12 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Krisis Politik Thailand

Krisis Politik Thailand

Oleh Urwatul Wustqo
Konferensi Tingkat Tinggi ke-16 ASEAN yang bertema "Towards ASEAN Community from Region" secara garis besar berhasil digelar di Hanoi, Vietnam, pada 8-9 April dengan agenda-agendanya antara lain implementasi Piagam ASEAN, peta jalan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2009-2015, keterhubungan ASEAN (ASEAN connectivity), perubahan iklim, serta isu regional dan internasional lainnya.
Dari sekian pemimpin negara ASEAN yang hadir, antara lain, dari Indonesia, Brunei, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar, PM Thailand, Abhisit Vejjajiva absen, karena tengah mengalami persoalan internal serius dari dalam negaranya, yakni aksi protes fluktuasi high politic dari massa Kaus Merah pro mantan PM Thailand, Thaksin Sinawat. Sementara, massa pro PM Abhisit yang dikenal massa Pink Power juga tak mau kalah, sehingga keduanya saling bentrok.
Mosi tidak percaya terhadap PM Abhisit sebenarnya telah terjadi sejak lama, setidaknya semenjak kali pertama dia diangkat sebagai PM Thailand, ketika Mahkamah Konstitusi Thailand membubarkan pemerintahan PM Wongchai Wongsawat karena kecurangan pemilu. Sepanjang masa kekuasaan Abhisit, demonstrasi antipemerintah terus dilakukan massa pro-mantan PM Thaksin Shinawat. Situasi politik Thailand memang semakin tak menentu, terutama semenjak kekuasaan militer mengambil alih pada 2006. 

Jika situasi ini terus berlangsung, tak menutup kemungkinan kudeta militer kembali akan menguasai Thailand. Tergulingnya kekuasaan Thaksin lewat kudeta militer di satu sisi mengancam demokrasi Thailand. Namun di sisi lain, kekuasaan Thaksin ketika itu memang tak bisa ditoleransi karena sudah berkuasa melampaui ciri-ciri khas negara demokratis.
Meskipun Thailand kini dikuasai pemerintahan sipil, dominasi politik militer masih sangat kuat, dan tak menutup kemungkinan akan berkuasa lagi, sama halnya dengan situasi politik Myanmar. Jika kekuasaan militer kembali berkuasa, demokrasi di Asia Tenggara mengalami apa yang diistilahkan Samuel Huntington dalam "The Third Wave Democratization" (1998) sebagai penurunan gelombang demokrasi. Jika demokrasi ibarat jarum jam, demokrasi Asia Tenggara kini di posisi bawah mengalami penurunan yang sangat drastis.
Ciri-ciri negara demokratis menurut Huntington salah satunya ialah kekuatan militer harus kembali ke barak. Tugas militer ialah mengamankan negara dari kemungkinan "serangan musuh" baik dari dalam maupun dari luar. Tugas kekuasaan diberikan kepada masyarakat sipil yang representatif dan memenuhi syarat sebagai pemimpin. Power sharing dipetakan berdasarkan kapabilitas; keamanan diberikan kepada militer dan tugas kenegaraan diemban oleh sipil. Ciri negara demokratis lainnya seperti kebebasan menyuarakan pendapat, pers dijamin dan diberi kebebasan oleh undang-undang, terjadinya pemilu secara jujur dan adil, serta adanya otonomi masing-masing kelembagaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
Kekuatan militer di Thailand memang sangat ironi, dan jika kudeta kembali terjadi akan menambah deretan negara-negara otoriter di Asia Tenggara. Seperti yang terjadi di Myanmar, pejuang demokrasi Aung San Su Kyi beberapa kali ditahan karena dianggap mengancam kekuasaan militer. Satu sisi kehidupan negara ketika dikuasai militer memang sangat kuat terutama dalam soal keamanan, tetapi di sisi lain seperti mekanisme berkenegaraan di Myanmar jelas menjadi tidak sehat, otoritarianisme menyeruat, dan rakyat ditebar teror-teror penculikan, penahanan, dan bahkan pembunuhan. Hal itu memang menjadi pemandangan umum di negara-negara yang dikuasai militer. Seperti juga pernah terjadi di Indonesia ketika masih dikuasai oleh rezim militer Orde Baru, mekanisme berkenegaraan yang "menakutkan" itu pernah dirasakan oleh para mantan aktivis prodemokrasi.
Pengalaman di Indonesia yang kini menjadi negara demokrasi termaju di Asia Tenggara, semasa pemerintahan militer Orde Baru setiap lini kehidupan tidak memungkinkan rakyat untuk mengaspirasikan suara dan pendapatnya. Semua kebijakan dikuasai oleh penguasa, jelas kebijakan itu tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita rakyat. Setiap ada perbedaan, pasti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, teror, dan penistaan terhadap HAM. Banyak kasus-kasus kekerasan dan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru ketika itu, terutama yang terjadi antara 1965-1966 hingga kini belum terusut (Cribb: 2003). Selain itu belum lagi kasus-kasus kekerasan seperti Tanjung Priok, kasus Lampung, DOM di Aceh, serta kasus-kasus yang terjadi mengiringi masa-masa reformasi. Pendeknya jika militer berkuasa, negara yang dikuasainya akan dibungkam serapat mungkin.
Sebelum pemerintah Thaksin di Thailand dikudeta militer, saat itu Thaksin memadukan antara "pengusaha dan penguasa" atau kekuasaan yang dibangun berdasarkan "perselingkuhan" dengan korporasi bisnis, tetapi pemerintahan tetap aspiratif mau mendengar tuntutan masyarakat sipil. Di samping itu, hegemoni dan pengaruh masyarakat sipil dalam kekuasaan dan politik masih sangat menonjol.
Relasi antara pemerintah Thailand dan pergaulan hubungan internasional dapat dipastikan akan mengalami kesenjangan, terutama dengan negara-negara ASEAN. Sesungguhnya komunitas internasional harus terus menekan pemerintahan di Thailand untuk segera menyudahi konflik politik yang belum berkesudahan itu. Secara lebih jauh komunitas internasional harus mendesak supaya pemerintahan Thailand menyegerakan diadakannya pemilu sehingga dengan demikian pemimpin sipil baru yang demokratis dapat diwujudkan.
Karena bagaimanapun demokrasi di Thailand sungguh mengalami ancaman serius dan harus segera dipulihkan. Jika terlambat untuk menyelamatkannya, proses kepemimpinan militer lewat kudeta boleh jadi akan terulang lagi dan kembali mengukuhkan kekuasaannya seperti terjadi di Myanmar. Bagaimanapun proses demokratisasi di Asia Tenggara tak boleh terpuruk lagi. Asia Tenggara harus disterilkan dari kekuasaan yang berbau militer, sehingga proses untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera bisa diwujudkan dalam kehidupan berdemokrasi.***
Penulis, alumnus Fakultas Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Opini Pikiran Rakyat 13 April 2010