30 Desember 2009

» Home » Solo Pos » Membaca pengadilan simulakra di 2009

Membaca pengadilan simulakra di 2009

Pada tahun 2009, dunia pengadilan di negeri ini yang penuh dengan simulakra bisa disingkapkan kedoknya. Itulah yang terjadi pada kasus pengadilan Minah, Prita Mulyasari, dan sejumlah figur kaum awam lainnya.

Simulakra, demikian filosof Jean Baudrillard (1929-2007) menegaskan, adalah tiruan yang tidak ada rujukannya. Pengadilan yang sungguh-sungguh adil mempersyaratkan ucapan dan tindakan yang tertulis di berita acara pemeriksaan (BAP) sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Tapi, BAP hanya menjadi instrumen hukum yang dingin jika tidak disertai rasa keadilan sosial.


Lebih tragis lagi ketika BAP sekadar memuat fakta-fakta simulakra, maka kejadian yang tidak bisa dihindarkan adalah pengadilan hanya permainan akrobatik yang penuh rekayasa. Pembongkaran terhadap rencana pengadilan simulakra bisa dilakukan dalam kasus kriminalisasi dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Namun, bagaimana jika pengadilan simulakra tidak mampu dibongkar secara tuntas? Tanpa bisa dihindarkan muncullah peristiwa Sengkon dan Karta (1974) di Bekasi, yang dijebloskan ke dalam penjara akibat dituding merampok dan membunuh.
Padahal, perbuatan itu tidak pernah mereka lakukan sama sekali. Muncul kemudian sosok Budi Harjono (2002) di Bekasi yang dituduh membunuh bapak kandungnya. Padahal, yang membunuh adalah orang yang pernah menjadi tukang batu pada keluarga itu.
Pada 2007, di Kabupaten Boalemo, Gorontalo, bergulir kisah pengadilan simulakra yang menghadirkan Risman Lakoro dan Rostin Mahaji. Kedua figur itu harus menghuni jeruji besi karena dituduh membunuh anak gadisnya, Alta Lakoro. Kenyataannya, korban yang dianggap sudah tewas masih hidup dan muncul di kampung halamannya.
Pada 2008, Devid Eko Rianto, Imam Hambali alias Kemat, dan Maman Sugianto alias Sugik, harus berhadapan dengan pengadilan simulakra di Jombang karena dituduh membunuh Asrori. Sosok pembunuh nyatanya adalah Very Idham Henyansyah alias Ryan.

Berulangkali terjadi
Apa makna semua peristiwa itu? Pengadilan simulakra ternyata berulangkali terjadi. Nama lain pengadilan simulakra adalah peradilan sesat karena menghukum orang yang sama sekali tidak bersalah dan membiarkan orang yang bersalah justru berkeliaran. Hanya saja, pengadilan simulakra itu sengaja digelar supaya secara prosedural sesuai dengan tatanan hukum yang digariskan, sehingga memberikan kepercayaan bagi rakyat kebanyakan.
Pengadilan simulakra yang secara kontinyu bergulir itu adalah—merujuk ide Baudrillard—fenomena simulasi. Apa yang dinamakan simulasi adalah hiperrealitas, kenyataan yang begitu eksesif, atau realitas yang melampaui kenyataan itu sendiri.
Ironisnya, jika berhasil dibongkar, semua praktik pengadilan simulakra itu tidak mendatangkan keterpesonaan dan justru memalukan. Namun, karena peristiwa-peristiwa pengadilan simulakra tidak hanya sekali terjadi, publik pun telah menyadari bahwa ruang-ruang peradilan memang kuyup dengan kebohongan.
Untuk membongkar atau setidaknya membaca fenomena pengadilan simulakra yang menghasilkan ketersesatan hukum itu dapat dilacak melalui fase-fase simulasi berikut ini. Pertama, pernyataan dan fakta hukum merefleksikan atau mencerminkan kenyataan yang terjadi. Inilah proses pengadilan yang sejati karena menyeret dan menghukum pihak-pihak yang benar-benar bersalah. Kedua, pernyataan dan fakta hukum menopengi dan menyimpangkan kenyatan yang sebenarnya. Pada fase inilah peradilan sesat dimulai karena menghadirkan sesosok figuran sebagai pihak terdakwa sekadar untuk dijadikan kambing hitam, sehingga publik terpuaskan.

Ketiga, pernyataan dan fakta hukum menopengi ketidakhadiran dari kenyataan yang terjadi. Itulah bentuk pengadilan penuh rekayasa karena ketiadaan kasus justru dipaksakan untuk dihadirkan. Dalam bahasa saat ini, fenomena ini dinamakan sebagai kriminalisasi, yakni menjadikan orang yang tidak pernah berbuat jahat seakan-akan menjadi penjahat.Keempat, pernyataan dan fakta hukum tidak memiliki rujukan sama sekali dengan kenyataan yang sebenarnya.
Untuk mengungkap aneka kasus pengadilan simulakra yang terjadi di negeri ini dibutuhkan kemampuan retorika. Hanya saja retorika tidak dipahami sebagai seni untuk merangkai kata-kata indah dengan tujuan membius khalayak ramai. Retorika dalam domain ini adalah keahlian berbicara untuk menyingkap aneka kebohongan.
Tipe retorika semacam inilah yang disebut Aristoteles (382-322 SM) sebagai retorika forensik. Retorika ini menguji kenyataan yang sebenarnya. Retorika forensik digunakan dalam proses pengadilan. Bentuknya adalah jaksa membuat dakwaan dan advokat yang menjadi penasihat hukum seorang terdakwa memberikan pembelaan. Dasar yang dipakai pada retorika forensik ialah realitas yang sejati.
Retorika forensik adalah jenis pembicaraan yang merujuk pada peristiwa dan benda-benda dari masa silam yang dihadirkan ke masa sekarang. Bukankah itu yang seharusnya terjadi pada setiap proses pengadilan? Seseorang yang melanggar hukum pada masa lalu diseret ke pengadilan untuk mendapat pemidanaan.
Retorika forensik digunakan untuk membersihkan kekotoran pengadilan simulakra. Hal yang mengejutkan adalah pihak yang melakukan retorika forensik itu adalah media massa yang mendapatkan pasokan data dari kalangan advokat. Untuk meraih keadilan sejati agaknya dunia pengadilan kita belum mampu menyediakannya. -

Oleh : Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang.
Opini SOlo Pos 31 Desember 2009