27 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Menimbang Eksistensi Pendidikan Terpadu

Menimbang Eksistensi Pendidikan Terpadu

Kemajuan sains dan teknologi semakin membuka lebar rahasia alam semesta. Komunikasi semakin mendekatkan pemahaman dan saling pengertian antarberbagai kebudayaan, tata nilai, dan norma kehidupan manusia. Akan tetapi, sebaliknya, gerak kemajuan dan modernisasi rupanya juga membawa serta limbah peradaban yang dapat mencemari akhlak dan perilaku mulia manusia. Artinya bahwa kemajuan teknologi ternyata juga sarat beban pergeseran tata nilai yang dapat menjerumuskan.
Kompleksitas permasalahan dunia modern, bagi banyak orang, justru membawa konsekuensi meningkatnya kesulitan dalam adaptasi kehidupan keseharian orang per orang. Akibatnya muncul fenomena kebingungan, ketegangan, kecemasan, dan konflik-konflik yang berkembang begitu rupa, sehingga menyebabkan orang mengembangkan pola perilaku yang menyimpang dari norma-norma umum, berbuat semaunya sendiri, dan mengganggu orang lain.


Fenomena ini juga semakin menambah kekhawatiran orang tua berkenaan dengan masa depan putra-putri mereka. Meningkatnya angka kriminalitas yang disertai tindak kekerasan, penyelewengan seksual, perkelahian pelajar, penyalahgunaan obat, narkotik, dan minuman keras semakin mendorong banyak keluarga untuk berpikir ulang mengenai efektivitas pendidikan umum dalam mengembangkan kepribadian anak-anak mereka.

Booming sekolah Islam terpadu
Maraknya sekolah Islam terpadu (SIT) tampaknya merupakan titik temu dari berbagai kebutuhan masyarakat, yaitu antara keinginan untuk memiliki sekolah yang tidak saja tinggi mutu akademiknya, tetapi juga mempunyai kedalaman dalam keberagamaan. Di sisi lain, bagi keluarga-keluarga muda yang suami-istri bekerja di luar rumah, sekolah Islam terpadu juga dapat memainkan peran sebagai tempat penitipan anak.
Konsep pendidikan yang diterapkan di sekolah Islam terpadu biasanya adalah perpaduan antara konsep pendidikan Islam dan metode pendidikan modern. Dalam pelaksanaannya, jenis pendidikan seperti ini menerapkan model moving class, learning by doing, keteladanan yang islami, plus penerapan tiga bahasa pengantar, Indonesia, Arab, dan Inggris. Dengan kurikulum yang dirancang sedemikian rupa, perpaduan antara konsep pendidikan Islam dan metode pendidikan internasional terbaru, diharapkan sekolah Islam terpadu dapat menghasilkan generasi unggulan dengan integritas akhlak dan pekerti yang mulia.
Sekolah Islam terpadu (SIT) yang dikelola secara serius umumnya melengkapi diri dengan berbagai alat bermain modern yang aman dan akrab bagi anak-anak, sarana pendukung/media belajar terbaru, komputer multimedia, masjid, klinik sekolah, perpustakaan, fasilitas antar-jemput, lapangan olahraga yang luas, dan katering sekolah.
Jika pendidikan kita percayai sebagai kunci utama untuk membuka masa depan alternatif, sudah barang tentu bukan sembarang institusi pendidikan dapat melakukan itu semua. Sementara ini, klaim SIT sebagai pola pendidikan alternatif yang mampu menyiapkan siswa menghadapi dunia nyata harus juga dicermati secara saksama. Oleh karena itu, SIT perlu disadarkan tentang harapan yang mereka pikul, tantangan yang mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai. Sekolah terbaik, di mata Dryden dan Vos, penulis The Learning Revoluion, adalah sebuah sekolah tanpa kegagalan. Semua murid teridentifikasi bakat, keterampilan, dan kecerdasannya sehingga memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan. Sayangnya, sekolah kita tidak seperti itu. Jauh panggang dari api.

