14 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Dinamisasi dan Dilema Desa Ngringo

Dinamisasi dan Dilema Desa Ngringo

DESA memiliki dinamika dalam tautan sumber daya alam dengan kesanggupan para warga untuk membentuk dan memberi arti. Desa sebagai ruang hidup kolektif memiliki topangan pada pelbagai faktor internal dan eksternal.

Faktor-faktor itu mesti digerakkan untuk membuat desa menjadi penanda aktif dari lakon kehidupan. Desa dalam asumsi ini mungkin kadang terabaikan karena desa kerap sekadar menjadi ruang persinggahan. Hidup di desa untuk sebagian orang seperti hidup dalam hukum kontrak tanpa harus terlibat intensif dengan pernik-pernik desa.


Pengalaman tinggal di Ngringo membuat penulis merasa bingung alias gumun. Desa di sebelah timur kota Solo tapi secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar ini adalah contoh dilema desa.

Ngringo memiliki potensi-potensi besar tapi kerap tak memiliki gairah untuk tumbuh sebagai desa pengharapan. Sawah-sawah hampir habis oleh pembangunan pabrik-pabrik dan perumahan.

Limbah dan polusi pabrik menjadi napas keseharian. Lalu lintas pada buruh pabrik jadi pandangan getir. Sawah-sawah tampak tak sehat karena susah mendapatkan air bebas limbah. Jalan-jalan rusak membuat perjalanan menjadi merepotkan.

Kisah getir dan dilematis dari desa tersebut adalah kehadiran perumahan dengan pendatang dari pelbagai profesi. Penulis merasa tersentak ketika mengetahui bahwa di sekian titik ada kompleks perumahan untuk dosen.

Rumah-rumah dosen juga tersebar alias berjejalan di antara rumah penduduk asli.

Para seniman besar juga mukim di desa tersebut secara terpisah dan berkelompok.

Kehadiran para dosen dan seniman itu menjadi fakta bahwa desa itu secara geografis menjadi tempat strategis untuk hunian. Mereka memang tinggal di desa itu tapi mayoritas melakukan aktivitas kerja dan agenda kesenian di kota Solo.

Ngringo mungkin adalah ruang persinggahan atau tempat tinggal. Ruang persinggahan dimaksudkan bahwa kehadiran di desa tersebut tak harus menetapi konsensus sosial dalam hak dan kewajiban. Para dosen dan seniman itu berhak melakukan keterlibatan secara aktif atau malah mengisolasi diri dari realitas sosial.

Kesan Ngringo sebagai ruang persinggahan terasakan sebab selama ini tak muncul agenda-agenda siginifkan terkait dengan aktivitas mereka.

Desa itu tetap seperti desa tanpa gairah meski memiliki warga dengan gelar akademik dan reputasi seni mulai dari taraf nasional sampai internasional.

Mereka seperti kurang menunjukkan kontribusi besar sesuai dengan profesionalitas dalam kerja di pendidikan dan seni.

Agenda-agenda desa selama ini kurang menggeliat dalam hal-hal terkait dengan kontribusi warga profesional. Ritus tradisi dan peringatan-peringatan dalam lakon politik dan sosial nyaris tanpa gaung dan efek produktif.

Aktivitas kesenian warga desa juga kurang tergarap dengan serius. Iklim intelektual jauh dari pengharapan.

Desa tersebut memiliki banyak institusi pendidikan tapi tampak seperti agenda formal tanpa implikasi dalam aktivitas keseharian. Lakon desa seperti tak dipengaruhi oleh letak geografis atau kehadiran warga pendatang dalam pelbagai profesi.

Ngringo untuk sebagian dosen dan seniman mungkin sudah terasakan sebagai ruang hidup.

Sebagian memilih menetap dan sebagian hidup di tempat itu dengan mengontrak rumah. Pilihan-pilihan ini tentu mengandung konsekuensi dalam kalkulasi kontribusi dan konsensus untuk merayakan desa.

Para dosen, pensiunan dosen, dan seniman dalam kasus kecil dilibatkan sebagai ketua RT atau RW.
Uji Kesadaran Posisi ini diharapkan semakin strategi untuk menguji kesadaran dalam kepemilikan desa. Beberapa dosen dan seniman kadang sekadar sebagai warga biasa tapi pasif.

Sikap pasif ini mungkin merupakan representasi dari penghindaran untuk ikut membentuk atau memberi warna bagi desa tersebut.

Kontribusi para dosen dan seniman di Ngringo memang susah terukur secara utuh. Intensitas untuk melakukan aktivitas di kota Solo kerap menimbulkan bias.

Perbandingan kontribusi pada Ngringo dan kota Solo mungkin bisa jadi penjelasan sederhana. Perbandingan ini kentara menunjukkan ketimpangan. Kerja mencari nafkah di Solo belum tentu menimbulkan kesadaran untuk memberi sesuatu di daerah tempat hidup.

Kehadiran dosen dan seniman dalam kondisi ini tampak belum memiliki arti yang utuh sebab sama dengan kehadiran para buruh, mahasiswa, atau kelompok profesi lain.

Agenda pasar malam kerap digelar secara bergilir di tiap-tiap RT tanpa maksud jelas. Model giliran itu mengesankan ada kebutuhan hiburan dan tingkat konsumi tinggi dari warga. Peringatan dalam hari-hari besar nasional juga kurang menunjukkan gairah ekspresi seni-kultural.

Para seniman jarang terlibat atau menampakkan diri dengan kreasi. Warga susah menemukan hiburan dan medium mengekspresikan diri. Desa dengan banyak seniman belum tentu memiliki iklim seni. Barangkali pernyataan ini pantas untuk Ngringo.  (10)

— Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo, kontributor Forum Studi Perkotaan di Balai Soedjatmoko Solo
Wacana Suara Merdeka 15 Desember 2009