ROHANIAWAN dari Papua Pastor Yohanes Jonga, 10 Desember dianugerahi Yap Thiam Hien Award (Anugerah Yap Thiam Hien) Tahun 2009. Sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM) di Papua, dia dinilai memiliki dedikasi, komitmen, dan kredibilitas yang luar biasa dalam pembelaan dan perlindungan HAM masyarakat di provinsi.
Memperjuangkan HAM di Papua tidaklah mudah mengingat kompleksnya latar belakang pelanggaran hak-hak kebebasan itu. Membutuhkan waktu yang lama dan harus berkelanjutan serta luas cakupan dimensinya.
Itu sebabnya, Jonga berhasil menyisihkan puluhan nominator melalui berbagai tahapan penilaian yang melibatkan dewan juri. Banyak tokoh nasional yang selama ini menjadi dewan juri, dari Prof Soetandyo Wignjosoebroto, Prof Dr Azyumardi Azra, Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo, Asmara Nababan SH, Amartiwi Saleh, DR Maria SW Sumardjono, YB.Mangunwijaya, Marjono Reksodipuro, hingga KH Abdurrachman Wachid, dan sebagainya.
Pemberian anugerah tersebut dari tahun ke tahun selalu dilakukan dengan penuh pertimbangan dan sudah banyak pejuang HAM dari berbagai kalangan yang mendapat penghargaan itu: penghargaan yang mengabadikan nama Yap Thiam Hien Award (alm) sosok pejuang HAM, hukum, kebenaran, dan keadilan di Indonesia.
Yang menjadi patokan utama untuk dapat ikut dinilai atau dipertimbangkan sebagai calon penerima adalah, sang calon haruslah punya prestasi sebagai seorang pejuang di bidang hukum, kemanusiaan, HAM, kebenaran, dan keadilan yang dirasakan telah ikut menjadi penerus perjuangan Yap Thiam Hien.
Yap Thiam Hien atau Mr Dr Yap Thiam Hien sendiri sangat identik dengan perjuangan untuk dapat tegaknya hukum dan keadilan serta dihormatinya HAM. Sekalipun ia telah meninggal 24 April 1989 di Brussel Belgia, namanya tetap harum karena banyak yang dapat diteladani darinya.
John, begitu panggilan M Yap yang berpostur kecil tetapi gesit, memiliki cakrawala luas, lantang dalam menuntut kebenaran dan keadilan.
Cucu dari seorang kepala kelompok China itu lahir di Kutaraja, Banda Aceh, pada 25 Mei 1913. Sejak kecil dia yang berasal dari keluarga feodal, terbiasa hidup dengan didikan keras namun penuh kedisiplinan. Dia dihadapkan pada persoalan budaya diskriminasi dan arogansi. Hal itu mendorongnya untuk berontak terhadap arogansi.
Setelah lulus europesche large school (ELS) pada tahun 1926, Mulo (setingkat SLTP) di tahun 1929 dan melanjutkan di AMS (setingkat SLTA) jurusan sastra barat Yogyakarta, ia menjadi guru di Jakarta. Tahun 1947, dia melanjutkan sekolah di Universitas Leiden Belanda. Tepat 100 tahun berdirinya Vrije Universitet Leyden, 11 Januari 1980, dia dianugerahi gelar doktor honoris di bidang ilmu hukum.
Meski hidup di tengah-tengah budaya dan belajar feodal serta liberalisme kaum kolonial, dia bukannya feodal dan liberal melainkan semakin mantap dalam memperkokoh eksistensi dirinya sebagai bagian integral dari masyarakat. Khususnya masyarakat bangsa Indonesia. Nasionalismenya patut diteladani.
