27 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Salam Natal dalam Jubah Agama

Salam Natal dalam Jubah Agama

SUARA MERDEKA, Kamis, 24 Desember menurunkan tulisan Ali Usman berjudul ”Natal dan Spirit Dialog Agama”. Pada awal tulisan, atas nama kemanusiaan, Ali Usman mengucapkan Merry Christmas kepada saudara saudara umat Kristiani yang akan merayakan Hari Natal. Fatwa haram pun tidak dihiraukan lagi.

Fatwa haram mengucapkan salam natal dikeluarkan oleh MUI seputar 1970-an, termasuk keharaman perkawinan antaragama yang diintroduksi oleh Alquran Surat Al Maidah Ayat 5. Ini berarti fatwa MUI itu goes beyond the explicit statement of the Quran atau melampaui batas yang secara eksplisit telah dijelaskan oleh Alquran. Sudah dapat dipastikan, bahwa MUI mempunyai argumen rasionalnya, khususnya pertimbangan mashalih mursalah, yaitu kepentingan publik umat Islam.


Dari segi isinya, ternyata bahwa faktor lingkungan, sosial, dan politik sangat memengaruhi lahirnya fatwa MUI, termasuk faktor akidah dan ekonomi umat Islam ketika fatwa bergulir. Fatwa haram mengucapkan salam natal dirumuskan pada pertimbangan yang disebutkan terakhir.                

Karena itu fatwa sifatnya temporer dan tidak mengikat, fatwa merupakan produk pemikiran hukum Islam yang paling dinamis, karena fatwa diberikan atau dikeluarkan oleh mufti atau ulama jika ada orang atau lembaga yang memintanya atau terdapat concern yang kuat dalam masyarakat terhadap sesuatu persoalan.

Maka fatwa salam natal haram harus dibaca dari segi latar belakang sosial politiknya agar menjadi relevan, karena Indonesia termasuk negara yang mencoba menerima hukum barat dan pada waktu yang sama mempertahankan hukum- hukum Islam, sehingga di dalam interplay itu mungkin ada ciri —ciri khusus yang menarik

Dalam baris terakhir alinea kedua artikel tersebut, ada kesan bahwa pemeluk agama dapat berganti-ganti agama karena ada ungkapan agama hanyalah jubah atau baju yang membungkus tubuh setiap insan. Dalam memahami kalimat ini, boleh jadi orang menanggalkan baju yang membungkus tubuhnya, atau bahkan boleh menanggalkan agama sebagai pemahaman kebebasan beragama sehingga boleh tidak beragama?

Atau agama dipakai di wilayah publik, sementara dalam wilayah privat ditanggalkan. Kalau paradigma itu yang digunakan, maka yang akan hadir di tengah-tengah kita adalah seekor musang berbulu ayam .                                                                                 
Berangkat dari paradigma tafsir Alquran Surat Al Maidah Ayat 48, kepada semua pemeluk agama Alquran berseru, Fastabiqul khairaat, ilallaah marji’ukum jami’an, fayunabbiukum bima kuntum fiihi tahtalifuun yang artinya: Maka berlomba-lombalah kamu dalam menegakkan dan menebarkan keadilan.

Kepada Allahlah tempat kamu semua kembali, maka Dia akan kabarkan tentang apa yang kamu perselisihkan (mengenai agama). Perbedaan paham tentang agama tampaknya tidak akan selesai sampai kiamat. Hakim tertinggi yang memberi solusi terakhir adalah Allah SWT (Syafi’I Ma’arif, Islam, hal 29).

Secara sosiologis, tugas penganut agama adalah berlomba menebarkan kebajikan untuk semua, bukan berganti-ganti baju agama atau tidak beragama. Dan untuk kepentingan semua pemerintah Indonesia membuat regulasi Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Dalam paradigma fikih, pendekatan mu’amalah dibangun dengan koridor bahwa hukum hukum kemanusiaan pada dasarnya adalah boleh sehingga ada dalil yang jelas melarangnya.

Jika salam natal kita rumuskan dalam wilayah mu’amalah atau hukum kemanusiaan maka hukum asalnya  boleh, kemudian yang harus ditelusuri adalah dalil yang melarangnya
Islam tidak menjadikan perbedaan agama untuk membuat diskriminasi dalam interaksi sosial karena menurut ajarannya, kebebasan merupakan hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Demikian pesan Alquran Surat Al Baqarah 256.

Karena itu interaksi sosial dengan pemeluk agama lain, hanya mungkin terwujud apabila terjalin sikap saling pengertian dan saling menghormati sekalipun terdapat perbedaan mendasar dalam hal akidah dan dimensi ritualnya. Surat Al Mumtahanah Ayat 9 mengatur interaksi sosial umat beragama.

Teks kitab suci tidak secara tegas berbicara mengenai salam dalam kaitannya dengan ahli kitab. Dalam Hadis Nabi riwayat Turmudzi Rasul bersabda, ’’Janganlah kamu memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani, dan apabila kamu menemukan salah seorang di antara mereka di jalan maka desaklah mereka ke pinggir ì(Tuhfah al AhwaziI, jilid V hal 227).

Berbeda Pendapat

Agaknya, Hadis tersebut ditujukan kepada kaum ahl al kitab yang menunjukkan permusuhan kepada umat  Islam dan tidak berlaku umum kepada semua ahl al kitab. Karena itu para ulama berbeda pendapat mengenai hukum memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Bagi An Nawawi mendahului mengucapkan salam kepada ahl al kitab hukumnya makruh. Al Mbarakfury larangan Hadis tersebut hukumnya haram. Al Qadli ëIyadl berpendapat boleh apabila dibutuhkan.

Terkait dengan salam natal atau Selamat Hari Natal akan menjadi kontroversi jika dikaitkan dengan pendekatan akidah, maka wajar jika lahir fatwa larangan karena mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkan serta makna populernya yaitu pengakuan tentang Ketuhanan Yesus Kristus.

Surat Maryam Ayat 31 - 33, Nabi Isa menyandang predikat keberkatan. Penyembuhan yang dilakukannya atas izin Allah ataupun tuntunan dan ajaran Beliau memberi manfaat kepada umat menusia. Keberkatan itu tidak hanya di tempat peribadatan tetapi di mana saja Beliau berada (ainama kuntu).

Salam merupakan pernyataan Allah kepada Nabi Yahya (QS. Maryam 15) juga kepada Nabi Isa (QS.Maryam 33). Ayat ini mengabadikan serta merestui ucapan selamat hari kelahiran (natal) yang diucapkan kali pertama oleh Nabi Isa as.

Kalau umat Islam mengucapkan Selamat Hari Natal yang qurani tentu tidak dilarang, sekalipun ada ulama Indonesia yang melarangnya. Persoalan menjadi  tidak sederhana untuk dijelaskan kepada masyarakat awam, karena pendekatan yang sangat variatif.

Salam natal hendaknya dipahami secara kontekstual. Pada ranah akidah dapat menimbulkan kontroversi, sementara pada ranah fikih mu’amalah diperlukan takhsis, siapa yang boleh, kapan, di mana salam itu disampaikan dan bagi masyarakat awam untuk tidak diprovokasi yang dapat memicu kerawanan solidaritas umat beragama.(10)

— Rozihan, dosen FAI Unissula Semarang, Wakil Ketua FKUB Jateng, dan Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jateng]
Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2009