30 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Kontroversi Buku "Membongkar Gurita Cikeas" Ujian Etika Politik

Kontroversi Buku "Membongkar Gurita Cikeas" Ujian Etika Politik

BUKU ilmuwan George Junus Aditjondro berjudul provokatif Membongkar Gurita Cikeas telah diluncurkan pekan lalu oleh Galangpress Jogjakarta, meskipun sulit dicari oleh publik di pasaran.

Dalam buku itu Aditjondro antara lain menulis yayasan-yayasan yang terkait keluarga SBY, yang digunakan untuk menggerakkan dukungan politik dan ekonomi untuk pemilihan umum bagi Partai Demokrat dan SBY.

Muncul reaksi beragam atas hadirnya buku tersebut. Presiden SBY sendiri menyatakan keprihatinannya atas buku tersebut yang dinilai berisi fakta-fakta yang tidak tepat dan tanpa kebenaran. Sekjen PD Amir Syamsuddin sampai menilai buku itu sebagai "buku sampah". Sementara Danang Widoyoko, koordinator ICW, justru menilai bahwa buku ini hadir sebagai kontrol politik atas pemerintah incumbent.

Jangan Diberangus

Buku ini sebaiknya jangan diberangus. Terdepan, kehadiran kritik dan kontrol bagi pemerintahan bersifat ujian ganda. Pada tataran terbatas, kehadiran buku ini adalah ujian etika dan kedewasaan berpolitik Presiden SBY secara khusus dan elite Partai Demokrat serta pendukung SBY secara umum. Ujian politik selalu datang bukan kala sukses atau dipuji, melainkan di saat kalah dalam pemilihan serta berada di titik nadir sebagai korban kritikan yang pedas.

Pada tataran luas, kehadiran buku ini sebagai ujian terhadap kematangan kehidupan demokrasi di negeri ini. Benarkah roh Orde Baru telah diberangus? Benarkah semangat diktatorial dan ambisi totalitarian sudah benar-benar almarhum? Kehadiran buku ini seolah menguji struktur, kultur, dan personel demokrasi bangsa benar-benar arif dalam menyikapi perbedaan, berhati luas dalam menghadapi tekanan.

Ujian terhadap demokratisasi menjadi nyata dalam kasus ini. Pertama, karena kontrol politik harus ada dalam sebuah negara demokrasi. Teolog John Calvin (1509-1564) dalam salah satu homilinya pada 1562 mengatakan bahwa "janganlah kita heran melihat begitu banyak penjarahan dan perampokan atas orang banyak di berbagai tempat, dan raja-raja serta para pangeran berpikir mereka layak mendapatkan semua yang mereka inginkan, hanya karena tidak ada orang yang melawan mereka... kesombongan membutakan [para pangeran] sedemikian totalnya sehingga mereka berpikir bahwa mereka seharusnya disejajarkan dengan Allah". Tanpa kontrol politik, penguasa bukan saja jahat, malah menganggap dirinya Allah.

Kedua, demokratisasi harus bertumbuh dalam hal perlindungan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia. Konstitusi negara ini menjamin bahwa setiap orang berhak meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (pasal 28e ayat 2) serta mengeluarkan pendapat (pasal 28e ayat 3). UUD 1945 juga menjamin publik memperoleh informasi guna mengembangkan pribadinya (pasal 28f).

Di sini reaktif dini dan ekstrem terhadap kehadiran buku ini yang berujung pada repetisi pola rezim Soeharto harus ditinggalkan. Kalau tidak, hal ini berujung pada pelanggaran HAM baru.

Nilai-nilai demokrasi baru mekar di negara ini, jangan diberangus. Nilai toleransi dan kedewasaan menyikapi perbedaan, pemakaian kekerasan minimum dan legal, supremasi hukum, perlindungan hak asasi manusia, kontrol publik terhadap incumbent, merupakan sebagian nilai-nilai demokrasi yang sudah kita tabur dan mulai bertumbuh, jangan dimatikan lagi. Kita sudah lelah dengan kehidupan politik totalitarian ala Orde Baru.

Pengalaman Prita Mulyasari dan Bibit-Chandra harus menjadi pembelajaran berharga bagi publik bahwa orang kecil dengan hal kecil bagi orang kecil lain justru menjadi kekuatan mahadashyat. Dukungan publik yang mengalir deras akibat simpati kepada orang-orang marginal yang dizalimi, justru memicu kekuatan simultanisme publik.

Kalau SBY memaksakan pemberangusan kepada buku atau bahkan pribadi Aditjondro, bukan tidak mungkin muncul people power yang akan mengakhiri karir politik pendiri Partai Demokrat ini. Apalagi, SBY sedang mendapat sorotan tajam seputar desas-desus dana talangan Bank Century. Justru SBY akan membantu marketing buku itu dengan melawan secara kekerasan atau cara-cara tidak elegan.

Bersikap Arif

Ketika filsuf-teolog Dr Stephen Tong diserang fitnah oleh seorang dari negeri kincir angin yang ontological schizophrenia, beberapa tokoh masyarakat mengajaknya untuk membalas dan menyerang secara hukum. Dia berkata, "I am not called for that". Dia mengaku bahwa panggilannya adalah untuk melayani Tuhan, mengasihi dan mengembangkan kemanusiaan, dan bukannya membela diri atau menyerang pencemooh.

Presiden SBY dan kubu Demokrat harus tenang. Sebab, emas itu emas. Kalau benar-benar emas, akan ketahuan juga kalau itu emas. Jangan kebakaran jenggot dan bersikap tidak arif. Kalau memang semua itu tidak benar, buktikan secara elegan dan arif, jangan dengan cara-cara diktator.

Pertama, untuk jangka pendek, undang media untuk klarifikasi secara detail, seperti yang dilakukan Sri Mulyani menghadapi Bambang Susatyo. Kedua, buatlah buku tandingan dengan penelitian yang komprehensif dan sanggahan yang jelas terhadap fakta demi fakta, data demi data.

Ketiga, tempuh jalur hukum kalau memang ada delik pidana di dalamnya. Keempat, jangan terlalu banyak energi dipakai untuk hal ini. Ingat, masih banyak urusan negara yang harus dikerjakan. Kelima, kearifan SBY menyikapi buku ini adalah pembelajaran politik amat berharga bagi bangsa dan generasi mendatang. Hal ini yang harus diingat. Semoga! (*)

*). Antonius Steven Un, peneliti teologi politik pada Reformed Center for Religion and Society, Jakarta.
Opini Jawa Pos 30 Desember 2009