12 April 2010

» Home » Kompas » Reorientasi Koalisi

Reorientasi Koalisi

Tiga partai mitra koalisi—Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan—berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintah sekaligus menjalankan peran oposisi di DPR.
Meskipun ketiga partai ini telah menandatangani kontrak koalisi dan mendapatkan jatah posisi menteri di kabinet, tetapi mengambil posisi diametral dengan pemerintah dalam voting Rapat Paripurna DPR tentang Angket Bank Century. Fenomena koalisi politik dua kaki seperti ini juga kerap dijumpai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) lima tahun silam.
Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono sangat gemuk—didukung 75 persen kekuatan di DPR—tetapi sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century menjadi potret paling anyar tentang kerapuhan itu. Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan: mengapa koalisi mudah retak (terancam pecah), padahal usia pemerintahan belum genap setengah tahun?

 

Sumber keretakan
Paling tidak ada empat jawaban—sumber keretakan koalisi dalam menyikapi kasus Century—yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, imbas dari kerentanan kombinasi sistem presidensial-multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi sistem presidensial justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam situasi multipartai. Kebutuhan akan koalisi inilah yang menjadi pemicu awal sistem presidensial sering tampil dengan gaya parlementer (presidensialisme setengah hati), dan pemerintah kerap terserimpung oleh manuver politik dua kaki partai-partai, seperti halnya sikap Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus Century.
Kedua, efek dari lemahnya ideologi partai dan kuatnya kepentingan pragmatisme untuk investasi politik 2014. Hal inilah yang menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, sangat oportunistis, dan pragmatis. Akibatnya, koalisi yang terbangun akan selalu rapuh dan cair karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan pragmatisme kekuasaan ketimbang kedekatan ideologi atau persamaan platform.
Ketiga, akibat dari terlalu lenturnya kontrak koalisi. Kontrak politik yang seharusnya menjadi pengikat sekaligus pedoman dalam berkoalisi terlalu normatif dan general. Karena itu pula tidak mengherankan jika partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda dan masing-masing mengklaim melaksanakan kontrak koalisi.
Keempat, implikasi dari akumulasi beberapa kekeliruan komunikasi politik SBY dan Partai Demokrat dengan mitra koalisi. SBY patut diakui sangat terampil membangun komunikasi publik—politik pencitraan—tetapi kurang pandai dalam mengelola komunikasi elite. Fungsi komunikasi elite yang sebelumnya sering diperankan JK kini menjadi celah kelemahan SBY. Hal ini diperparah beberapa pernyataan kontroversial—kurang bersahabat—dan gertak reshuffle yang dilontarkan beberapa politisi Partai Demokrat yang justru semakin merusak hubungan komunikasi dengan mitra koalisi.
 Reorientasi
Karakter personal SBY yang sangat mementingkan keseimbangan (harmoni politik) dan ingin memuaskan semua pihak mendorongnya merangkul hampir semua partai ke dalam kabinet. Hal ini menyebabkan SBY dan Partai Demokrat terperangkap pada logika kuantitas, yaitu lebih sibuk memperbesar jumlah anggota koalisi ketimbang membina soliditasnya. Padahal, sebesar apa pun koalisi, tanpa membina soliditas dan memperbaiki aturan main dalam berkoalisi, partai-partai tetap berpotensi menjalankan politik dua kaki.
Inilah salah satu kekeliruan orientasi koalisi yang dibangun SBY dan Partai Demokrat selama ini, terlalu terfokus pada orientasi kuantitas (merangkul partai sebanyak-banyaknya, tetapi tidak solid) ketimbang kualitas (kohesivitas dan soliditas koalisi). Karena itu, ke depan orientasi untuk memenuhi kebutuhan pengaman pemerintahan (politik sekuritas) perlu direvisi, dari orientasi kuantitas (persentase) ke orientasi kualitas (soliditas). Untuk konteks ini, me-reshuffle kabinet dan melibatkan PDI Perjuangan ke dalam koalisi tak begitu relevan karena tak ada jaminan koalisi akan lebih solid.
Reorientasi koalisi ini juga perlu diikuti beberapa langkah praktis. Pertama, kontrak koalisi (MOU) perlu direvisi agar lebih konkret, jelas, dan disertai sanksi. Kedua, diperlukan forum koordinasi anggota koalisi yang bersifat permanen dan dipimpin langsung oleh Presiden SBY atau setidaknya petinggi Partai Demokrat. Peran ini tidak lagi diserahkan kepada Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN), yang justru dapat membuat ”ketersinggungan” partai-partai lain.
Ketiga, mengubah strategi komunikasi ”gertakan” dan ”ancaman” menjadi lebih kompromistis dan dua arah (komunikasi simetris), dengan memperlakukan mitra koalisi sebagai pihak yang saling membutuhkan (simbiosis politik mutualisme). Di titik inilah sangat diperlukan keterampilan berkomunikasi dan seni berkompromi dalam membina soliditas koalisi.
Sikap kompromistis SBY, yang dianggap sebagian pengamat sebagai kelemahan, justru akan menjadi kekuatan dalam memimpin koalisi. Memang hal ini akan mereduksi prinsip sistem presidensial, tetapi inilah konsekuensi yang harus ditempuh oleh Presiden yang berkuasa dalam sistem berdemokrasi yang belum sempurna (presidensialisme setengah hati). Kata kuncinya terletak pada tiga hal: komunikasi, koordinasi, dan kompromi.
Hanta Yuda AR Analisis Politik The Indonesian Institute


Opini Kompas 13 April 2010