Dia memang WNI keturunan tapi sangat mencintai bangsa dan negara Indonesia serta antikorupsi, kolusi, konspirasi dan nepotisme (KKN). Inilah teladannya, di samping sebagai pejuangg HAM. Berbeda dari kebanyakan para negarawan, aparat, dan politikus yang mengaku mencintai bangsa dan negara ini tetapi merusaknya dengan pembudayaan praktik KKN dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut Yap, nasionalisme tak tergantung pada nama, tetapi pada sikap dan tindakan nyata yang positif untuk bangsa dan negara, sekaligus mampu membaur dengan baik bersama masyarakat yang majemuk.Dia berhasil dan membuktikan lewat bingkai hukum yang kuat agar hukum dapat jadi pancaran dari nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat.
Tata Nilai
Dengan prinsip tersebut, dia menegaskan bila hukum harus dibuat dan ditegakkan dengan memperhatikan tata nilai dan aspirasi masyarakat. Dari situ hukum diharapkan dapat menciptakan suasana harmonis sekaligus menggalang adanya kerja sama, persatuan, dan kesatuan yang baik.
Banyak usaha pengabdiannya di bidang hukum dan kemanusiaan, mulai dari menjadi pengacara hingga membentuk berbagai organisasi yang bergerak di bidang kegiatan sosial dan menjadi anggota Konstituante. Perjuangan tersebut terus berlanjut dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bersama Adnan Buyung Nasution untuk membantu rakyat kecil yang tetap eksis sampai sekarang.
Perjuangannya tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Pada tahun 1968 dia menjadi anggota Komite Eksekutif International Commission of Jurist, organisasi internasional yang berjuang untuk memberi bantuan hukum dan membela masyarakat.
Lembaga Pembelaan Hak-Hak Asasi Manusia (LPHAM) juga didirikannya bersama H.J.C Princen sebagai sebuah LSM yang selalu mengingatkan bahwa, HAM yang merupakan sesuatu yang mendasar dan penting bagi manusia. Sejak lahir manusia memiliki hak asasi dan hak tersebut senantiasa melekat pada diri manusia.
Hak-hak tersebut harus didukung tanggung jawab agar tidak membawa kerugian bagi diri sendiri ataupun orang lain. Karenanya, HAM tidaklah patut bila hanya dibicarakan tanpa diterapkan dan dihormati dengan baik. Persoalan-persoalan di dalamnya harus mendapat perhatian dari masyarakat dan semua pihak, sekaligus dipecahkan bersama secara baik.
Pemberian bantuan hukum tersebut memang diutamakan kepada masyarakat kecil, karena mereka memiliki kemungkinan yang besar untuk senantiasa menjadi korban kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Segala risiko ditanggungnya. Mulai dicap pengikut partai terlarang, ditahan, didakwa dan juga dituduh terlibat dalam peristiwa Malari di Jakarta.
Semua itu merupakan risiko sebagai macan pengadilan, begitu sebutan untuk dirinya, yang harus memajukan emosi dengan sudut pandang yang realis melalui ungkapan dan vokal bila berhadapan dengan kesewenang-wenangan. Semua itu divariasi dengan humor dan kegairahan serta kegigihanyang luar biasa sehingga menarik perhatian semua pihak.
Usaha tersebut menempatkan dirinya sebagai sosok pejuang yang berani dan pantang menyerah. Dia tidak pandang bulu dan siap membela kebenaran dan keadilan yang memang harus diciptakan. Didukung kejujuran, wawasan yang luas dan tingkat kesopanan yang tinggi dalam bergaul, ia mampu menjadikan naluri kebenaran memimpin pola pikir dan jalan kehidupannya sehingga tidak terperosok pada hal-hal yang tidak benar.
Kalaupun namanya kemudian diabadikan sebagai sebuah nama penghargaan, yaitu YTHA, hal itu semata-mata adalah untuk membuktikan bahwa perjuangannya tidaklah sia-sia, dan patut diteruskan. Yang berhak menerima adalah mereka yang melakukan pejuangan secara tulus ikhlas dan konsisten, yaitu untuk tegaknya kebenaran, keadilan, hukum, dan HAM. Termasuk Pastor Jonga sang pejuang kemanusiaan yang memang layak mendapatkan. (10)
— M Issamsudin, peminat masalah hukum, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 12 Desember 2009