12 April 2010

» Home » Media Indonesia » Keterkaitan Faktor Keamanan dan Pembangunan Ekonomi

Keterkaitan Faktor Keamanan dan Pembangunan Ekonomi

Hamre (1999) mengatakan: "It is not going to be against Navy ships sitting in a Navy shipyard. It is going to be against commercial infrastructure...." Publik harus memahami pentingnya keamanan dalam sistem pembayaran dan penyerahan dalam menunjang sistem moneter yang handal. Proses ekonomi yang efisien selalu bergantung kepada dukungan keamanan. Keamanan akan semakin mencekam di masa depan. Aitoro (2008) menegaskan bahaya tersebut, “The Office of the Secretary of Defense detected malicious code in various portions of its network infrastructure while consolidating information technology resources in the middle of last year. Over the course of two months, the code infiltrated multiple systems, culminating in an intrusion that created havoc by exploiting a vulnerability in Microsoft Windows, said Dennis Clem, OSD's chief information officer.” Kondisi yang terjadi di Amerika Serikat memperlihatkan betapa dahsyatnya ancaman terhadap keamanan yang semakin menggunakan teknologi canggih. Salah satu faktor yang krusial bagi penetapan kondisi ekonomi yang aman adalah adanya job security yang ternyata juga bergantung kepada kondisi ekonomi dan kemampuan keahlian seseorang. Artinya keamanan justru akan meningkat ketika perekonomian mengalami ekspansi dan sebaliknya keamanan akan berkurang ketika perekonomian mengalami krisis. Dengan demikian, keamanan nasional adalah persyaratan untuk mempertahankan kehidupan sebuah negara melalui pergelaran kekuatan ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan. Karena itu, kekuatan tersebut harus diinterpolasikan kepada infrastruktur yang sangat penting termasuk fungsi pembayaran. Patriot Act mendefinisikannya sebagai: 'so vital to the United States that the incapacity or destruction of such systems and assets would have a debilitating impact on security, national economic security, national public health or safety.' Schmidt (2008) juga menegaskan akan pentingnya investasi publik untuk mengurangi dampak negatif dari ancaman keamanan seperti ini, "When you look at securing government systems, there needs to be a lot of restructuring of the architecture -- legacy hardware, software and applications. None of those were designed to operate in the high threat environment we operate in today. All of that needs to be ripped out and replaced." Dengan demikian anggaran pendapatan dan belanja negara harus mengalokasikan minimal sebesar US$30 miliar untuk menjamin keamanan dalam rangka 'to reduce access points from the Internet to government networks and better monitor intrusion attempts through the use of network sensors that detect suspicious patterns' (Aitoro 2008). Hal itu dapat dilakukan juga untuk mengamankan sistem pembayaran nasional dari ancaman keamanan seperti ini. Dengan demikian, tidaklah masuk akal jika sistem keamanan dalam transaksi ekonomi tidak ditunjang investasi akan jaminan keamanan itu sendiri. Pihak swastalah yang pada akhirnya akan mengambil alih investasi ini jika pemerintah tidak segera menetapkannya dalam APBN. Artinya sektor keuangan di Indonesia terancam oleh high cost economy! Parahnya RAPBN 2010 tidak memperhatikan sama sekali investasi bagi keamanan dalam transaksi keuangan. Pada gilirannya jika swasta tidak berpartisipasi, seperti yang dikatakan Clinton (2000), "I think it was an alarm. I don't think it was Pearl Harbor. We lost our Pacific fleet at Pearl Harbor. I don't think the analogous loss was that great.” Sebuah aksi yang menganggap remeh ancaman seperti itu. Biaya tersebut sudah mencakup kajian perlindungan, vulnerabilitas, risiko, dan mitigasi. Dengan menggunakan konsep pembangunan ekonomi seperti Big Push juga terbukti bahwa investasi besar pada sektor keamanan justru dapat menunjang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem, ekspansi militer Jepang pada perang dunia kedua yang lalu ternyata juga mampu membuat kemampuan ekonomi Jepang menjadi kemampuan ekonomi yang superior. Lebih dari itu, kemampuan mentalitas masyarakat Jepang juga terbentuk menjadi kualitas yang superior. Hal itu dapat dilihat dari kemampuan ekspansi militer Jepang yang pada saat itu mampu menguasai teritorial Asia Tenggara secara cepat. Jepang memang akhirnya kalah dalam perang dunia tersebut, tetapi fakta juga membuktikan kekuatan ekonomi Jepang akhirnya tidak hanya pulih, tetapi juga mampu tumbuh pesat di era pasca-Perang Dunia Kedua. Robert Plutchik (1979) mengeluarkan teori pertahanannya sebagai berikut 'reaction formation, denial, repression, regression, compensation, projection, displacement, intellectualization'.

Teori pertahanan George Eman Vaillant (1977) berdasarkan kontinum dari 'psychoanalytical developmental level'. Dalam kasus Jepang, neurotic defences (misalnya intellectualization, reaction formation, dissociation, displacement, repression) mendukung bangkitnya pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka waktu yang lama. Inilah kemudian yang ditiru Korea Selatan, Taiwan, dan Uni Eropa. Investasi keamanan publik mereka sebetulnya banyak disubsidi Amerika Serikat! Itulah sebabnya pertahanan dan keamanan di negara-negara tersebut menjadi sangat efisien dan sangat produktif dalam mendukung bukan hanya pertumbuhan ekonomi tinggi, melainkan juga peradaban yang sangat tinggi. Dengan kata lain, telah terjadi proses pertahanan yang paling tinggi, yaitu mature dalam tahap identifikasi, dengan telah terjadi penyerapan model tanpa sadar oleh bukan hanya negara-negara tersebut, melainkan juga peradaban mereka. Dalam jangka waktu 50 tahun ke depan dapat diperkirakan bahwa keterkaitan antara keamanan dan pembangunan ekonomi akan semakin menentukan bentuk kerja sama internasional di masa depan. Terbentuknya G-20 dipastikan akan menggerogoti kedaulatan Uni Eropa, ASEAN, APEC, dan sebagainya. Dengan demikian, peran Perserikatan Bangsa-Bangsa akan semakin menguat sebagai katalisator bentuk perekonomian dunia di masa depan yang berbasis perekonomian dengan ancaman teknologi. Kerja sama ekonomi dunia tidak akan bisa dilepaskan dari bentuk kerja sama pertahanan. Dalam konteks pembangunan sistem infrastruktur yang kritis seperti infrastruktur pembayaran, tanpa adanya investasi nyata dari APBN, sektor swasta di Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat lemah. Investasi tersebut sangat bergantung kepada skala ekonomis. Dapat diperkirakan, keunggulan Singapura akan semakin tak tertahankan karena Singapura mampu melakukan identifikasi seperti yang dilakukan Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Politikus Indonesia memang masih kalah dalam beradu otak dalam membaca perkembangan dan tanda-tanda zaman! Kegagalan Filipina adalah ketidakmampuan sistem ekonomi, politik, dan pertahanan dalam melakukan identifikasi tersebut secara simultan yang disebabkan korupsi yang teramat tinggi oleh mantan Presiden Marcos sudah terbukti. Dalam kasus Indonesia, dengan posisi sebagai negara yang sangat korup di Asia Pasifik versi PERC yang baru lalu, kita berharap cemas bahwa Indonesia juga tidak akan mampu melakukan proses identifikasi secara mulus seperti yang dilakukan Singapura. Artinya jangkar sistem pembayaran di Asia Tenggara akan tetap menjadi milik Singapura dalam 50 tahun ke depan!

Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
Opini Media Indonesia 13 April 2010