan di pinggir sungai!
GT, seorang pegawai kantor pajak golongan III/a berusia 30 tahun, baru lima tahun bekerja dengan pendapatan total Rp12 juta per bulan, dengan sangat menakjubkan memiliki uang sebanyak Rp28 miliar di rekeningnya. Rumah mewahnya berharga minimal 1,5 miliar. Apartemennya selain di Jakarta, konon juga ada di Singapura. Belum lagi mobil mewahnya yang menurut cerita selalu berganti-ganti.
Apa yang sedang terjadi dengan negeri ini? Ketika banyak orang terkonsentrasi dalam pemberantasan korupsi, ketika media begitu gencarnya meliput dan menjadikan kasus-kasus korupsi sebagai headline-nya, mengapa mereka masih dengan semangat penuh kenekatan tetap melakukan ”kebodohan” yang sama? Sejauh ini belasan orang sudah tertangkap tangan oleh KPK ketika sedang melakukan proses penyuapan, entah itu para penegak hukum, anggota Dewan yang terhormat, maupun profesi-profesi lainnya. Tulikah mereka? Butakah mereka? Atau mereka memang sama sekali tidak pernah membaca koran, majalah, dan menonton televisi serta mendengarkan radio? Atau, adakah atau yang lainnya?


Kejadian ini sebenarnya semakin mengukuhkan pendapat alm. Bung Hatta. Dia menegaskan bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia, dalam artian, korupsi telah merasuk ke dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang biasa, hal yang wajar. Sehingga, ketika ada orang yang tertangkap tangan pada saat transaksi korupsi, hanya disebut sebagai sedang sial atau apes.
Langkah perbaikan apa pun yang dilakukan oleh siapa pun masih cukup sulit untuk memberantasnya. Kita mengenal reformasi di jajaran penegak hukum. Bahkan, ada perbaikan renumerasinya, termasuk juga di Departemen Keuangan, yang membuat iri sebagian besar PNS lainnya. Betapa tidak, seorang pegawai golongan III/a bisa mendapatkan take home pay sampai Rp12 jutaan. Sementara itu, pada golongan yang sama di departemen lain mungkin hanya sebatas Rp4 juta--Rp5 juta saja. Tetapi, tetap juga korupsi kan? Padahal, dana APBN yang sudah digelontorkan untuk perbaikan renumerasi itu sebesar Rp10,3 triliun! Uang dari mana itu? Lebih jelas lagi, uang siapa itu?
Untungnya kita masih hidup di Indonesia yang terkenal penduduknya masih bisa memberikan toleransi yang tinggi. Kalau di Amerika sana, baru-baru ini seseorang yang kecewa dengan urusan pajak menabrakkan pesawatnya ke gedung Internal Revenue Service (IRS), semacam kantor pajak. Tetapi, tentu kita tidak bisa berharap bangsa ini terus menerus seperti ini. Contoh terakhir, bailout Bank Century bahkan sempat menggoyang pemerintahan yang sah. Karena kita semua tahu, Rp6,7 triliun itu adalah uang pajak yang digunakan "hanya" untuk menyelamatkan segelintir pihak saja. Sementara, angka pengangguran dan jumlah orang miskin masih tetap bercokol pada angka yang sama, kalau tidak boleh dikatakan terus meningkat.
Setiap tahun, setiap bulan, setiap hari, bahkan mungkin setiap detik rakyat Indonesia membayar pajak dengan taat. Silakan cari dan temukan pada transaksi apa kita tidak membayar pajak? Bukankah belanja di pasar tradisional yang becek sekalipun tetap ada transaksi pajak? Apalagi kalau berbelanja di tempat-tempat mewah dan berkelas. Sehingga, ada orang yang mengatakan bahwa hanya dua urusan di dunia ini yang sudah pasti, yaitu pajak dan kematian.
