Namun, yang tidak banyak diketahui orang adalah peristiwa itu telah membuka mata bahwa ada kekacauan serius dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Kacau dalam wawasan (visi), kacau dalam konsep, dan kacau dalam pelaksanaan.
Yang pertama, peristiwa itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu, melalui pelayanan kehamilan dan persalinan yang ditangani tenaga profesional. Dengan pengenaan tarif yang tidak bisa ditawar oleh orang semiskin ibu Yuliani, akan membuat ibu-ibu miskin lainnya tidak berani meminta pertolongan bidan atau dokter. Mereka akan kembali memilih dukun yang tarif pelayanannya bukan harga mati.
Masalah risiko infeksi atau kematian sekalipun tidak mereka takuti.
Pengalaman empiris mereka mengatakan, juga banyak bayi dan ibunya yang selamat ditolong dukun. Namun, penyanderaan bayi hanya karena orangtuanya belum sanggup membayar puskesmas sebesar Rp 600.000 akan menjadi trauma bagi ibu Yuliani dan ibu-ibu miskin lainnya di kemudian hari.
Seandainya banyak orang miskin yang hamil secara bersamaan, peristiwa Yuliani ini mungkin akan membuat mereka beramai-ramai ke dukun seperti orang berbondong-bondong ke Ponari.
Dengan kasus penyanderaan bayi oleh puskesmas, ini mengindikasikan, bagi pimpinan puskesmas (dan pemerintah setempat) wawasan menurunkan angka kematian bayi dan ibu menjadi tidak begitu penting lagi. Peristiwa Ponari seharusnya dapat dilihat sebagai kritik atau sindiran terhadap pelayanan medis yang kurang akrab, kurang memanusiakan pasien, mahal, dan mutunya pun mungkin tidak jauh berbeda dengan Ponari.
Yang kedua, semangat menjadikan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah sebagai sumber penghasilan daerah tampaknya bukannya padam, tetapi makin menggila. Semangat tersebut jelas bertentangan dengan konsep pengadaan puskesmas itu sendiri.
Makna puskesmas sebagai pusat penyehatan masyarakat, seperti konsep awal pendiriannya, sudah berubah karena keinginan mengisi kas pendapatan daerah.
Dapat dipahami, meski puskesmas sudah tersebar ke seluruh pelosok, derajat kesehatan rakyat belum banyak beranjak dari 30 tahun lalu. Pemerintah agaknya lebih senang kalau banyak rakyatnya yang sakit. Mengapa? Karena semakin banyak rakyat yang sakit, akan semakin besar pendapatan daerah.
Konsep menyehatkan masyarakat dan menjaga kesehatan mereka sudah tidak terpikirkan lagi. Hal serupa masih banyak terjadi di daerah-daerah lain.
Di sebuah kabupaten kepulauan di Indonesia bagian timur dengan penduduk 700.000 jiwa, rumah sakit daerah dibebani target untuk memasukkan uang ke kas daerah sebesar Rp 350 juta per tahun. Kalau target uang tidak tercapai, rumah sakit itu dikatakan ”tidak perform”.
Karena itu, direktur rumah sakit harus berupaya memperbesar pendapatan dengan segala cara, barangkali termasuk pula cara-cara yang tidak profesional dan tidak etis. Mengingat pendapatan rumah sakit hanya dari orang sakit, maka orang sakit dijadikan korban untuk memenuhi target pendapatan daerah.
Yang ketiga, kasus bayi yang disandera puskesmas itu mengindikasikan bahwa pengobatan gratis bagi orang miskin seperti dijanjikan saat kampanye, hanyalah sebatas janji. Demikian juga bantuan dana melalui apa yang disebut Jaminan Kesehatan Masyarakat belum berjalan seperti dikatakan.
Jika ibu Yuliani yang tinggal di Jawa saja mengalami kesulitan untuk mendapatkannya, apalagi mereka yang tinggal di luar Jawa. Prosedur untuk memperolehnya bukan hal mudah bagi mereka yang benar- benar miskin.
Dalam masalah ini, pemerintah lebih memilih cara yang mudah dan populer, tetapi tidak efektif atau efisien. Di sisi lain, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menjanjikan perlindungan menyeluruh, yaitu berlaku menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak dilaksanakan tanpa alasan jelas meski sudah diundangkan sejak tahun 2004.
Sementara DPR, yang melahirkan undang-undang itu, juga diam saja saat mengetahui undang-undang tersebut tidak dilaksanakan.
Keadaan seperti ini akan membuat
Opini Kompas 12 Desember 2009