14 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Makna di Balik Car Free Day

Makna di Balik Car Free Day

HARI Minggu, 29 November lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang kembali menggelar Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day di ruas Jalan Pemuda. Kegiatan ini sebenarnya ditunggu-tunggu masyarakat setelah Juni lalu digelar acara serupa di Simpanglima dan Jalan Pahlawan.

Masih segar dalam ingatan, pernyataan Wali Kota Sukawi Sutarip waktu itu bahwa Car Free Day akan digelar paling tidak dua kali dalam sebulan.


Apa sebenarnya makna dan urgensi hari itu?
Hari Bebas Kendaraan Bermotor dimaksudkan untuk mengurangi beban pencemaran udara dan kemacetan dari kegiatan transportasi. Beban polutan di beberapa ruas kota Semarang sudah cukup tinggi.

Tahun 1996, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan  (Bapedal) Pusat pernah merilis hasil pantauanya dan menyimpulkan bahwa kota Semarang menempati peringkat ketiga sebagai kota dengan tingkat pencemaran udara terburuk, setelah Jakarta dan Bandung. 

Pertumbuhan kendaraan bermotor di kota ATLAS ini, menurut data 2005 mencapai 6% dengan jumlah kendaraan pribadi dan sepeda motor 77 %, dan mobil penumpang hanya 15 %. 

Beberapa parameter pencemaran udara seperti kadar CO dan PM, di ruas jalan Jalan Pandanaran, Ahmad Yani, Majapahit, Siliwangi, dan Brigjen Sudiarto telah melampaui ambang batas.
Kemacetan juga terjadi di ruas-ruas jalan tersebut ditambah dengan ruas Jalan Teuku Umar, Jalan Diponegoro terutama di ruas tanjakan Siranda.

Melihat kondisi kota kita yang demikian, Car Free Day sebenarnya merupakan hari di mana warga kota seharusnya beralih ke transportasi tidak bermotor (non motorized transport) atau beralih menggunakan kendaraan umum sebagaimana dilakukan di kota Mexico yang dikenal dengan The Day Without Car. 

Program tersebut memang melarang menggunakan kendaraan bermotor karena telah demikian parahnya pencemaran di kota itu.

Tahun 1995, Badan PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNEP) memasukkan Mexico sebagai kota yang tingkat pencemaran udaranya terburuk yang diikuti oleh Bangkok dan Jakarta.


Kawasan Car Free Day memang terasa nyaman, teduh, dan damai tanpa deru kendaraan dan kemacetan. Bulan Juni lalu di Simpanglima, warga bisa leluasa bersantai menikmati udara bersih.

Kelompok-kelompok pecinta sepeda, sepatu roda, jogging, dan egrang enjoyed benar dengan ruang yang lapang, lega dan udara yang bersih.

Car Free Day di Jalan Pemuda memang tidak seramai di Simpanglima karena kawasan ini memang belum menjadi tempat berkumpulnya para warga.

Tetapi suasana nyaman, teduh dan lapang nampak terasa. Bagi komunitas sepeda dan sepatu roda, Jalan Pemuda sebenarnya lebih memadai karena lapang dan lurus.

Namun demikian, harus diakui kalau Car Free Day baru mengalihkan arus dan volume kendaraan di satu tempat ke tempat lain. Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Simpang Lima mengalihkan beban ke Jalan Sriwijaya, Kampungkali, MH Thamrin,  Ahmad Dahlan, dan Ahmad Yani.

Sedangkan program yang sama di Jalan Pemuda menjadi beban di Jalan Imam Bonjol, Pandanaran Gajahmada, dan Jalan Tanjung. Untuk mencapai tujuan substantif memang perlu waktu.
Harus Terpadu Pencanangan Hari Bebas Kendaraan Bermotor harus terpadu dengan penyediaan transportasi publik yang memadai.

Sedangkan untuk mendorong warga menggunakan alat transportasi tidak bermotor seperti sepeda atau berjalan kaki harus disertai dengan penyediaan jalur lambat dan trotoar dengan tanaman peneduh yang memadai.

Komunitas sepeda di kota Semarang sudah cukup banyak di antaranya Semarang Onthel Club (SOC), Gagak Rimang, Komunitas Ontel Bersama (Kober), dan Bike to Work.

Kelompok-kelompok ini perlu diapresiasi, difasilitasi, dan didorong agar menggunakan sepeda tidak hanya sebagai wahana penyaluran hobi tetapi juga sebagai sarana ke tempat kerja atau ke sekolah.

Upaya ini telah dirintis di Yogya yang mewadahi komunitas sepeda dengan sebutan Segosegawe (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe).

Pencanangan Hari Bebas Kendaraan Bermotor sebenarnya timely karena hampir bersamaan dengan diluncurkanya sistem angkutan bus Trans Semarang.  Sambil membenahi kekurangan yang ada, rute Trans Semarang seharusnya segera diperluas sehingga bisa interkoneksi dan mampu mengangkut lebih banyak penumpang.

Moda angkutan tersebut yang nyaman dan harga tiketnya terjangkau diharapkan mampu menjadi magnet para pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke kendaraan umum.

Car Free Day juga harus disertai kebijakan untuk mendorong penggunaan kendaraan secara bersama seperti komunitas nebeng (car pool) di Jakarta, antar jemput anak  sekolah,  antar jemput karyawan kantor pemerintah dan swasta. Nampak bahwa Hari Bebas Kendaraan Bermotor bukan kegiatan yang steril dari kegiatan lain.

Spiritnya adalah mengubah budaya bertransportasi dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum dan bersama atau yang tidak bermotor. Mudah-mudahan hal itu bukan sekadar peristiwa ritual melainkan mampu memancarkan semangat memecahkan salah satu persoalan lingkungan di kota kita tercinta ini. (10)

— Sudharto P Hadi, dosen manajemen lingkungan Universitas Diponegoro
Opini Suara Merdeka 15 Desember 2009