Pendidikan afektif dan pengukurannya
Kelemahan pendidikan umum yang cenderung terlalu kognitif tidak seharusnya diteruskan di SIT. Pendidikan afektif atau humanistis sebenarnya merupakan upaya untuk melihat anak 'as a whole'. Jika pada beberapa dekade sebelumnya orang lebih banyak menaruh perhatian pada pengembangan kemampuan kognitif-logis, analitis, dan menekankan pada akuisisi informasi, belakangan para peneliti mulai mengalihkan perhatian pada pendidikan afektif. Perhatian yang luar biasa atas karya Daniel Goleman mengenai emotional intelligence dan multiple intelligence-nya Howard Gardner merupakan bukti dalam hal ini.
Penelitian terhadap orientasi otak kiri dan otak kanan memberikan konfirmasi betapa penting pendidikan afektif ini. Karya-karya best-seller dari Daniel Goleman juga telah menunjukkan urgensi kecerdasan emosi, bagaimana keterampilan sosial dan emosional dapat membawa hidup lebih sukses dan memuaskan. Untuk itu, sangat dapat dipahami mengapa kini timbul gerakan untuk lebih memberi waktu dan perhatian pada pengembangan tidak saja keterampilan kognitif tetapi juga keterampilan emosi.
Sebenarnya tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Bagaimana mungkin kita dapat menjadi ilmuwan, guru, orang tua, pengusaha, atau bos yang sukses tanpa pengetahuan dan keterampilan sosial? Oleh karena itu, emotionally safe classroom tidak lain adalah kelas yang memungkinkan anak belajar lebih banyak tentang kehidupan. 'Lingkungan sosial' sekolah/madrasah, dengan demikian perlu mendapatkan perhatian serius karena sangat berperan dalam membantu anak mengembangkan diri secara lebih lengkap.
Sekolah Islam terpadu seharusnya perlu lebih mengeksplorasi pendekatan afektif dan psikomotorik siswa ketimbang aspek kognitif. Tidak seperti yang terjadi sejauh ini, menurut pengamatan penulis SIT yang sarat ideologis itu justru sangat berorientasi pada cognitive indicator performance. Seharusnya, meminjam konsep Dinkmeyer, SIT juga menampilkan tema-tema tentang pengenalan anak terhadap dirinya sendiri, identitas diri, dan pengembangan harga diri, yang meliputi kemampuan untuk (a) melihat diri sendiri secara objektif, realistis; (b) mengidentifikasi sifat-sifat positif, aset, dan kekuatan-kekuatannya; (c) mengidentifikasi dan menerima atribut negatif, kemiripan dan ketidaksempurnaan; (d) menerima dan menghadapi pengalaman-pengalaman negatif, seperti kegagalan dan penolakan, secara konstruktif; serta (e) menjaga konsistensi konsep diri yang positif meski ada berbagai umpan balik eksternal.
Selain itu, kesadaran dan ekspresi siswa terhadap perasaannya sendiri, yang mencakup kemampuan untuk mengenal perasaannya yang berkaitan dengan aneka ragam peristiwa-peristiwa eksternal, kemampuan memberi nama dan menggambarkan perasaan positif dan negatif, menggunakan secara tepat cara-cara nonverbal maupun verbal dalam mengekspresikan emosi, memahami fungsi ekspresi emosi dalam hidupnya, termasuk hubungan antara perasaannya dan peristiwa-peristiwa interpersonal, serta mengubah ekspresi emosi agar cocok dengan tuntutan-tuntutan situasi juga merupakan keterampilan dasar relasi sosial yang harus diajarkan.
Kesadaran anak terhadap perasaan orang lain dan kompleksitas ekspresi emosi juga perlu diperkenalkan secara dini kepada anak-anak. Dengan kesadaran ini seorang siswa akan terlatih untuk menyimpulkan perasaan dirinya dan orang lain dalam bentuk ekspresi wajah, perawakan (postur) dan gerak isyarat (gesture). Kemampuan afektif ini juga akan mampu menggiring pemahaman siswa bahwa emosi itu dapat diubah lewat pikiran dan aktivitas tubuh lainnya.
Kesulitan yang mungkin timbul dalam mengevaluasi pendekatan dan proses belajar-mengajar secara afektif adalah, bagaimana cara mengukurnya? Menurut Sartledge dan Milburn, agar pendidikan afektif hasilnya lebih terukur, model pembelajaran preskriptif, diagnostik, atau direktif dapat digunakan. Model ini paling tidak mensyaratkan lima unsur, yaitu (1) membatasi/mendefinisikan afeksi yang akan diajarkan dengan istilah yang spesifik; (2) menaksir tingkat kompetensi yang telah dimiliki siswa, untuk menentukan pada tingkat mana siswa telah menguasai kemampuan tertentu; (3) mengajarkan kemampuan afektif yang masih kurang, sebagaimana ditunjukkan dalam assessment; (4) mengevaluasi atau menaksir ulang hasil pembelajaran; dan (5) memberi peluang untuk latihan dan melakukan generalisasi atau transfer belajar pada situasi-situasi baru.
Problem yang sering muncul dalam pendidikan afektif adalah bagaimana mengukurnya. Mungkinkah perasaan diukur? Assessing affect telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam kajian-kajian psikologi. Terdapat sejumlah manifestasi fisiologis dari perasaan yang dapat diukur secara langsung. Gejala-gejala fisik yang menyertai emosi negatif seperti takut, cemas, tertekan, dan marah biasanya mudah dikenali. Peralatan teknologi, seperti alat ukur respons kulit dan aktivitas jantung, telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian di laboratorium, misalnya untuk mengukur aspek-aspek fisiologis dari rasa takut dan cemas. Namun dalam praktiknya di sekolah, prosedur demikian tentu sulit dilakukan. Cara yang lebih sering digunakan adalah self-report dan affective assessment by adults and peers.

Oleh Khoiruddin Bashori, Pengamat dan Psikolog Pendidikan, tinggal di Yogyakarta
Opini Media Indonesia 28 Desember 2009