11 Desember 2009

» Home » Pikiran Rakyat » Kondisi Status Kesehatan di Jawa Barat

Kondisi Status Kesehatan di Jawa Barat

Oleh Hj. Alma Lucyati
Indikator kesehatan masyarakat mengacu pada suatu nilai, yaitu umur harapan hidup (UHH). Selama dua tahun terakhir, UHH Jawa Barat memperlihatkan grafik menaik, pada 2007 sebesar 67,8 dan 2008 sebesar 67,82. Kondisi itu diharapkan dapat ditingkatkan lagi. UHH yang merupakan indeks komposit, dipengaruhi oleh hal-hal seperti AKI dan AKB (angka kematian ibu dan bayi), angka penyakit menular/tidak menular, status gizi, cakupan air bersih dan jamban keluarga, pola perilaku hidup bersih dan sehat.

 

Secara umum, ada dua hal yang memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat di Jabar dan dapat dikategorikan dalam dua golongan. Pertama, kondisi kesehatan Jawa Barat yang dipengaruhi masalah-masalah nonkesehatan seperti masalah geografis, demografi, pendidikan ekonomi, serta kultur budaya.
Kedua, masalah kesehatan. Dalam hal ini bisa kita lihat dari hal-hal sebagai berikut: pertama, masalah masih tingginya AKI dan AKB. Berdasarkan Susenas 2008, AKI Jabar masih berkisar pada 228/100.000 penduduk. Apabila kita petakan untuk setiap kabupaten/kota ternyata terdapat gambaran yang berbeda , ada yang sudah rendah tetapi ada juga yang masih tinggi AKI/AKB-nya sehingga diperlukan analisis lebih mendalam mengapa hal tersebut terjadi.
Kedua, masih tingginya angka kesakitan dan kematian karena beberapa penyakit menular maupun yang tidak menular. Beberapa penyakit menular yang akrab dengan kita di antaranya DBD, diare, TBC, kusta, malaria, filariasis. Jawa Barat sudah harus mulai memberikan perhatian khusus pula terhadap penyakit yang tidak menular karena data 2008 didapatkan beberapa penyakit tidak menular yang mulai meninggi di Jawa Barat seperti penyakit tekanan darah tinggi, kencing manis, gangguan emosional, gastriris, serta radang gout.
Ketiga, masih ditemukannya masalah kekurangan gizi. Kekurangan gizi ini hampir menyebar di semua kabupaten/kota. Apabila dilihat kembali, tampak beberapa penyebab yang memungkinkan terjadinya kekurangan gizi, mulai dari ketidaktahuan keluarga tentang cara pemilihan makanan atau ketidakterjangkauan masyarakat untuk mengakses makanan yang seimbang. Belum lagi adanya kepercayaan masyarakat yang masih memegang teguh takhayul, sehingga masih melarang pemberian ikan pada anak-anaknya. Bahkan tidak jarang ibu yang baru saja melahirkan tidak diperkenankan untuk menyantap makanan yang mengandung protein hewani dengan alasan takut gatal atau takut lukanya tidak sembuh. Menangani masalah gizi ini, tidak menjadi beban di dinas kesehatan saja karena ternyata banyak sekali faktor lain di luar kesehatan yang pada ahirnya memengaruhi gizi, baik balita sampai ibu hamil.
Keempat, penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata. Untuk dapat mengakses kelayakan kesehatan tentu harus pula dipertimbangkan keberadaan dan penyebaran tenaga kesehatan, mulai dari tenaga dokter sampai tenaga kesehatan yang lainnya. Tenaga kesehatan selain jumlahnya masih kurang, lebih terpusatkan di kota atau beberapa daerah yang menjadi favorit mereka. Apabila kita berbicara tentang jumlah tenaga kesehatan, rasanya tidak adil apabila kita tidak juga memperhatikan bagaimana mutu tenaga kesehatan tersebut.
