Bahkan muncul usaha mengumpulkan uang koin, sebagai sindiran terhadap penguasa, sekaligus simbol keberpihakan kepada yang lemah.
Saat publik haus kebenaran dan layanan publik yang profesional, Rumah Sakit Omni lupa mencermati, fenomena keterbukaan pada era demokrasi tidak bisa dihindari. Apa pun yang dilakukan oleh siapa pun dapat terungkap transparan, terlebih ditunjang sistem informasi yang sangat canggih saat ini.
Mengatasi kasus Prita perlu ditinjau akar permasalahannya. Mengumpulkan dana untuk membantu bayar denda Rp 204 juta yang harus ditanggung Prita tidak memecahkan masalah. Kasus Prita hanya satu dari sekian banyak kasus pasien yang tidak terkuak. Menggugat Prita melalui jalur hukum, sebagai pasien yang telah banyak dirugikan, justru memberi cerminan lemahnya sistem atau tata kelola menyangkut jasa pelayanan rumah sakit yang sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah.
Mendirikan rumah sakit, apalagi dengan cap bertaraf internasional, memerlukan modal tidak sedikit dan persyaratan komprehensif. Meskipun dianggap industri, pelayanan jasa rumah sakit tidak bisa disamakan dengan bisnis lain yang sifatnya mencari untung semata. Ada unsur kemanusiaan yang seharusnya melekat kental dalam nurani sewaktu berhadapan dengan konsumen.
Untuk itu, persyaratan utama yang sangat perlu diperhatikan adalah kualitas sumber daya manusianya. Dalam kasus Prita, khususnya para dokter, secanggih apa pun peralatannya, tetapi kalau tidak dijalankan sesuai prosedur standar operasional, hasilnya pasti akan merugikan pasien sekaligus menodai reputasi rumah sakit.
Kekecewaan yang dialami Prita telah ia curahkan melalui dunia maya. Tanpa dinyana, Prita dijerat hukum perdata (ganti rugi) dan hukum pidana (melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Ini tidak akan terjadi bila, pertama, Prita telah mendapat informasi yang jelas akan konsekuensi pelanggaran apabila terkait dengan penggunaan informasi dan transaksi elektronik. Kedua, informasi tentang konsekuensi bila Prita melanggar inform consent. Lalu siapa sebenarnya yang harus terkena sanksi?
Penulis mencoba meneropong khusus masalah kedua. Tuduhan bahwa Prita telah melanggar inform consent sangat keliru. Menurut literatur Medical Record Management, ada dua jenis inform consent. Pertama, inform consent yang sifatnya rutin diminta pada saat pasien akan masuk rumah sakit. Kedua, inform consent pada saat akan dilakukan tindakan. Inform consent jenis pertama sifatnya masih sangat umum, ditandatangani di hadapan petugas administrasi atau perawat. Inform consent kedua ditandatangani pasien apabila akan dilakukan tindakan.
Inform consent
Di sinilah letak permasalahan mendasar yang telah diabaikan. Pertama, meskipun sudah ada inform consent, apakah dokter atau rumah sakit tahu bahwa dokter masih mempunyai tanggung jawab untuk lebih memperjelas setiap tindakan terhadap pasien. Kedua, apakah rumah sakit sudah menyiapkan peraturan yang harus ditaati oleh dokter. Ketiga, apakah rumah sakit telah menaati aturan yang ditetapkan pemerintah. Keempat, apakah pemerintah telah menetapkan standar persyaratan yang diperlukan. Kelima, apakah Undang- Undang Rumah Sakit telah mencakup pencegahan kemungkinan terjadinya kasus seperti itu, terutama dalam soal data dan informasi.
Sekali lagi, mendirikan rumah sakit ongkosnya sangat mahal. Pemerintah yang memberi izin, secara tidak langsung, ikut bertanggung jawab terhadap hasil yang diharapkan atas modal yang telah ditanamkan. Artinya, mampu menyediakan persyaratan, peraturan, serta Undang-Undang Kesehatan yang dimengerti semua pihak dan membangun sis- tem pengawasan yang efektif terhadap implementasinya.
Kasus Prita adalah cermin bahwa pemerintah belum membangun sistem jasa layanan kesehatan secara profesional. Ru- mah Sakit Omni menjadi seperti Goliath dan dicemooh publik, dan Prita seperti David yang tidak berdaya.
Apa pun alasannya, RS Omni telah menggali kuburnya sendiri dengan menempuh jalur hukum untuk kasus Prita.
Opini Kompas 12 Desember 2009