14 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Jika Wakil Presiden Lengser

Jika Wakil Presiden Lengser

Jenderal Rudini (alm) suatu hari kedatangan dua tamu di kantornya, Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI). Mereka mengaku diutus langsung oleh Presiden Soeharto. Tujuannya meminta pandangan Rudini apakah seorang wakil presiden bisa diberhentikan di tengah jalan. Kalau bisa, bagaimana mekanismenya dan bagaimana pula pemilihan penggantinya.



Rudini amat terkejut. Ia 1 detik pun tidak pernah berpikir mengenai masalah ini. "Wah, saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang sulit ini. Cobalah, nanti saya pikirkan dulu!" begitu jawab mantan Menteri Dalam Negeri di era Orde Baru itu.

Selang berapa lama, Jenderal Rudini bertemu dengan kepala negara. Ia menerangkan Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur pergantian wakil presiden. Yang diatur hanya pergantian seorang presiden. Pak Harto mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah serius ketika mendengarkan penjelasan Rudini yang diketahui mempunyai hubungan kedinasan dekat dengan Pak Harto. ''Tapi, ada apa, Bapak Presiden?" tanya Rudini memberanikan diri setelah memberikan pandangannya. Pak Harto tidak menjawab. Cerita itu disampaikan Rudini kepada saya sekitar tiga tahun sebelum ia meninggal.

Para penyusun konstitusi kita, rupanya, tidak pernah memikirkan apa yang terjadi dengan situasi ketatanegaraan jika wakil presiden wafat, mundur, atau dimundurkan. Pasal 6 ayat (2) mengatakan, 'Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak'. Mereka menjabat selama lima tahun (Pasal 7). Selanjutnya, Pasal 8 mengatakan, 'Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya'.

Jelas, apa yang terjadi menurut konstitusi kita jika presiden tidak dapat menjalankan tugasnya karena berbagai alasan. Namun, apa yang terjadi kalau wakil presiden yang mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya? Sebagian ahli hukum tata negara berpendapat, ya, kembali kepada MPR. Bukankah Pasal 6 ayat (2) mengamanatkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR? Tapi, sebagian ahli hukum tata negara berbeda pendapat. Kalau wakil presiden berhenti atau diberhentikan di tengah jalan, ya harus dibiarkan kosong sampai pemilihan umum berikutnya. Maka, ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta mengundurkan diri, Presiden Soekarno dan para politikus kita ketika itu tidak memusingkan pemilihan pengganti Hatta.

Selama Orde Baru, Presiden Soeharto tidak pernah 'kehilangan' wakilnya di tengah jalan. Seluruh wakil presiden menjalankan tugasnya sampai selesai: mulai Adam Malik, Hamengku Buwono IX, Umar Wirahadikusuma, Sudarmono, sampai Try Soetrisno. Soeharto dipaksa mundur ketika berpasangan dengan BJ Habibie pada 21 Mei 1998. Setelah itu, Habibie otomatis menggantikan Soeharto. Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sesungguhnya tidak pernah diuji pada era Orde Baru.

Wakil-wakil rakyat kita yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat di era reformasi menyadari kelemahan konstitusi kita. Maka, mereka melakukan amendemen empat kali, berturut-turut dari 1999 sampai 2002. Pasal yang diamendemen termasuk pasal-pasal tentang MPR dan lembaga kepresidenan. Pasal 6A mengamanatkan, 'Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat'. MPR kini hanya memiliki kewenangan melantik presiden dan wakil presiden. Kewenangannya memilih presiden dan wakil presiden telah dipereteli.

Pasal 8 ayat (1) UUD 1945-–setelah diamendemen-–mengatakan jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya, sama dengan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945 asli.

Bagaimana jika wakil presiden yang mangkat, mundur, atau diberhentikan? Ayat (2) Pasal yang sama dengan tegas mengatur: 'Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enampuluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden'. Pasal ini jelas sekali mengatur bagaimana wakil presiden baru dipilih jika wakil presiden yang ada diberhentikan, atau mengundurkan diri.

Dengan demikian, kelirulah pandangan sementara pihak yang mengatakan karena presiden dan wakil presiden dipilih secara paket (Pasal 6A), bilamana wakil presiden diberhentikan karena terbukti melakukan korupsi, penyuapan, tindak pidana lain dan sebagainya, presiden pun harus diturunkan. Artinya, mereka dipilih secara bersamaan. Ketika turun pun, harus sama-sama.