Kelima, masalah kurang meratanya sarana dan prasarana pendukung kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, polindes, dan lain-lain. Padahal aksesibilitas masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan akan dipengaruhi pula oleh ketersediaan sarana kesehatan mulai dari puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit, polindes, bahkan rumah sakit swasta atau dokter/bidan praktik swasta pun sangat memengaruhi. Penyebaran fasilitas kesehatan yang lebih banyak di kota juga berhubungan dengan penyebaran tenaga kesehatan.
Keenam, masalah pembiayaan kesehatan yang masih rendah. Data menujukkan, besaran biaya kesehatan yang disediakan pemerintah tidak jauh berkisar di antara 2,5 persen s.d. 3,5 persen. Meskipun ada beberapa kabupaten dan kota yang mendapat anggaran kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang lain, tetapi secara umum pembiayaan kesehatan masih rendah.
Ketujuh, lemahnya peran serta masyarakat di bidang kesehatan. Sehebat apa pun pemerintah dalam mengajak untuk hidup sehat, jika tanpa disertai peran aktif masyarakatnya, akan sia-sia. Semboyan pemerintah untuk sehat secara mandiri harus lebih dikumandangkan agar dapat didengar setiap penduduk Jawa Barat.
Faktor kemiskinan sangat dekat dengan "kondisi akhir ", seperti gizi buruk, lingkungan permukiman yang tidak sehat, sanitasi yang tidak memadai. Bahkan, akses terhadap sarana air bersih yang kurang sudah menjadi hal yang tampaknya melekat satu sama lain.
Sebetulnya, hal tersebut tidak sepatutnya terjadi karena walaupun "miskin " masih ada beberapa yang dapat kita lakukan seperti pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). PHBS dapat mencegah beberapa penyakit. Apabila kita berhasil mencegah penyakit artinya kita menyimpan sejumlah uang yang tidak kita belanjakan untuk membeli obat, atau menyimpan uang yang tidak kita keluarkan karena kita sakit.
Kondisi lain yang masih kita lakukan adalah bagaimana secara bersama dengan masyarakat bergotong-royong mengupayakan kondisi lingkungan yang yang sehat untuk hidup. Untuk mengupayakan lingkungan yang bersih dan sehat tidak memerlukan dana besar, cukup dengan keinginan dan kemauan untuk membersihkan lingkungan dan pasti akan jauh dari penyakit.
Pola hidup
Bagi mereka yang kaya pun apabila tidak disertai dengan pola perilaku hidup yang benar dapat juga menimbulkan penyakit, seperti penyakit gout. Penyakit lain yang disebabkan karena makanan antara lain penyakit jantung dan hipertensi.
Yang berperan untuk ini adalah kita semua, masyarakat, dan pemerintah, dimotori oleh beberapa organisasi pemerintah daerah (OPD) yang terkait, di antaranya dinas kesehatan yang memberikan informasi makanan apa yang dapat menimbulkan penyakit dan bagaimana mencegahnya. Upaya ini dibantu oleh penyebaran informasi oleh Dinas Kominfo dan Dinas Pendidikan yang sejak dini mengajarkan kepada murid-murid untuk pintar dalam memilih makanan yang sehat. Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian diharapkan dapat turut serta dalam menyediakan bahan pangan yang sehat untuk dikonsumsi masyarakat. Demikian pula diharapkan masyarakat itu sendiri mempunyai kemampuan untuk dapat memilih makanan yang sehat.
Saya pikir, kondisi yang diharapkan suatu saat akan dapat tercapai bila semua hal yang diceritakan tadi dilaksanakan. Tingkat pendidikan yang meningkat akan memengaruhi secara signifikan perbaikan konsisi kesehatan masyarakat tersebut. Hal ini tentu akan memengaruhi sudut pandang masyarakat untuk berperan aktif dalam memilih makanan yang sehat, dan bahkan menentukan perilaku yang sehat dan baik demi mencapai masyarakat yang mandiri, dinamis, dan sejahtera.***
Penulis, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat. 
Opini Pikiran Rakyat 12 Desember 2009