Tetapi, mengapa masih banyak desa dan daerah tertinggal sehingga harus dibuat kementerian yang khusus menangani pembangunannya? Mengapa masih banyak jalan lintas utama yang menjadi urat nadi perekonomian yang selalu bolong dan dilakukan tambak sulam? Padahal, jutaan orang setiap tahun membayar pajak kendaraan. Mengapa listrik selalu byarpet padahal tidak ada yang salah dengan sumber bahan bakar kita? Alasan kekurangan pasokan karena tidak mampu membangun pembangkit yang baru selalu dikedepankan. Padahal, jutaan rakyat Indonesia setiap bulan selalu dengan patuhnya membayar pajak yang terkait dengan kelistrikan. Terlalu panjang dan akan sangat menyita waktu kalau kita terus mengidentifikasi “mengapa-mengapa” lainnya. Jadi, mari kita beralih ke persoalan lainnya saja.
Jika ternyata muncul gerakan facebooker yang mengajak kita memboikot pembayaran pajak, apakah itu keliru? Karena, ternyata kasus GT ini baru seujung kuku saja. Dia itu pemain kelas teri, cuma sekadar pion yang disuruh-suruh untuk menjalankan permainan yang jauh lebih dahsyat. Bahkan, konon Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. sudah mendapat laporan kasus korupsi yang lebih spektakuler dibandingkan dengan kasus GT. Korupsi itu terjadi di lingkungan lembaga negara yang juga meliputi lembaga penegak hukum dan pemerintahan. Nilainya ratusan miliar rupiah (Lampung Post, 5 April 2010).
Belum lagi adanya markus (makelar kasus) di lingkungan petinggi Polri, bahkan konon kabarnya bermarkas di Mabes Polri. Nama-namanya sudah dikantongi Mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Lebih menyeramkan lagi, diduga jaringan markus ini melibatkan jenderal berbintang tiga di lembaga negara yang justru seharusnya berada pada garda terdepan dalam memberantas kejahatan.
Kita asumsikan semua itu benar--dan memang biasanya selalu benar. Alangkah malangnya nasib bangsa ini. Tiga setengah abad hidup dalam kemiskinan di bawah penjajahan Belanda yang mengangkut habis kekayaan alam negeri kaya raya ini. Lalu, tiga setengah tahun tercengkeram dalam kesadisan bangsa Jepang yang membuat bangsa ini makin terpuruk. Selepas itu, hampir 65 tahun menikmati kemerdekaan justru ditindas dan ditipu oleh sesama bangsa sendiri. Kekayaan alam yang begitu luar biasa dijual murah kepada bangsa lain oleh wakil-wakil kita yang duduk di kursi empuk pemegang kekuasaan. Triliunan uang pajak yang disetorkan secara sadar oleh rakyat negeri ini tidak pernah kembali menjadi sarana dan prasarana umum yang layak bagi penduduk ini untuk hidup nyaman di negerinya sendiri.
Lalu, mengapa kita harus tetap membayar pajak? Tidak salah kalau urusan pajak ini selalu penuh kecurigaan. Apa bedanya dengan upeti pada zaman kerajaan dulu, di mana setiap warga negara harus menyerahkan sesuatu untuk rajanya. Kalau kita cermati, hitung-hitungan pajak selalu merugikan pembayarnya dan sebaliknya, menguntungkan pemerintah. Yang lebih sulit dimengerti di dunia ini adalah pajak penghasilan. Kita yang bersusah payah, kita yang berkeringat, tetapi mengapa pemerintah yang mengambil sebagian uang yang seharusnya menjadi milik kita?
Tentu semua itu tidak akan menjadi pertanyaan besar--juga tidak akan menjadi masalah besar--jika semua yang berkewajiban untuk membangun bangsa ini memiliki sifat amanah. Bisa dibayangkan seorang GT saja yang masih kelas ”teri” sudah sedemikian tajirnya, apatah lagi yang berkelas ”kakap” atau ”paus”. Sudah menjadi rahasia umum jika para pejabat memiliki kekayaan yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan penghasilan resminya. Dari mana semua itu berasal jika bukan dari sesuatu yang ”misterius” sumbernya?
Lalu, pilih mana, setop korupsi atau setop bayar pajak?
Opini Lampung Post 13 April 2010