27 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Imaji Panorama Ekonomi 2010

Imaji Panorama Ekonomi 2010

BERGANTI tahun tidak berarti semua masalah langsung sirna. Justru harus semakin waspada hingga berbagai pekerjaan rumah khususnya di bidang ekonomi di 2009 ini menjadi "saham" untuk melangkah pada tahun depan.

Di pengujung tahun ini, semua pengamat bersuara nyaris seragam bahwa ekonomi Indonesia pada 2009 belum menghidangkan pencapaian yang mengagumkan. Pekerjaan ekonomi yang ada tersisih bahkan terinjak gunjangan politik.

Salah satu alibi bahwa paras ekonomi 2009 belum memuaskan adalah masa kuratif dari badai krisis global sehingga laju ekonomi belum terpacu pada tingkat yang wajar.

Meski begitu, mengerek tinggi-tinggi optimisme terhadap prospek ekonomi untuk kondisi yang lebih bagus pada 2010 mutlak dilakukan. Meski tentu saja, kibaran optimisme tersebut bergantung pada beberapa syarat.

Pertama, bila pemerintah sanggup mengatasi persoalan laten, yakni sandera energi, terutama listrik. Krisis setrum itu melanda hampir semua kawasan, zona-zona bisnis cukup babak belur dihantam persoalan energi itu. Tidak saja harga listrik untuk industri yang masih tinggi, tersendatnya pasokan juga menjadi mimpi buruk bagi pelaku ekonomi.

Kedua, bila layunya kredit perbankan juga segera bisa diatasi. Bunga kredit yang masih cukup tinggi perlu dicermati. Masih jangkungnya bunga pinjaman turut mempersulit para pelaku ekonomi yang berhasrat ekspansi ataupun memberpesar kapasitas produksi. Jika bunga kredit bisa diturunkan cukup signifikan, pertumbuhan beberapa sektor seperti industri akan kelihatan.

Ketiga, bila ekspor dapat terus dipacu sehingga memberikan ruang yang besar bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan. Tiga syarat itu akan menuntun apakah nanti optimisme ekonomi tersebut bisa terealisasi atau tidak pada 2010.

Karakteristik Persoalan

Tiga persoalan ekonomi di atas, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk belenggu energi, terasa betapa negara ini seolah berdiri pada panggung keironian. Sebagai negara yang kaya sumber daya energi, sungguh aneh bila Indonesia malah mengalami krisis energi.

Berdasar data yang dihidangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tidak dapat dimungkiri bahwa sumber energi yang kita miliki cukup kolosal. Catatan terakhir tentang cadangan potensial minyak bumi kita adalah 4.414,57 million metrik stock tank barel (MMSTB). Untuk gas bumi, cadangannya sebesar 106,01 trillion standard cubic feet (TSCF).

Tapi kenyataannya, memenuhi kebutuhan energi rakyatnya sendiri masih kedodoran. Bahkan untuk listrik, pemadaman aliran listrik menjadi menu utama yang dipersembahkan untuk rakyat.

Warta terbaru mungkin cukup mengembuskan harapan, yakni pergantian pucuk pimpinan pada perusahaan setrum itu. Bahkan, sepak terjang Dirut yang baru dalam menghadapi karut-marutnya perusahaan negara ini layak dinanti.

Selanjutnya, ekspansi kredit pada tahun ini yang berada pada titik terendah. Sampai akhir bulan lalu, statistik perbankan Indonesia mencatat pertumbuhan kredit hanya Rp 69 triliun atau menjadi Rp 1.377 triliun. Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu yang mencapai Rp 1.308 triliun, kedudukan saat ini hanya tumbuh 5,3 persen.

Tentu itu menjadi sketsa getir bagi perbankan. Sebab, angka tersebut anjlok dari target yang ingin dicapai. Nahasnya lagi, pertumbuhan saat ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan 2006. Situasi pada 2006 cukup mencekam dengan kenaikan harga BBM yang mencapai 100 persen, tetapi pada saat yang sama kredit perbankan tumbuh 13,9 persen.

Coba kita lacak, membiaknya kredit perbankan ini, pada 2002 naik 17,3 persen dari total kredit tahun sebelumnya. Kemudian berturut-turut pada 2003, 2004, dan 2005. Uluran perbankan lewat kredit membiak, masing-masing 18,7 persen, 27,0 persen, dan 24,3 persen. Pada 2006 serta 2007 pun, bersemi 13,9 persen serta 26,5 persen hingga pada tahun kemarin kredit perbankan begitu mekar hingga mencapai 30,5 persen.

Sementara itu, masalah ekspor merupakan gabungan dari faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, selama ini Indonesia cukup diuntungkan oleh kenaikan harga internasional untuk komoditas primer, seperti minyak sawit (CPO) dan karet.

Namun, secara internal, pemerintah juga harus berupaya untuk meningkatkan produksi. Sekaligus menyelesaikan kendala yang kerap muncul dalam upaya ini. Perluasan kebun kelapa sawit acap menimbulkan masalah sosial, antara pengusaha sawit dan warga menemui jalan buntu soal ganti rugi lahan.

Karena itu, perbaikan peraturan untuk kepastian hukum mutlak diperlukan agar jika terjadi persoalan pada upaya pembukaan lahan untuk meningkatkan produksi dapat diselesaikan dengan baik serta tidak ada pihak yang dirugikan. Memang sampai saat ini komoditas minyak sawit (CPO) kita cukup gemilang.

Strategi pengembangan yang jelas, khususnya untuk CPO dari pemerintah serta pemberian stimulus bagi pengembangan industri hilir CPO, akan semakin meningkatkan daya saing komoditas tersebut. Sebab, fakta di lapangan, untuk pasar Tiongkok yang mengonsumsi CPO hingga lebih dari 7 juta ton per tahun, CPO Indonesia hanya mampu menyuplai 2 juta ton. Kita kalah bersaing dengan Malaysia yang mampu mengedrop CPO hingga 5,5 juta ton atau menguasai 79 persen pasar Tiongkok.

Semoga berderet optimisme pemerintah untuk kondisi perekonomian yang lebih baik pada 2010, seperti pertumbuhan ekonomi yang diikrarkan Menko Perekonomian mampu tumbuh 5,5 persen, bisa dipegang erat sehingga cerahnya ekonomi tahun depan bisa kita sambut bersama.

*) Agus Suman, guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang
Opini Jawa Pos 26 Desember 2009