27 Desember 2009

» Home » Kompas » Ketika Birokrasi Tambun Diguncang Gempa

Ketika Birokrasi Tambun Diguncang Gempa

Hingga tiga bulan setelah gempa berkekuatan 7,3 skala Richter menimpa Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, puluhan warga Kampung Cirama, Desa Karangmukti, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya, belum menerima bantuan sama sekali. Asep Suhar (36), korban gempa, menceritakan, karena bantuan dari pemerintah tidak jelas kapan turunnya, mayoritas korban gempa akhirnya membangun kembali rumah mereka yang rusak seadanya.


Bagi korban gempa yang tidak mampu dan rumahnya rusak sedang atau rusak berat, mereka memilih tinggal sementara di rumah keluarga mereka. Kehidupan warga Cirama yang mayoritas petani tersebut pun kembali normal, mengadaptasi keadaan lewat penurunan kualitas kehidupan.
Nasib puluhan desa di Jawa Barat bagian selatan bahkan lebih memprihatinkan. Satu minggu pascagempa Tasikmalaya, 2 September 2009, daerah tersebut belum tersentuh bantuan makanan.
Berdasarkan data Serikat Petani Pasundan dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, sampai saat ini, 32 desa di 20 kecamatan pada empat kabupaten, yaitu Garut, Ciamis, Tasikmalaya, dan Cianjur, belum tersentuh penanganan bencana. Puluhan rumah hancur dan ratusan lain rusak berat, serta korban luka-luka ditangani seadanya.
”Semua ini tidak perlu terjadi kalau koordinasi di semua jenjang birokrasi berfungsi,” ujar Koordinator Kebencanaan Walhi Jawa Barat Dadang Sudarja.
Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Jawa Barat Deny Juanda mengakui minimnya komunikasi dan informasi membuat penanganan bencana macet. Hal itu tidak hanya terjadi saat melakukan mitigasi bencana, tetapi juga ketika bencana terjadi.
Pihaknya masih sulit melihat kemampuan daerah dan masyarakatnya mempersiapkan diri menghadapi bencana. Setelah bencana pun sulit mendapatkan data akurat jumlah kerusakan yang bisa memerhatikan pemerataan bantuan hingga ke setiap daerah.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengakui masih minimnya koordinasi penanganan bencana di daerah selama tahun 2009. Sembilan kali gempa, di antaranya Jawa Barat dan Sumatera Barat, jumlah korban dan rumah rusak masih besar.
Lamban
Lemahnya penanganan akibat bencana itu merupakan cerminan dari lambannya kinerja birokrasi. ”Itulah wajah birokratisme di pemerintahan daerah di Jawa Barat,” tulis antropolog Universitas Padjadjaran (Unpad), Budi Rajab, beberapa waktu lalu.
Malah, berdasarkan penelitian Budi, dalam keseharian masih banyak pegawai pada jam kerja mengobrol, jalan-jalan dari satu ruangan ke ruangan lain untuk mencari teman mengobrol, bahkan melamun dan bermain game di komputer.
Ironisnya, warga masyarakat yang akan melakukan kegiatan, baik ekonomi, sosial, kebudayaan, maupun pendidikan, harus mendapatkan izin berbelit-belit. ”Teman-teman di lapangan masih menemui pungutan liar dalam (mengurus) perizinan, meskipun sebenarnya pengusaha sudah mengalokasikan dana administrasi pengurusan izin,” ujar Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Barat Agung Sutisno.
Kondisi birokrasi pemerintah di Jawa Barat masih berkutat di seputar struktur organisasi yang gemuk dan kewenangan antarlembaga yang tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja yang belum tertib; serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tetap mengakar. Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program pun belum terarah.
Karena itu, wajah birokrasi masih tampak sebagai kekuatan sosial politik yang kontraproduktif. Lebih memperlihatkan lembaga publik yang menggerogoti keuangan negara sekaligus menyedot sumber daya sosial ekonomi masyarakat.
Pandangan senada dilontarkan ahli tata pemerintahan Unpad, Dede Mariana. Seraya mengutip ahli politik dari Amerika Serikat, Caroll de Jackson, ia mengatakan, dalam khazanah birokrasi dunia, republik ini telah menyumbang jenis birokrasi patrimonial berlandaskan primordial. Birokrasi jenis ini tidak lagi hubungan legal formal, tetapi patron-klien.
Honor
Ironis memang karena patrimonial yang sangat tidak legal formal itu justru berkembang hingga sekarang walaupun sangat tidak peduli terhadap kepentingan rakyat. ”Birokrat kita terbiasa berpikir dengan cara honor. Mereka baru bekerja ketika ada anggaran. Jika tidak ada anggaran, mereka tidak bisa bekerja,” aku Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
Kondisi yang demikian tentunya mengganggu pelayanan kepada publik. Sebab, banyak kegiatan yang diselenggarakan hanya untuk mengejar honor atau tambahan gaji birokrat.
Gubernur mencontohkan, ratusan program bernilai miliaran rupiah pada APBD 2009 yang lebih banyak berupa sosialisasi atau seminar bagi kepentingan birokrat. ”Kegiatan-kegiatan itu dibuat sedemikian rupa agar para birokrat bisa mendapatkan honor dari kepanitiaan suatu program,” katanya. Semakin banyak kegiatan, honor birokrat akan semakin besar.
Pada APBD 2010, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memangkas program-program yang tidak berorientasi langsung pada kesejahteraan dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Hasilnya, dari total 1.600 lebih kegiatan dalam APBD 2009, sekitar 35 persen di antaranya dipangkas pada APBD 2010. ”Kami bisa menghemat lebih dari Rp 500 miliar dari penghapusan program tidak berkualitas. Anggaran itu bisa dialokasikan untuk kegiatan lain yang lebih besar,” kata Ahmad Heryawan.
Untuk mencegah praktik korupsi yang marak di birokrasi, Pemprov Jabar sejak tahun 2009 mengaplikasikan layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (LPSE). Sampai dengan 30 November 2009 telah diproses 688 paket lelang dengan 4.996 perusahaan yang mendaftar secara online.
Dari sisi anggaran, tiap paket lelang LPSE mampu menghemat anggaran Rp 3 juta. Dengan 692 paket yang dilelangkan itu, diperoleh efisiensi Rp 2,076 juta.
Agung Sutisno menyebut sistem LPSE sebagai sebuah terobosan. ”Namun, jangan sampai sistem yang baik itu kemudian gagal karena operator atau birokrat pelaksananya ternyata masih bermental korup sehingga ada upaya mengarahkan lelang untuk dimenangkan salah satu peserta dengan alasan teknis atau administratif,” katanya.

Dedy Muhtadi
Opini Kompas 28 Desember 2009