Dalam kasus Bank Century, posisi Boediono selaku mantan Gubernur Bank Indonesia dan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan merangkap Ketua KSSK kian hari kian terpojok. Data yang terungkap setiap hari seolah-olah makin terang membuka tabir megaskandal ini. Boediono bisa saja tidak menerima 1 sen pun dari kucuran dana pemerintah kepada Bank Century, tapi indikasi kuat menunjukkan kebijakan yang dibuatnya bersama Menteri Keuangan telah menguntungkan sejumlah pihak, sekaligus merugikan negara. Jangan lagi ada pihak yang berkelit bahwa negara sama sekali tidak dirugikan dalam bailout Bank Century, dengan alasan uang yang dikucurkan milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berasal dari iuran bank-bank anggota LPS. Pemikiran seperti ini amatlah naif dan kekanak-kanakan! Kalau dikatakan dana tersebut berasal dari bank-bank anggota LPS, dari mana dana yang ada di bank-bank tersebut? Bukankah dana itu milik masyarakat juga, bukan jatuh dari 'Planet Mars'?

Rumor kini beredar luas bahwa Boediono yang kini Wakil Presiden RI sudah memikirkan kemungkinan untuk mengundurkan diri. Kabarnya, ia bahkan sudah menyampaikan maksudnya ini kepada Presiden Yudhoyono. Boediono juga dipastikan bakal menjadi pejabat tinggi negara yang paling awal dipanggil oleh Panitia Khusus Angket Bank Century. Selasa, 8 Desember 2009 beredar pula kabar bahwa ada petinggi Partai Demokrat yang menyarankan agar presiden segera memberhentikan dua menterinya dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Siapa kedua menteri yang dimaksud?

Namun, presiden menurut UUD 1945 tidak mempunyai kewenangan memberhentikan wakil presiden. Memang konstitusi kita mengatakan baik menteri maupun wakil presiden sama-sama 'pembantu presiden'. Dalam Pasal 17 ayat (1) tertulis, 'Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara'. Ayat ke-2 pasal ini mengatakan, 'Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden'. Untuk posisi wakil presiden, Pasal 4 ayat (2) mengatur: 'Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden'. Selanjutnya, Pasal 6A mengamanatkan 'Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat'.

Jelas sekali, presiden tidak bisa memberhentikan wakil presiden.

Jika Boediono tidak mau mundur, atau ada pihak-pihak lain yang menekannya untuk tidak mundur, bagaimana penyelesaiannya apabila dalam pemeriksaan Pansus Angket Bank Century, Boediono sulit mengelak tanggung jawabnya, baik secara moral maupun hukum?

Penghentian presiden dan wakil presiden bisa terjadi karena yang bersangkutan mangkat, atau berhenti atas kehendak sendiri dengan berbagai alasan, atau diberhentikan lewat mekanisme pemakzulan (impeachment). Mekanisme pemakzulan diatur dalam Pasal 7A, 7B, 7C, dan 8 UUD 1945. Pertama, DPR sepakat bahwa memang ada pelanggaran hukum yang serius. Kedua, DPR meminta advis hukum kepada Mahkamah Konstitusi. Ketiga, DPR meminta MPR menggelar sidang istimewa kalau MK sependapat tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden. Keempat, Sidang Istimewa MPR memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden.

Memang tidak mudah bagi DPR sekarang untuk menggulirkan bola pemakzulan atas wakil presiden karena DPR secara teoretis dikuasai kini oleh fraksi-fraksi pemerintah. Kemungkinan pemakzulan, tampaknya, ditentukan dua faktor penting. Pertama, sejauh mana data mengenai aliran dana Bank Century, jika dibuka semua, membuktikan kesalahan fatal keputusan bailout yang diambil Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan selaku Ketua PSSK. Kedua, sejauh mana DPR berani menghadapi risiko benturan sosial-politik dengan people's power yang kini semakin kukuh setelah mereka berhasil membuka borok kasus Bibit-Chandra.

Yang terang, pergantian wakil presiden di tengah jalan tidak usah menimbulkan heboh politik seperti pergantian presiden. Sesuai dengan konstitusi kita, jika wakil presiden meletakkan jabatan, presiden mengajukan dua calon ke MPR. MPR kemudian memilih satu di antara dua nama itu. Setelah itu, calon terpilih disumpah sehingga resmi menjalankan kedudukannya sebagai wakil presiden yang baru. Keseluruhan proses itu berlangsung tidak lebih 60 hari.***

Oleh Tjipta Lesmana Mantan anggota Komisi Konstitusi Peneliti Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia
Opini Media Indonesia 15 Desember 2009